Last Updated on 21 December 2022 by Herman Tan

Pada periode Dinasti Ming hingga Dinasti Qing (1368-1911 M) merupakan masa2 berjayanya berbagai karya sastra klasik Tiongkok; seperti Sanguo Yanyi (Sam Kok, a.k.a Kisah Tiga Negara), Shui Hu Zhuan (Batas Air), Xi You Ji (Kisah Perjalanan ke Barat), dan Hong Lou Meng (Impian Paviliun Merah).

Karya-karya sastra klasik ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan banyak diangkat ke dalam bentuk seri tv, film, dan buku novel.

Berikut ke-4 Karya Sastra Klasik Terbesar Tiongkok (Novel) :

1. Kisah Tiga Negara (Three Kingdom; Sanguo Yanyi; a.k.a Sam Kok)

Roman Tiga Negara (三国演义; Sānguó yǎnyì) adalah novel sejarah lengkap yang paling tua di Tiongkok. Novel ini dicetak pertama kalinya pada tahun 1522 M. Penulisnya bernama Luo Guanzhong (羅貫中), hidup pada akhir dinasti Yuan dan awal dinasti Ming (lahir 1330; meninggal 1400 M).

kisah-3-negara-samkok
Kisah 3 Negara Samkok, merefleksikan semangat persatuan dalam bernegara.

Novel ini ditulis berdasarkan catatan sejarah dan cerita tentang awal dimulainya kisah Tiga Negara pada tahun 169 -280 M, yang beredar di masyarakat.

Novel ini berfokus pada perseteruan militer dan politik antara Negara Wei, Shu dan Wu; yang merefleksikan pergolakan di masa itu.

Pada novel tersebut, penulisnya berhasil menciptakan banyak karakter yang impresif dengan disposisi yang berbeda-beda, seperti Zhuge Liang yang merupakan seorang ahli strategi yang jenius, Cao Cao yang licik, Guan Yu yang setia dan berani, Zhang Fei yang kasar dan ceroboh, dan tokoh-tokoh lainnya.

Baca juga : Kisah 3 Negara – Sam Kok

Review :

Tokoh-tokoh dalam novel Tiga Negara lebih menampilkan semacam “perasaaan terhadap urusan negara”. San Guo Yanyi tidak terlalu memperhatikan kehidupan sehari-hari, hubungan keluarga, etika dan moral.

Misalnya Cao Cao punya berapa istri? keluarganya berasal dari mana? siapa menantu Guan Yu? apakah ia punya kakak adik? dan seterusnya. Luo Guanzhong tidak menulis semua itu dengan rinci. Ini karena ia lebih memperhatikan masalah negara dan masyarakat.

San Guo Yanyi menulis tentang kekacauan di bawah langit, bergabungnya para pahlawan, hingga muncul 3 tokoh utama, Cao Cao, Liu Bei dan Sun Quan.

Meski novel ini memperlakukan 3 tokoh tersebut secara berbeda, yakni lebih menghormati Liu, mengantagoniskan Cao Cao, dan mengkritik Sun Quan, namun novel ini sangat yakin dengan kesamaan ketiga pihak ini, yakni gigih menuju persatuan.

Setelah Negara terbagi menjadi 3 wilayah, mereka semua tidak merasa puas, semua ingin melanjutkan perjuangan menuju bersatunya Negara; sebuah worldview untuk menuju perdamaian.

Dalam ribuan tahun perjalanan panjangnya, Negara Tiongkok yang kita kenal saat ini tidak hanya sekali mengalami perpecahan. Namun setiap kali mereka terpecah, orang Tiongkok selalu dengan gigih dan dengan pengorbanan yang besar, kembali mewujudkan persatuan yang baru.

Kesimpulannya, novel ini lebih merefleksikan sisi worldview masyarakat Tiongkok.

2. Kisah Batas Air (Water Margin; Shui Hu Zhuan)

Batas Air (水浒传; Shuǐhǔ zhuàn) adalah novel yang menceritakan tentang pemberontakan rakyat jelata. Penulisnya bernama Shi Nai’an (施耐庵), yang hidup pada akhir dinasti Yuan dan awal dinasti Ming (lahir 1296; meninggal 1372 M).

Shi menulis novel ini berdasarkan kisah-kisah yang populer tentang pemberontakan petani yang dipimpin oleh seorang bernama Song Jiang pada akhir masa dinasti Song.

Kisah Batas Air (foto : irssm.com)
Kisah Batas Air, melambangkan perjuangan 108 pendekar Liangshan.

