Last Updated on 20 February 2023 by Herman Tan

Penguburan orang mati selalu menjadi masalah yang sangat serius di masyarakat Tiongkok. Pemakaman yang tidak benar diyakini menyebabkan nasib buruk untuk keluarga yang ditinggalkan.

Upacara pemakaman Tionghoa dan adat penguburan ditentukan oleh usia, cara kematian, status dan posisi dalam masyarakat dan status perkawinan mendiang.

Ada sebuah cerita dimana seorang pria Tiongkok berusia 92 tahun lari dari rumah cucunya dan berjalan ke kampung halamannya karena ia takut mereka akan mengkremasinya setelah meninggal bukan menguburnya dengan benar.

Mengapa ia melakukan itu? Ini membuat orang akan bertanya-tanya mengenai soal adat pemakaman Tionghoa serta tentang kremasi.

Menurut adat Tionghoa, orang yang lebih tua tidak harus menunjukkan rasa hormat pada yang lebih muda. Jadi, jika yang meninggal adalah bujangan muda, tubuhnya tidak dapat dibawa pulang namun disemayamkan di rumah duka.

Orang tuanya tidak dapat menawarkan doa untuk anak mereka, karena ia belum menikah ia tidak memiliki anak untuk melakukan ritual ini. Jika bayi atau anak meninggal tidak dilakukan upacara pemakaman, penghormatan tidak dapat diberikan kepada orang muda, maka anak-anak dimakamkan secara diam-diam.

Persiapan pemakaman sering dimulai sebelum kematian terjadi. Ketika sebuah kematian terjadi, dalam keluarga semua patung Dewa di rumah ditutup dengan kertas merah dan cermin disembunyikan dari pandangan.

Tindakan itu dilakukan karena diyakini bahwa seseorang yang melihat refleksi dari peti mati di cermin akan segera mendapat kematian dalam keluarga mereka sendiri.

Sebuah kain putih akan digantung di ambang pintu rumah, dan sebuah gong diletakkan di pintu masuk sebelah kiri, jika yang meninggal adalah laki-laki dan kanan jika wanita.

Sebelum ditempatkan dalam peti mati, mayat tersebut dibersihkan dengan handuk lembab, ditaburi bedak dan mengenakan pakaian terbaik mereka. Badan berpakaian lengkap, termasuk sepatu, dan kosmetik jika perempuan, tetapi tidak mengenakan pakaian merah (karena hal ini akan menyebabkan mayat menjadi hantu).

Sedangkan pakaian lazimnya adalah pakaian berwarna putih, hitam, coklat atau biru. Warna-warna itu yang biasa dikenakan pada pakaian orang yang meninggal. Sebelum ditempatkan dalam peti mati, wajah mayat itu ditutupi dengan kain kuning dan tubuh dengan kain yang biru muda.

Persemayaman

Peti mati ditempatkan dalam rumah sendiri, jika orang telah meninggal di rumah. Peti mati ditempatkan dengan kepala mendiang dihadapkan ke dalam rumah, lalu diangkat sekitar satu kaki (30cm) dari tanah dengan ditahan 2 bangku. Karangan bunga dari kerabat dan potret dari mendiang ditempatkan di sekitar peti mati.

Terdapat lampion/lampu ten lung atau karangan bunga yang berwarna putih-hitam yang bertuliskan karakter 奠 (Diàn), yang berarti ‘berbaring, terbaring’ atau ‘Lay down‘; ini adalah karakter yang dipakai dalam acara duka/perkabungan Tionghoa.

Tampak proses pemakaman di Jakarta tahun 1950-an. Istri dan anak-anak harus berjalan di belakang mobil jenasah. Sementara anak tertua membawa foto mendiang. Foto : Victor Dragono

Peti mati tidak tertutup rapat selama persemayaman. Makanan ditempatkan di depan peti mati sebagai persembahan kepada mendiang. Sisir mendiang akan dipotong menjadi 2 bagian, satu bagian ditempatkan dalam peti mati, satu bagian disimpan oleh keluarga.

Selama persemayaman, keluarga tidak memakai perhiasan atau pakaian merah. merah adalah warna kebahagiaan. Secara tradisional, anak dan cucu dari mendiang tidak memotong rambut mereka selama 49 hari setelah tanggal kematian.

