Last Updated on 12 June 2023 by Herman Tan

Nampak salah satu guide sedang menjelaskan asal-usul salah satu makam

Dahulu kala, disebuah desa kecil di negeri China hiduplah seorang ibu tua bersama seorang anak laki-lakinya. Sehari-harinya si anak bekerja disawah mereka yang tak begitu luas. Saat menjelang siang setiap harinya sang ibu mangantar makan siang untuk anaknya.

Namun malang, jika sang ibu terlambat mangantar makanan anaknya maka si anak akan memarahinya dan tak segan untuk memukul ibunya.

Suatu hari, matahari begitu terik menyinari bumi. Karena kelelahan si anak beristirahat dibawah pohon. Sambil mengipasi dirinya, ia mengamatin sekitarnya. Pandangannya tertuju pada anak-anak kambing yang sedang menyusu kepada induknya dengan posisi sujud. Si anak tertegun.

‘Wah kambing saja begitu menghormati induknya, bahkan saat menyusui saja harus sujud dihadapan induknya, sedangkan aku, aku bahkan memukuli ibu bila terlambat mengantar makananku, sungguh tak berguna aku’.

Dalam hati si anak bertekad untuk selanjutnya akan menghormati ibunya dan tidak akan memarahi ibunya apalagi memukul ibunya lagi. Dari kejauhan tampak sang ibu sedang berjalan menuju tempat anaknya. Sang ibu terlihat begitu kelelahan dibawah terik matahari siang itu.

Melihat ibunya dari kejauhan, si anak tak sabar lagi sambil berlari menyusul ibunya ia berteriak memanggil.

”ibu…..ibu……ibu…….!”

”ibu……ibu…..ibu…….!”

Bukan kepalang kaget sang ibu melihat anaknya berlari kearahnya sambil berteriak-teriak.

’Ya Tuhan, salah apalagi aku hari ini hingga anakku begitu marah padaku ia pasti akan memukuliku’. Pikir sang ibu dengan sangat sedih. ‘Hari ini aku tidak akan membiarkan dia memukulku lagi’.

Sang ibu pun berbalik dan berlari menghindari anaknya sementara si anak terus mengejar. Si anak semakin mendekat dan sang ibu pun berlari sangat kencang sekuat tenaga. Hingga akhirnya, sampailah sang ibu dibibir sungai

Sungai tersebut tidak terlalu dalam namun airnya tidak pernah kering. Tanpa pikir panjang, sang ibu pun melompat kedalam sungai tersebut karena melihat anaknya sudah hampir mendekati dirinya.

Bukan main kaget si anak melihat ibunya manceburkan diri ke dalam sungai. Ia menunggu dan berharap agar ibunya muncul ke permukaan sungai. Namun, ibunya tak kunjung muncul juga. Ia pun menangis dan meratap dipinggir sungai dengan sangat sedih. Beberapa saat kemudian ia melihat sekeping papan mengapung dipermukaan sungai.

Ia langsung mengambil papan tersebut untuk kemudian ia bawa pulang dan dalam hatinya ia berpikir ‘sepotong kayu ini adalah pengganti ibu dan kini ibu telah tiada’.

Setiap hari si anak bersujud dan berdoa untuk ibunya melalui sepotong papan tersebut.

Kadang-kala ia juga menyajikan makanan kesukaan ibunya didepan papan tersebut, walaupun setiap kali makanan tersebut masih tetap ada tak bergerak sedikit pun.

Hingga suatu hari si anak menikah, ia pun selalu berpesan kepada isterinya untuk selalu menghormati dan melakukan seperti apa yang ia lakukan terhadap papan tersebut. Lama-kelamaan si isteri bosan karena tiap hari selalu menyembah papan tersebut. Maka lalailah ia menjalankan kewajibannya.

Tak jarang si isteri pun tidak menyembah papan tersebut hingga si suami mendapati potongan papan tersebut mengeluarkan darah. Si suami pun memarahi isterinya dan menjelaskan bahwa papan tersebut merupakan simbol dari ibunya.

Dengan demikian, mengertilah si isteri dan ia tak pernah lagi lalai melaksanakan kewajibannya dan papan tersebut tidak lagi mengeluarkan darah.

