Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan

Li Bai (Hanzi : 李白; pinyin : Lǐbái, 701 – 762), atau sering kali juga disebut Li Bo dan Taibai, adalah salah satu pujangga jenius paling terkenal di masa kejayaan Dinasti Tang dalam bidang seni dan budaya, yaitu pada masa kaisar Tang Xuanzong. Ia menulis lebih dari seribu puisi dalam hidupnya dan digelari Dewa Puisi.

Dia dan sahabatnya Du Fu (Hanzi : 杜甫, pinyin : Dùfǔ, 712 – 770) adalah dua sosok yang sangat menonjol dalam dunia puisi Tiongkok klasik pada masa Dinasti Tang.

Istilah ‘Tiga Keajaiban Tiongkok” sering dikaitkan dengan puisi Li Bai, permainan pedang Pei Min dan kaligrafi Zhang Xu. Salah satu puisinya yang terkenal adalah ‘Renungan di Malam Sunyi’, yang menggambarkan kerinduannya akan kampung halaman saat festival Musim Gugur.

Puisi-puisinya dikumpulkan dalam sebuah antologi puisi dinasti Tang paling penting yang berjudul Heyue yingling ji, dikumpulkan oleh Yin Fan pada 753. Sekitar 34 dari puisinya dimasukkan ke dalam antologi 300 Puisi Tang yang diterbitkan pertama kali pada abad ke-18.

Pada abad yang sama, terjemahan dari karya-karyanya menyebar di Eropa. Puisi-puisinya menjadi salah satu cara untuk mengungkapkan dan merayakan indahnya persahabatan, alam semesta, kesendirian dan kesenangan menikmati arak yang enak.

Beberapa puisinya seperti “Terbangun dari Mabuk di Musim Semi”, “Jalan Sulit Menuju Shu”, dan “Renungan di Malam Sunyi” masih dipelajari di semua buku sekolah di Tiongkok. Di Barat sendiri, puisinya diterjemahkan dalam banyak bahasa Eropa.

Hidupnya sendiri menjadi aspek menarik untuk diperhatikan, yakni cerita-ceritanya saat ia mabuk, kebangsawanan, dan dongeng terkenal tentang Li Bai yang tenggelam dari perahunya saat berusaha meraih pantulan bayangan bulan di permukaan sungai.

Potret klasik Li Bai dari era dinasti Tang

Kebanyakan kisah hidup Li digambarkan dalam puisinya; tempat-tempat yang ia kunjungi, teman-teman yang ia temui dari tempat jauh dan belum tentu akan ia temui lagi nantinya, imajinasinya yang luar biasa dan penuh kekuatan magis, berita tentang kejadian saat itu yang diterimanya, deskripsi alam, dan lain sebagainya.

Dalam salah satu biografinya, diceritakan bahwa saat ibunya mengandung Li Bai, ia bermimpi melihat sebuah bintang dengan sinar putih sangat terang jatuh dari langit.

Kejadian ini membuatnya dianggap sebagai salah satu dewa yang diasingkan dari surga ke bumi, sehingga ia mendapatkan nama julukannya sejak kecil, ‘Tai Bai – 太白” atau yang berarti ‘Venus’.

Tidak hanya itu, ia juga dikenal memiliki beberapa nama pena lainnya seperti Qinglian Jushi (Hanzi : 青莲居士, pinyin : Qīng lián jūshì), yang berarti Penjaga Teratai Biru Langit.

Selain itu masih ada nama-nama lainnya seperti Dewa Puisi (Hanzi: 诗仙; pinyin: Shī​xiān​), Dewa Arak (Hanzi: 酒仙; pinyin: Jiǔ​xiān​), Manusia Abadi dalam Pengasingan (Hanzi : 谪仙; pinyin: Zhé​xiān​), dan Ksatria Pujangga Petualang (Hanzi : 诗侠; pinyin: Shī​xiá, atau ‘Ksatria Puisi’​). Di Jepang, ia juga dikenal sebagai Ri Haku.

Li Bai lahir pada sekitar tahun 701, di Suyab (sebuah daerah di Asia Tengah dekat Tiongkok, yang sekarang menjadi negara Kyrgyzstan). Namun keluarganya pindah ke tenggara Gansu dan Jiangyou, dekat Chengdu di Provinsi Sichuan saat ia berusia lima tahun.

Pada saat ia masih anak-anak, ia sangat malas belajar. Namun suatu hari ia mengalami sebuah pertemuan yang mengubah jalan hidupnya; dalam suatu perjalanan, ia bertemu dengan seorang nenek tua yang sedang mengasah batang besi untuk membuatnya menjadi jarum sulam.

Ia bertanya kenapa nenek itu melakukannya, nenek itu menjawab bahwa cepat atau lambat, batang besi itu akan berubah menjadi jarum sulam yang diinginkannya jika ia tetap tekun mengasahnya. Maka sejak saat itu, Li Bai tergugah hatinya oleh nenek itu dan bertekad untuk tekun dalam belajar.

Ia membaca karya-karya klasik Konfusian seperti Kitab Puisi Klasik (Hanzi : 诗经, pinyin : Shījīng) dan Kitab Sejarah Klasik (Hanzi : 书经, pinyin : Shū jīng), dan banyak bacaan tentang astrologi serta metafisika yang dipelajari oleh sarjana Konfusian.

Ia juga senang melakukan aktivitas lain seperti menjinakkan burung liar dan permainan pedang. Bahkan ia juga menjadi salah satu ahli ilmu perang. Dalam autobiografinya, ia menulis tentang kehidupan bebas di masa mudanya di Sichuan :

“Saat aku berusia lima belas tahun, aku sangat menyukai permainan pedang, dan dengan itu aku bisa menantang beberapa pria yang juga mahir.”