Novel yang dicetak pertama kali pada tahun 1589 M ini menceritakan bagaimana jatuh bangunnya pemberontakan yang dilakukan oleh para petani di wilayah pegunungan Liangshan, di propinsi Shandong, yang dimulai pada tahun 1211 M (masa2 dinasti Song berkuasa).

Novel ini merefleksikan realita sosial mengenai pemberontakan rakyat sipil, yang didorong oleh perlakuan tidak adil dari para pejabat pemerintah.

Novel ini menggambarkan / mengisahkan tentang perjuangan 108 orang pemberontak; yang kemudian dikenal dengan sebutan “108 Pendekar dari Pegunungan Liangshan“.

Beberapa chapter/bab yang terkenal seperti “Wu Song Membunuh Harimau”, dan “Lu Zhishen Mencabut Pohon Willow” masih diadopsi hingga kini.

Menurut dugaan banyak orang, Shi Nai’an menulis 70 bab pertama dari Novel, sementara Luo Guanzhong menyelesaikan 30 bab sisanya. Namun juga ada dugaan bahwa tidak ada orang bernama Shi Nai’an, karena Shi Nai’an sendiri konon merupakan nama samaran dari Luo Guanzhong sendiri.

Review : 

Para pendekar gunung Liang penuh dengan sifat2 kepahlawanan. Dalam pandangan orang Tiongkok, menjalankan keadilan berarti melakukan apa yang semestinya dilakukan. Ini tampak jelas dalam paruh pertama Shui Hu Zhuan, terutama dalam kisah Lu Zhishen, yang tanpa segan selalu menolong mereka yang ditimpa ketidakadilan.

Musuh utama dari keadilan adalah uang dan nafsu. Novel Shui Hu Zhuan melukiskan godaan, yang merupakan ancaman dari kecantikan wanita. Ini tentunya berhubungan dengan prinsip nilai sang penulis novel. Namun dalam budaya tradisional Tiongkok, sifat ksatria yang sejati pada dasarnya memang anti terpikat oleh wanita.

Kesimpulannya, novel ini merefleksikan sisi ksatria orang2 Tiongkok.

3. Kisah Perjalanan ke Barat  (Journey to the West; Xi You Ji)

Perjalanan ke Barat (西游记; Xī Yóu Jì) merupakan novel mitologi yang terkenal. Penulisnya bernama Wu Cheng’en (吳承恩) yang hidup pada masa dinasti Ming (lahir 1501 M; meningga 1582 M).

Konon Beliau menulis buku ini berdasarkan catatan perjalanan Xuanzang (玄奘), seorang Biksu dari dinasti Tang yang akan pergi ke barat (India) untuk mengambil kitab suci.

kisah perjalanan ke barat xi you ji
Kisah Perjalanan ke Barat, mencerminkan sifat2 dasar dari manusia.

Novel yang dicetak pada tahun 1592 M ini menceritakan tentang seorang Biksu Tang Xuanzhang yang menghadapi berbagai kesulitan dalam mengambil kitab suci.

Penulisnya menciptakan berbagai tokoh fiksi, seperti Sun Wukong, Zhu Bajie, Sha Wujing, dan sosok kuda Naga putih sebagai pendamping yang akan mengawal dan melindungi biksu Buddha itu selama dalam perjalanan.

Di dalam ekspedisi ke barat, mereka harus melewati 14 musim panas dan dingin, menghadapi 81 kali marabahaya dan gangguan dari berbagai siluman yang ingin menawan dan memakan daging Pendeta Tong (agar bisa hidup abadi), sebelum akhirnya mencapai tujuan dan membawa kembali kitab suci (Tripitaka) ke Tiongkok.

Adapun tokoh utama dari novel ini bernama Sun Wukong (孙悟空); raja monyet yang pintar, berani, dan memiliki 72 ilmu perubahan sakti. Ia sama sekali tidak takut berhadapan dengan para Dewa maupun siluman, dengan mengacau istana langit dan neraka.

Konon hanya Dewa Erlang Shen (二郎神) yang memiliki 73 ilmu perubahan saja yang dapat menandinginya.

Baca juga : 3 Cerminan Kehidupan Manusia Dalam Novel Tiongkok, Xi You Ji
Baca juga : Ringkasan Cerita Sun Wukong Mengacau Langit

Review : 

Xi You Ji sama sekali tidak menjunjung Agama Tao. Dalam novelnya diceritakan terdapat banyak siluman yang muncul dengan wujud pemuka agama Tao. Bahkan di antaranya ada pejabat tinggi agama Negara (Daozhang) yang arogan, menyalahgunakan sihir dan merugikan masyarakat.

