Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan

Menurut status twitter pak Mahfud, sama seperti mengucapkan selamat tahun baru 2018, Insyaallah tidak ada larangan atau haram hukumnya dalam Islam untuk sekadar mengucapkan Gong Xi Fat Cai.

Sejak diposting pada 12 Februari 2018, status twit pak Mahfud tersebut sudah di love lebih dari 5.500 kali, dan dibagikan lebih dari 2.700 kali.

Masih menurut beliau, Imlek itu bukan upacara Agama. Imlek merupakan perhitungan tahun Tiongkok yang sudah ada sejak 2569 tahun yang lalu; jauh lebih tua dari perhitungan tahun hijriyah Islam, yang baru 1439 tahun, atau perhitungan tahun masehi yang baru 2018 tahun. Jadi ini harus kita hormati sebagai salah satu petanda peradaban manusia yang sudah tua.

Pak Mahfud juga menyarankan bagi mereka (pemeluk Islam) yang menganggap mengucapkan hal itu merupakan dosa, adalah dengan tidak usah ngucapkannya.

Menurut status twitter pak Mahfud, sama seperti mengucapkan selamat tahun baru 2018, Insyaallah tidak ada larangan atau haram hukumnya dalam Islam untuk sekadar mengucapkan Gong Xi Fat Cai.

Menurut situs Wikipedia, di Tiongkok sendiri jumlah pemeluk Islam mencapai 0,45% dari total 1,4 miliar penduduk, atau berjumlah sekitar 6,3 juta jiwa. Survei yang dibuat oleh China Family Panel Studies tersebut dilakukan pada tahun 2014.

Disana, pemeluk muslim juga lazim ikut merayakan hari Imlek. Paling tidak, saling mengucapkan salam gongxi dengan tetangga dan kenalan itu merupakan hal yang biasa.

Juga acara makan bersama anggota keluarga, dan membagikan beberapa lembar angpau kepada anak-anak juga dirasa merupakan hal yang wajar, laiknya membagi rezeki dan doa agar yang menerimanya bisa selalu senang, sehat dan sukses.

Karena sejatinya hari Imlek memang bukan hari raya keagamaan. Hanya di Indonesia saja situasinya memang unik. Semua karena peristiwa perpolitikan di era orde baru, yang akhirnya ditumbangkan oleh era orde reformasi.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) lah yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001, yang menjadikan Imlek sebagai hari raya/hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Hal ini kemudian dikuatkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, yang pada tahun 2002 menyatakan Imlek resmi sebagai salah satu hari libur nasional, dan mulai diterapkan secara penuh pada Imlek tahun 2003.

Hal ini berbarengan dengan dimasukkannya / disahkannya Agama Konghucu sebagai salah satu Agama yang diakui di Indonesia (menjadi 6 Agama).

Atas dasar “kekuatan hukum” inilah yang menjadikan Imlek di Indonesia, “diklaim” sebagai miliknya pemeluk Agama Konghucu.

Mereka juga tidak salah, karena sejatinya pemerintahlah yang menetapkan keputusan seperti itu. Apabila tidak, maka jangan harap Konghucu akan disahkan sebagai salah satu Agama yang bisa dicantumkan dalam kolom KTP di Indonesia.

Baca juga, hari raya Imlek versi pemeluk Konghucu : Tahun Baru Imlek : Perayaan Hari Raya Agama atau Budaya?

Hal inilah yang akhirnya kemudian dimanfaatkan oleh kelompok muslim tertentu, yang mengatakan bahwa Imlek itu merupakan hari raya agama, sehingga membuat pengikutnya merasa berdosa apabila mengucapkan salam Gong Xi Fat Chai, dan merasa haram apabila menerima angpau.

Cara pandang ini tentu berbeda dengan pemeluk Islam moderat, seperti pak Mahfud MD tersebut.

Pertanyaannya, lantas mengapa Presiden Megawati menetapkan Imlek sebagai hari raya Agama, dalam hal ini adalah hari raya Agama Khonghucu?

Karena di Indonesia, hari-hari libur nasional selain yang berlaku umum, semua ditetapkan berdasarkan hari raya agama, termasuk Natal, Tahun Baru Hijriah, Tahun Baru Satu Suro, Tahun Baru Saka, Galungan, Nyepi, dll. Tidak satu pun hari raya budaya berdasarkan kelompok etnis tertentu.

Berdasarkan pertimbangan ini, ditetapkanlah Tahun Baru Imlek sebagai hari raya Agama Khonghucu. Sebab, seandainya tidak demikian, apa jadinya bila setiap kelompok etnis yang ada di Indonesia, meminta hari raya budayanya ditetapkan sebagai hari libur Nasional?

Atau bisa jadi, hampir setiap hari kita akan berlibur nasional, sebab jumlah kelompok etnis di Indonesia bukan sedikit jumlahnya (± 1.340 kel.etnis). Kalau sudah begitu, bisa kacau bukan?

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?