Maka sebelum ia berusia dua puluh tahun, ia sudah pernah bertempur dan membunuh beberapa orang dalam pertempurannya. Di tahun 720, ia diwawancarai oleh Gubernur Su Ting yang memujinya sebagai seorang jenius. Walaupun ia mengutarakan harapannya untuk menjadi pejabat, ia tidak pernah mengambil ujian administratif selama hidupnya.

Pada usia dua puluhan di tahun 725, ia meninggalkan Sichuan dan berlayar sepanjang sungai Yangtze, Danau Dongting, ke Nanjing. Ia melewati Yunmeng (sekarang Hubei), dan menikah dalam waktu tidak lama dengan cucu perdana menteri kekaisaran yang baru saja pensiun, Xu Yushi.

Sepanjang tahun pertama perjalanannya, ia bertemu banyak orang terkenal dan memberikan banyak hartanya pada teman-teman yang membutuhkan.

Pada tahun 730, ia singgah di pegunungan Zhongnan dekat Chang’an (Xi’an sekarang) dan mencoba mendapatkan jabatan namun gagal. Ia berlayar lagi sepanjang sungai Kuning, berhenti di Luoyang dan mengunjungi Taiyuan sebelum pulang. Pada 740, ia pindah ke Shandong.

Di sana ia menjadi anggota sebuah klub yang dikenal sebagai “Enam Pemikir Rumpun Bambu”, sebuah kelompok santai yang mendedikasikan hidup mereka pada sastra dan arak. Lalu ia bertualangan di daerah Zhejiang dan Jiangsu, berteman dengan seorang pendeta Tao terkenal bernama Wu Yun.

Pada 742, Wu Yun diundang oleh kaisar yang memuji kehebatan Li Bai. Li Bai mendapatkan kehormatan dan pengaruh luar biasa dari kaisar dan lingkungannya di sana, bahkan ia diangkat menjadi seorang penerjemah karena kemampuannya dalam setidaknya satu bahasa asing.

Ia juga sering diminta kaisar untuk menulis puisi, dan sering kali ia diundang ke istana dalam keadaan mabuk berat, namun dalam keadaan mabuknya itu ia menciptakan puisi yang luar biasa indah. Ia membuat beberapa puisi tentang kecantikan selir favorit sang kaisar, Yang Guifei.

Ia sempat meminta kasim istana, Gao Lishi untuk melepaskan sepatu botnya di depan kaisar. Si kasim yang tersinggung menghasut selir Yang untuk tidak menyukai Li Bai. Akhirnya kaisar dengan berat hati menghadiahi Li Bai dengan banyak hadiah emas perak sambil memintanya keluar dari istana.

Sejak saat itu, Li Bai memutuskan untuk menjadi seorang Taois dan tinggal di Shandong, banyak bepergian dan menulis banyak puisi. Setelahnya terjadi pergolakan politik yang melibatkan dirinya. Li Baik kembali ke Jiangxi, walaupun ia tidak menghentikan pengembaraannya.

Pada tahun 762, paman Li Bai, Li Yangbing menjadi hakim di Dangtu dan Li Bai tinggal bersamanya. Kaisar yang baru, Daizong, mengangkatnya menjadi staf kearsipan di kantor pemerintahan. Namun saat Li Bai didatangi untuk serah terima jabatan, ia sudah wafat.

Menurut beberapa sumber, Li Bai diketahui tenggelam setelah jatuh dari perahunya karena mencoba menyentuh bayangan bulan di sungai Yangtze. Ada kemungkinan lain yang lebih meyakinkan kalau ia wafat karena kesehatannya yang memburuk yang disebabkan oleh gaya hidupnya yang kurang sehat.

Namun kisah tenggelamnya Li Bai karena berusaha menangkap bayangan bulan menjadi salah satu aspek menarik dalam kesusastraan Tiongkok, yang menjadi sebuah peribahasa mengenai ilusi. Selain berbakat menciptakan puisi,

Li Bai juga adalah seorang ahli kaligrafi yang hebat walaupun hanya satu karya kaligrafinya yang masih ada saat ini. Kaligrafi tersebut berjudul Shangyangtai (Menaiki Teras Matahari), sebuah naskah panjang berukuran 38.1 x 28.5 sentimeter, dengan tambahan catatan kaki yang ditulis oleh kaisar Huizong dari dinasti Song dan kaisar Qianlong dari dinasti Qing.

Kaligrafi tersebut kini disimpan di Museum Kekaisaran di Beijing.

Puisi “Renungan di Malam Sunyi (静夜思)

Ilustrasi klasik Li Bai dalam “Renungan Malam Sunyi”

床前明月光
疑是地上霜。
举头望明月
低头思故乡

(Chuángqián míngyuè guāng)
(Yí shì dìshàng shuāng)
(Jǔtóu wàng míngyuè)
(Dītóu sī gùxiāng)

Terang bulan di depan pembaringan,
Laksana embun di pelataran.
Menengadah menatap bulan purnama,
Tertunduk teringat kampung halaman.

Referensi :

Origins of Chinese Classical Literature – Asal Mula Sastra China Klasik (Dari Masa Pra-Qin hingga dinasti Qing). Fu Chunjiang.  Elex Media Komputindo, 2010.

Wikipedia – Li Bai

By Amimah Halawati

Seorang mahasiswa pasca perguruan tinggi teknik Negeri di kota Bandung. Mojang Priangan berdarah Sunda namun memiliki minat besar dengan bahasa dan budaya Tionghoa. Pecinta buku dan senang menulis, khususnya fiksi fantasi yang bertema mitologi dan kebudayaan Tionghoa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?