Kisah diatas merupakan asal-usul orang Tionghoa menghormati leluhur dengan memasang kayu nisan pada kuburan leluhurnya. Konon katanya papan tersebut diukir nama leluhur beserta tanggal meninggal dan dibubuhi cat merah pada nama leluhur yang meninggal, sedangkan cat hijau untuk nama keluarga lain seperti isteri atau suami.

Masyarakat di negeri Tiongkok sangat percaya hukum sebab akibat, dimana jika kita berbuat baik, kebaikanlah yang kita dapat, jika kita berbuat jahat, maka kejahatan pula upah yang kita terima. Hormat pada leluhur itulah akar dari semua berkat kehidupannya.

Baca juga : Cara Penulisan Batu Nisan Bongpai Makam Tionghoa

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

9 thoughts on “Asal Usul Papan Nama Sembahyang Leluhur (Bongpai)”
  1. Mau tanya, di dalam bongpay apakah menantu perlu dimasukkan? Apakah ada perhitungan hongshui dalam mencantumkan nama keturunan yang meninggal?

    1. Hi Mary,

      Jika jumlah anak almarhum ada banyak, tentu tidak memungkinkan untuk ditulis semua pada batu nisan/bongpai, termasuk menantu dan cucu/cicit. Biasanya hanya ditambahkan -dan segenap menantu, cucu dan cicit.
      Namun jika almarhum hanya memiliki 1-3 anak saja, tidak masalah mencantumkan semuanya. Yang penting menantunya tidak keberatan/ada persetujuan, karena fakta di lapangan tak jarang dijumpai orang2 fanatik.

      Mengenai perhitungan fengshui untuk nama2 keturunan, seperti jumlah dan bagaimana aturan penulisannya, setahu saya pribadi tidak ada. Umumnya tata cara penulisan dan pembacaan bongpay adalah dari kanan ke kiri, dan dari atas ke bawah. Bongpay yang umumnya kita lihat umumnya terdiri dari 4 bagian, yaitu Baris Kanan, Baris Tengah, Baris Horizontal (Mata Bongpay) dan Baris Kiri :

      Baris Kanan : Menuliskan masa dan waktu saat bongpay dibuat atau diperbaiki. Biasanya ditulis dalam tahun kekaisaran, tahun Tian Gan Di Zhi (tahun shio), musim atau bulan. Cara penulisan umumnya mengikuti aturan (5n + 1) = 6, 11 (dan kelipatan) karakter yang bermakna dan terpulang pada arti ‘Lahir’ pada 5 karakter ‘Lahir, Tua, Sakit, Derita dan Mati‘.

      Baris Tengah : Menuliskan tentang nama dan status selama hidup mendiang. Selengkapnya baca artikel berikut : Cara Membaca Penulisan Bongpay di Makam Tionghoa

  2. tolong tanya mama saya meninggal 2014 papa saya masih hidup hingga kini
    lalu saya menikah thn 2016 (bongpay satu mama papa)
    apaKah nama istri saya boleh diukir di bongpay mama papa saya ?

    sekian terimakasih

    1. Bongpay bisa diperbaiki/dibongkar apabila :

      1. Akan ada penambahan nama/mengubah warna cat dari merah ke kuning emas jika suami/istrinya meninggal (se-makam).
      2. Perbaikan yang bersifat kritis, seperti bongpay retak, rusak, tergores, luntur, dsb.
      3. Penambahan nama anggota keluarga kandung/angkat yang dulunya tidak dicantumkan karena suatu dan lain hal.

      Dalam kasus seperti anda, cukup umum terjadi dimana orang tua sudah meninggal namun anak2 baru menikah setelahnya. Jika kelak istri anda akan rajin “berbakti” mengunjungi makam, ya sudahlah. Tapi kalau hanya akan jadi pajangan semata/tidak ada urgensi, rasanya dapat di pending dahulu.

      Hati2 fengshuinya berubah lho, karena bongpay merupakan inti dari sebuah makam.

  3. Jangan hanya sampai di kita saja,teruskan buat anak dan cucu kita sekarang juga …

    1. Halo, Deng Yun Xiang..
      Untuk itu kami terus berupaya untuk menyebarkan info-info seputar tradisi dan budaya Tionghoa di tanah air lewat dunia maya/internet. Semoga membantu generasi muda Tionghoa sekarang untuk bisa lebih memahami ajaran leluhurnya; tentunya ajaran-ajaran yang baik.

Leave a Reply to julianto Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?