Agama tertua di Tiongkok ini ternyata diremehkan dan dipandang sebelah mata dalam Xi You Ji.

Selain itu, menurut Profesor Universitas Fudan, Qian Wenzhong mengatakan, etnis Han kurang memiliki rasa hormat kepada iman. Mereka hanya percaya sesuatu yang mendatangkan kebaikan kepada mereka. Dari penokohan 3 murid Biksu Tang, dapat terlihat angan-angan etnis Han.

Sha Wujing melakukan semua pekerjaan berat, dan semua hal yang baik selalu ia terima paling akhir. Namun seorang yang jujur dan polos seperti ini ternyata kurang mendapat tempat di mata Biksu Tang.

Sun Wukong yang memiliki kekuatan, namun sangat liar dan bandel; meski dalam perjalanan mengambil kitab suci harus mengandalkannya untuk mengatasi kesulitan. Bagaimana mengatasi/mengekang kebandelannya? Gunakan mantra kepala!

Zhu Bajie paling nyaman. Pikulan barang yang berat sudah dipikul oleh adik bungsunya, bagian berkelahi sudah dilakukan oleh kakak sulungnya; namun Biksu Tang terkesan memanjakan dan sangat mengampuni Zhu Bajie dari berbagai kesalahan2nya.

Apa yang dikatakan Zhu Bajie, pada umumnya selalu dipercaya Biksu Tang. Orang yang malas dan rakus, licik dan egois seperti ini malah disukai oleh atasan. Ini menunjukkan psikologi etnis Han yang sangat menginginkan gaya hidup seperti ini : tidak bertanggungjawab, namun mendapat keuntungan.

Kesimpulannya, novel ini merefleksikan sisi kepercayaan masyarakat Tiongkok.

4. Kisah Impian Paviliun Merah (Dream of the Red Chamber; Hong Lou Meng)

Impian Paviliun Merah (紅樓夢;  Hóng Lóu Mèng) mungkin adalah novel klasik Tiongkok terbaik. Penulisnya bernama Cao Xueqin (曹雪芹) yang hidup pada masa dinasti Qing (lahir 1715 M; meninggal 1763 M).

http://zw.yjbys.com/
Kisah Impian Paviliun Merah, sarat akan syair dan puisi kuno Tiongkok.

Novel yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1791 M menggambarkan romansa tragedi antara Jia Baoyu (贾宝玉) dari klan bangsawan, dengan seorang wanita biasa, Lin Daiyu (林黛玉). Keduanya baru berusia sekitar 12 tahun saat pertama kali bertemu.

Novel ini memberikan gambaran sejarah klan feodal dari masa kejayaan hingga kehancurannya. Ada lebih dari 400 karakter yang dideskripsikan dengan begitu hidup dalam novel ini, seperti Wang Xifeng, Xue Baochai, dan Qing Wen.

Dengan kisah yang mengagumkan dan gaya bahasa yang luar biasa, novel Impian Paviliun Merah telah telah mencapai puncaknya dalam karya sastra novel klasik Tiongkok, serta memiliki posisi yang penting dalam sejarah sastra dunia!

Bagi pembaca asing yang pernah membaca novel ini pasti sudah akrab dengan pulau Jawa, karena pernah disebut beberapa kali dalam novel “Dream of Red Mansion”, salah satu dari “4 Karya Novel Klasik Terbesar” di Tiongkok. Namun, hanya ada sekelumit deskripsi tentang pulau Jawa dalam novel tersebut.

Review :

Hong Lou Meng menyerap cara ekspresi paling elegan dari orang Tiongkok, baik syair, puisi dan lagu. Novel ini juga menggunakan berbagai aspek dari budaya klasik Tiongkok, seperti arsitektur, masakan, taman, dan lukisan. Novel ini penuh dengan eleganitas yang tidak dapat dicapai/ditandingi oleh novel2 biasa.

Maka novel ini tidak hanya harus dilihat oleh orang yang terpelajar. Mao Zedong bahkan pernah menganjurkan jenderalnya, Xu Shiyou, agar membacanya juga.

Kisah cinta dalam Hong Lou Meng ditulis dengan begitu elegan, hingga sampai pada tataran tanpa cela, tulisan-tulisan dalam novel itu begitu indahnya. Tidak heran, pakar Hong Lou Meng, Jiang Hesen berkata, Tiongkok boleh kehilangan Tembok Raksasa, tapi tidak boleh kehilangan Hong Lou Meng.

Kesimpulannya, novel ini merefleksikan sisi eleganitas dan keluwesan orang2 Tiongkok.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?