Last Updated on 16 May 2018 by Herman Tan

Peringatan 20 Tahun REFORMASI (12 Mei 1998 – 12 Mei 2018), Tionghoa Sebagai “TUMBAL” Reformasi. Pada bagian depan Museum Tionghoa Indonesia di Kawasan TMII, Jakarta, terpampang kalimat “Indonesia Kepadamu Kami Berbakti”.

Saya tidak menyangka, diantara ratusan foto tokoh Tionghoa yang terpampang terdapat salah satu dari 4 Mahasiswa Universitas Trisakti yang meninggal karena tertembak sewaktu berlangsungnya demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi pemerintahan pada 12 Mei 1998.

Hendriawan Sie, Mahasiswa Pahlawan Reformasi 1998

Tampak para mahasiswa yang menduduki atap gedung MPR pada 13 Mei 1998

Ia adalah (Alm) Hendriawan Sie, Mahasiswa Universitas Trisakti Penerima Bintang Jasa Adi Pratama Pejuang Reformasi. Ia merupakan anak semata wayang dari Bunda Karsiah dan (Alm) Hendrik Sie. Hendriawan Sie lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur, 3 Maret 1978 dan wafat di Jakarta, 12 Mei 1998 pada usia 20 tahun.

Hendriawan Sie berasal dari jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi, tewas tertembak 2x, masing2 dibagian leher dan di bagian pinggang tembus hingga ke perut ketika berdiri di balik pagar lingkungan kampus Trisakti. Dia sempat dibawa ke RS Sumber Waras yang letaknya tidak jauh dari kompleks Universitas, namun nyawanya  tidak tertolong lagi.

Selain Hendriawan juga terdapat 3 rekannya antara lain, yakni : Hery Hartanto (Teknik Mesin), Elang Mulia Lesmana (Teknik Arsitektur) dan Hafidin Royan (Teknik Sipil). Dalam insiden itu, 2 orang meninggal ditempat sementara lainnya meninggal di rumah sakit.

Peristiwa penembakan itu akhirnya malah memicu demonstrasi besar-besaran di kalangan mahasiswa berbagai Universitas, yang terjadi pada keesokan harinya, 13 Mei 1998.

Karena demonstrasi yang tidak terkendali itu akhirnya memicu kerusuhan massa (masyarakat sipil kelas bawah yang diprovokasi sekelompok oknum) yang terprovokasi untuk melakukan aksi menjarah & membakar ruko dan tempat usaha milik etnis Tionghoa.

Saat itu situasi Ibukota Jakarta benar2 dalam keadaan genting, dan pada akhirnya “memaksa” Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya, tepat 1 minggu setelah peristiwa kerusuhan tersebut (21 mei 1998), setelah BERKUASA selama 32 tahun.

Tampak Hendriawan Sie yang diapit 2 tokoh Tionghoa di Museum Tionghoa-Indonesia TMII

Tampak Foto di Museum Tionghoa Indonesia : Hendriawan Sie (Mahasiswa Trisakti Korban Penembakan 1998) diapit oleh foto Tan Eng Hoa (Anggota BPUPKI) dan Soe Hok Gie (Anggota Gerakan Pembaharuan)

Untuk menghormati Hendrawan Sie cs, setiap tanggal 12 Mei civitas akademika Universitas Trisakti selalu memperingati hari bersejarah itu sebagai Hari Pahlawan Reformasi. Selain itu, pihak Universitas Trisakti menamai salah satu Gedung di Fakultas Ekonominya dengan nama Gedung Hendrawan Sie. Pemerintah kota Balikpapan juga mengabadikan namanya sebagai salah satu nama sebuah jalan di kota itu.

Baca juga artikel seri Kerusuhan Mei 1998 : Kerusuhan Mei 1998, Inilah Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa!

Pada tahun 2005, tepatnya pada peringatan hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 60, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Bintang Jasa Pratama kepada Hendrawan Sie dan 3 rekannya yang menjadi korban pada tragedi Trisakti.

Chrisye, Putra Terbaik Indonesia Yang Terluka Akibat Diskriminasi, 2007

Chrisye, Tionghoa yang terluka

Chrisye (Christian Rahadi) merupakan salah satu penyanyi terkenal tanah air. Terlahir sebagai anak ke-2 dari pasangan Lauw Tek Kang (Laurens Rahadi; Ayah) dan Khoe Hiang Eng (Hanna Rahadi; Ibu) pada 16 September 1949 di Ibukota.

Beberapa bulan menjelang dirinya berpulang kepada Sang Pencipta, beliau baru memberikan pengakuan atas ke Tionghoaan-nya, dan penjelasan mengenai mengapa ia sampai menyembunyikan jati diri yang sebenarnya, bahkan terhadap anak2nya.

Ketika duduk di bangku sekolah menengah, dirinya pernah diteriaki “Cina! Cina! Cina!”

Tidak hanya itu, dia juga ditimpuki batu hingga kepalanya berdarah. Sejak peristiwa traumatis tersebut, Chrisye menutup rapat2 identitas ke Tionghoaan-nya, karena merasakan tersebut sebagai “BEBAN”.

Hingga beliau meninggal pada 30 Maret 2007, hampir tidak ada yang menyadari bahwa dia adalah seorang Tionghoa, termasuk penulis biografinya.

Chrisye adalah contoh korban akibat perlakuan diskriminasi yang sangat rasis. Hal tersebut harus segera di akhiri. Sungguh biadab jika pasca 20 tahun era Reformasi, masih ditemukan kelompok2 masyarakat yang berkelakuan seperti itu (ANTI CINA).

Satu penyebab utama timbulnya tindakan diskriminatif di masyarakat adalah karena provokasi dari segelintir orang yang memanfaatkan situasi, demi kepentingan pribadi dan menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Solusi yang dapat kita lakukan adalah :

Bagi masyarakat, harus kita hadapi dengan menyampaikan/membuka akses informasi sebanyak2 nya mengenai peran dan jasa tokoh2 etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini sangat penting dan mendesak karena selama 32 tahun masa Orde Baru “KEPAHLAWANAN” mereka justru disembunyikan.

Sedangkan bagi segelintir orang yang mencoba memprovokasi timbulnya tindakan2 diskriminasi yang rasis tersebut, perlu diambil tindakan tegas dan segera diproses dengan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.

Pertanyaannya, beranikah Negara melakukan tindakan tegas melawan pentolan/tokoh2 diskriminatif tersebut, yang juga memiliki basis pendukung?

Kerusuhan Mei 1998; Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

Kiranya peringatan 20 tahun Reformasi ini tidak membuat generasi muda Tionghoa melupakan sejarah yang telah dialami etnisnya sendiri.

Tidak perlu malu mengakui bahwa Anda adalah seorang Tionghoa. Karena, orang-orang yang malu mengakui identitasnya sendiri, sama saja malu mengakui leluhurnya sendiri!

“Modal” yang sudah Anda dapatkan sekarang, dibesarkan dengan baik dari kecil hingga dewasa, kalau bukan dari orang tua & leluhur, lantas dari siapa?

Soe Hok Gie 苏福义 (1942-1969) pernah berkata :

“Saya orang Indonesia kok, tapi Saya tidak mengingkari bahwa saya adalah keturunan pendatang dari Tiongkok. Saya sebagai orang Indonesia berhak punya pendapat, sama seperti misalnya kenapa orang Batak atau orang Aceh mesti merubah namanya menjadi Jawa? Cukuplah kita sudah Indonesia …

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?