Last Updated on 14 July 2020 by Herman Tan

Saat ini di Indonesia sedang dihebohkan dengan kasus tuntutan kepada dokter atas kelalaiannya yang mengakibatkan kematian seorang pasien usai melahirkan. Akibatnya, ribuan dokter yang tersebar di seluruh Indonesia menggelar aksi protes dan melakukan mogok kerja, dengan menyuarakan stop kriminalisasi kepada para dokter.

Tapi mari kita tinggalkan sebentar masalah kasus tersebut sejenak. Kita simak sosok Dokter Lo Siauw Ging. Lo Siauw Ging, bisa disebut dokter langka di Indonesia saat ini.

Dokter senior di Solo ini tidak pernah menentukan tarif untuk pasien yang datang kepadanya. Bahkan lebih banyak dari mereka digratiskan sama sekali dari biaya konsultasi maupun obat. Dia melakukan itu karena merasa ingin mengabdi kepada kemanusiaan dan tahu diri pada negara. Apa hubungannya dengan Soekarno?

Di usianya yang telah mencapai 79 tahun, setiap hari rata-rata 60 pasien datang ke tempat praktik di kediamannya di Jagalan, Jebres, Solo. Ada yang datang dari kalangan kaya maupun dari kalangan miskin. Semua pasien yang datang, tidak dikenai biaya.

Artinya yang mau memberinya uang suka rela, biasanya yang datang dari kalangan berduit, akan memberinya imbalan konsultasi dengan meletakkan amplop berisi uang suka rela di meja konsultasi.

Namun lebih dari 70 persen diantaranya digratiskan dari biaya konsultasi. Dokter Lo, demikian dokter dermawan itu biasa dipanggil, menolak menerima biaya konsultasi dari kalangan bawah dan hanya memberikan resep untuk dibeli sendiri oleh si pasien di apotik.

Bahkan terhadap pasien miskin, sama sekali tidak keluar biaya; selain gratis biaya konsultasi, Dokter Lo juga memberi resep bertanda khusus untuk dibawa apotik yang telah ditunjuknya. Pihak apotik akan memberikan obat yang diresepkan itu kepada si pasien secara gratis. Tagihannya akan dibebankan kepada dokter Lo di akhir bulan.

“Tugas dan kewajiban seorang dokter pertama-tama harus melayani pasien. Fungsi sosial inilah yang paling utama, sesuai sumpah jabatannya. Kesehatan dan keselamatan pasien harus didahulukan, melebihi apapun juga.”

Meskipun demikian, Dokter Lo menampik menilai kebanyakan dokter sekarang mata duitan. Dia juga enggan menyebut telah terjadi komersialisasi profesi tersebut.

Dokter keturunan etnis Tionghoa ini secara hati-hati menyebut dedikasi, keberpihakan pribadi masing-masing dokter kepada sisi kemanusiaan dan juga sistem pendidikan dokter sangat berpengaruh pada berbagai persoalan yang seakan-akan mengesankan komersialisasi itu.

Dokter Lo kemudian memberikan gambaran. Ketika dia menempuh pendidikan dokter di Universitas Airlangga hingga lulus pada tahun 1962, tidak serupiah pun dia mengeluarkan uang untuk biaya pendidikan itu. Semua ditanggung Pemerintah. Setelah lulus dia langsung mendapat gaji dari Pemerintah untuk mengabdikan ilmunya pada masyarakat. Karena itulah dia merasa harus tahu diri dan berbalas budi.

Dokter Lo mengatakan, pada waktu zaman Pemerintahan Bung Karno, sekolah dokter digratiskan; dan selanjutnya langsung diterjunkan untuk mengabdi pada masyarakat. Pemerintahan saat itu paling memikirkan hal ini (kesehatan rakyat).

Dia merasa harus tahu diri juga untuk tidak memberati pasien dengan biaya mahal karena walau bagaimanapun ia mendapatkan ilmu ini juga dengan cuma-cuma dan difasilitasi negara. Kalau sekarang sekolah dokter biayanya sangat tinggi. Belum lagi untuk menempuh pendidikan spesialis, lebih tinggi lagi biayanya.

Mungkin saja dokter lulusan sekarang, ya pasti berpikir untuk setidaknya mengembalikan modalnya ketika menempuh pendidikan.

Kritik Dokter Lo selanjutnya adalah tentang pelayanan kesehatan masyarakat. Dokter Lo sama sekali tidak setuju dengan kebanyakan rumah sakit saat ini yang mewajibkan pasien harus membayar uang muka sebelum dirawat. Sistem itu dianggapnya sangat memberatkan, terutama bagi pasien kalangan bawah dan pasien emergensi karena terkena musibah mendadak.

Dokter Lo pernah dipercaya menjadi direktur RS Kasih Ibu, Solo, dari tahun 1981 hingga 2004. Saat dia menjabat direktur itulah dia menerapkan aturan agar rumah sakit yang dikelolanya tidak memungut uang muka bagi pasien rawat inap.

Ketika itu, RS Kasih Ibu banyak menerima pasien yang telah ditolak oleh banyak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang muka perawatan atau hanya karena sekadar tidak mampu menunjukkan KTP.

Menurut Dokter Lo, seharusnya orang-orang yang tidak mampu membayar uang muka dan tidak bisa mencari KTP inilah yang pertama-pertama harus mendapatkan prioritas perawatan. Orang yang tidak bisa mengurus KTP pastilah orang yang hidupnya susah. Belum lagi pasien korban kecelakaan.

Bagaimana mungkin orang yang terkena musibah mendadak di jalanan dan pasti tidak membawa uang cukup ini harus membayar uang muka. Padahal dia harus mendapatkan perawatan intensif karena musibah itu. Nilai kemanusiaan inilah yang harus dikedepankan. Jadi, bagaimana para dokter di Indonesia?

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?