Last Updated on 16 February 2022 by Herman Tan

Tarian barongsai, telah masuk ke tanah air sejak berabad-abad yang lalu. Tradisi khas tanah Tiongkok ini sempat dilarang sejak era orde baru kepemimpinan Soeharto (1968-1998). Selama periode itu, barongsai tidak bisa ditampilkan ke muka publik.

Tarian ini hanya bisa dimainkan pas hari-hari besar keagamaan saja. Saat itu, hanya orang Tionghoa saja yang menjadi peminat tarian olahraga ini.

Latihannya pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tapi sejak era reformasi, pada masa kepemimpinan pak Gusdur (1999), tradisi Tionghoa yang semula dilarang untuk diumbar kepublik, dibebaskan. Sejak tahun 2000, tarian macan ini berkembang pesat.

Olahraga ini, tak hanya dimainkan pas hari besar keagamaan saja, tetapi untuk acara-acara non formal pun bisa, seperti di acara perkawinan, ulang tahun, pembukaan toko baru, meramaikan mall, acara panggung, dsb.

Peminat olahraga tarian barongsai ini pun akhirnya merambat ke orang non Tionghoa. Kebanyakan anak-anak sampai remaja. Buat mereka, selain bisa menyalurkan hobi mereka, dengan barongsai ini juga bisa menambah uang saku mereka, melalui angpao yang diberikan oleh si pengundang. Dalam satu tim barongsai, biasanya 15-70 anggota.

Menurut pengamatan saya pada beberapa tim barongsai termasuk tim-tim papan atas, yang biasa mewakili nama Indonesia di pentas dunia untuk olahraga ini hanya tersisa 10%-20% saja pemain orang tionghoanya.

Memang sih, bagus, karena akulturasi budaya berarti sudah terjadi dan berjalan sukses. Tapi, jika sudah sampai seperti ini, berarti orang Tionghoa sudah kehilangan dominasinya pada olahraga yang dibawakan oleh nenek moyangnya ini.

Lambat laun, peminat barongsai mulai menurun dikalangan orang tionghoa sendiri. Kurang jelas apa penyebabnya. Anak-anak hanya disuruh sekolah, les dan latihan bermain musik saja. Mereka hanya diajarkan hal-hal yang berorientasi bisnis dan uang saja oleh orang tuanya tanpa mengajarkan tradisi budaya Tionghoa mereka sendiri.

Kini, barongsai hanya bisa menjadi penikmat saja bagi kalangan Tionghoa, sedangkan orang non Tionghoa (pribumi) semakin mendominasi perannya untuk olahraga ini.

Mungkin, masalah status sosial juga berperan karena tak mungkinlah orang tua yang memiliki banyak toko/perusahaan dan biasa dipanggil bos, mengizinkan anaknya untuk bergaul dengan orang yang secara status sosial jauh berada dibawahnya.

Mungkin bagi mereka, olahraga barongsai ini hanya buang-buang waktu saja. Lebih baik waktunya buat fokus cari uang saja. Sungguh sayang! Setahu saya, hanya sisa di Medan, Semarang, Tarakan dan sekitarnya saja barongsai ini masih digandrungi oleh kalangan Tionghoa, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.

Jika terus begini, perlahan-lahan warisan budaya kita ini hanya bisa dimainkan oleh orang non tionghoa semua dan kita sendiri sebagai orang Tionghoa hanya bisa sebagai penikmat saja.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

8 thoughts on “Barongsai di Masa Kini”
  1. wah, aq kurang setuju, Bro! di Surabaya masih banyak kok pemuda keturunan yang main barongsai. teman-teman SMA & kuliahku banyak yang ikut, khususnya yg cowok. mereka Chinese lho. zamanku akhir kuliah sekitar 3 tahun yll, ada temenku cewek (Cina) ngajaki teman-teman supaya join klub barongsainya dia.

    salah satu klub barongsai yg paling terkenal & aktif tampil di sini namanya “Satria”. anggotanya (sejauh yg aq lihat saat mereka tampil) Cina semua. sering tampil di mall.

    di Surabaya juga ada turnamen barongsai & liong, piala bergilir. bilangnya sih turnamen terbesar di Indo. pertamakali diadakan tahun 2011. setelah itu rutin tiap tahun ada. yg 2011 itu aq ikut nonton & foto-foto buat tugas kuliah. panitianya Cina semua, mayoritas udah sepuh sih. ada jg yang muda, entah anaknya ato bukan. saat itu yg juara 1 adalah tim dari Tarakan, Kalimantan Timur. tapi aq lupa nama klubnya apa. pemain mereka campuran, ada yg Cina & ada yg pribumi Kalimantan. yang klub lain dari berbagai kota sih, pemainnya mayoritas orang pribumi. ada yg cewek juga, mereka jilbaban.

    yang thn ini sebenarnya aq pengen datang tp missed :'(. biasanya di ITC Surabaya, ruang SIBEC (lantai paling atas). sponsornya gede-gede, ada Maspion, Krisbow, dll.

  2. Di sebagian kota besar sih banyak yang cuman boleh dibilang “ngaku-ngaku” aja org Tionghoa gara-gara leluhurnya orang Tionghoa… Mengapa bisa begitu? Abis kebanyakan bahasa sendiri aja banyak yang gak bisa. Bagaimana bisa mengaku sebagai orang Tionghoa kalo salah satu ragam bahasa Tionghoa pun tidak ada yang dikuasai…

  3. Cek dlu kota singkawang,barongsai sama naga masih ada apa gak ??
    Sekilas info singkawang mendapat julukan kota seribu klenteng dan kota amoi,jadi mnurut ada barongsai masi ad di singkawang ??
    Jangan sok tahu mas bro….

    1. Iya mas bro kalau di daerah kalimantan memang tidak ada yang meragukan populasi kalian dalam urusan memainkan tarian macan dan naga ini. Tapi di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya hanya tersisa sedikit orang tionghoa yang masih mau menekuni olahraga ini; itupun mungkin di bagian pengurus nya saja, tidak menjadi pemain langsung.

    2. Di Singkawang yang namanya Barongsai ama Naga, setiap Cap Go Meh ga pernah lepas punya. Barongsai mau kapan aja ada… Mungkin Pak Herman masih belum mengunjungi sampai ke daerah Singkawang sini kali…

        1. Bagus juga sih tulisan Pak Herman. Buat ingatin orang Tionghoa di kota besar yang sudah sebagian hanya karena punya leluhur orang Tionghoa n ngaku2 tionghoa tapi bahasa ibu, budaya sendiri udah lupa. Tulisan-tulisan di situs ini bagus biar jangan sampai budaya sendiri dilupakan..

Leave a Reply to Herman Tan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?