Kerabat sedarah dan menantu akan meratap dan menangis selama masa berkabung, sebagai tanda hormat dan kesetiaan kepada mendiang.

Pada persemayaman, keluarga mendiang berkumpul di sekitar peti, diposisikan sesuai dengan peran mereka dalam keluarga. Keluarga inti wajib memakai pakaian khusus (baju dengan kain blacu): cucu-cucu dan menantu perempuan memakai warna hitam dan kerudung (menandakan bahwa mereka berduka), sementara cicit berwarna biru.

Anak sulung duduk di bahu kiri orang tuanya, dan pasangannya disebelah kanan mendiang.

Sebuah altar ditaruh didepan/dikaki peti mati, untuk tempat pembakaran dupa dan lilin putih yang menyala. Kertas sembahyang dan uang-uangan diberikan kepada mendiang, sebagai bekal di akhirat, dibakar terus-menerus sepanjang persemayaman. Tamu pelayat diminta menyalakan dupa dan membungkuk 3 kali kepada mendiang, sebagai tanda hormat kepada keluarga.

Juga akan ada kotak sumbangan sebagai uang Pek Pao, (百宝; Bai Bao) atau uang duka, karena uang selalu ditawarkan sebagai tanda menghormati keluarga mendiang.

Disamping juga dapat membantu keluarga membiayai biaya pemakaman. Lama persemayaman tergantung pada sumber daya keuangan keluarga, namun setidaknya sehari untuk memberikan waktu bagi pelayat untuk memberikan kesempatan belasungkawa dan menawarkan doa-doa.

Saat peti mati berada di rumah, seorang biksu atau pendeta Tao akan melantunkan ayat-ayat suci Buddha atau Tao di malam hari.

Hal ini diyakini bahwa jiwa-jiwa orang mati banyak menemui hambatan dan bahkan siksaan dan kesengsaraan, atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan dalam hidup, sebelum mereka diizinkan untuk mengambil tempat mereka di akhirat: doa, nyanyian dan ritual yang ditawarkan oleh para biarawan membantu untuk memperlancar roh mendiang ke alam sana.

Doa-doa ini disertai dengan iringan musik seruling, gong dan terompet.

Baca selanjutnya : Adat Pemakaman Tionghoa (Bagian II)

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

4 thoughts on “Adat Pemakaman Tionghoa (Bagian I)”
  1. Saya ingin bertanya, apakah saya boleh melayat ke upacara pemakaman orang, karena keluarga saya juga sedang berduka 3 bulan yang lalu, ada anggota keluarga yang meninggal juga, tetapi sudah melewati upacara 49 hari. Terima kasih atas responnya

  2. Sekarang udah jarang sekali lihat orang Tionghoa melakukan persemayaman di rumah sendiri. Mungkin terjadi di desa desa atau daerah. Tapi kalao orang Tionghoa yg tinggal di kota, biasanya umunya di Rumah Duka.

    Sekarang juga kebanyakan orang Tionghoa dimanapun(termasuk di Cina) di kremasi dan abunya ditabur di laut atau Sungai.Anggota keluarga tinggal mengenangnya dengan menabur bunga di laut atau sungai waktu Cheng Beng atau peringatan lainnya.Ini juga mempermudah anggota keluarga yang akan melakukannya dimana saja, kalau mereka tidak dapat melakukannya ditempat yg sama.

    1. Halo Raymond,

      Rumah duka hanya tempatnya, namun prosesinya TETAP SAMA, pun seandainya jenazah disemayamkan di rumah. Tidak ada yang dikurangi. Beberapa alasan dilakukan di rumah duka : supaya keluarga yang berkabung tidak repot memberesi rumah, mengatur tempat duduk buat tamu, menyiapkan makanan, pertimbangan lahan parkir yang tersedia, dsb.

      Mengenai jenazah yang di kremasi, persoalan utamanya karena di Negara maju lahan nya sudah sempit. Kalaupun ada, biayanya sudah sangat tinggi. Mengenai efek kemudahan dalam acara sembahyang kelak, itu hanya efek domino saja.

Leave a Reply to Raymond Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?