Last Updated on 25 June 2023 by Herman Tan

Basuki Tjahaja Purnama (hanzi : 鍾萬學; pinyin : Zhōng Wànxué) atau lebih dikenal dengan Ahok, lahir di Bangka Belitung pada 28 Juni 1966.

Ahok sendiri tidak malu mengakui dirinya sebagai bagian dari keturunan Tionghoa (sama seperti Gusdur), dan bisa berbahasa Mandarin serta Khek dengan lancar (pernah diwawancarai CCTV). Tidak seperti tokoh2 etnis Tionghoa lainnya, yang malah enggan mengakui jati dirinya hanya demi jabatan!

Singkatnya, Beliau memulai “karir” dunia perpolitikan nya dari nol. Mulai dari menjabat Bupati Belitung, Anggota DPR, Wakil Gubernur hingga akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 19 November 2014; namun sayang dia “dipecat” dari jabatannya hari ini, 09 Mei 2017.

A. Kerusuhan Mei 1998 : Isu Sentimen Anti Tionghoa di Indonesia

Hal ini sebenarnya adalah sebuah ironi/anti klimaks, dimana tepat 19 tahun lalu, atau pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta, etnis Tionghoa sendiri mencapai titik nadirnya, dengan dijadikan tumbal bagi pergantian rezim kekuasaan di Negeri ini, dari orde baru menjadi orde reformasi.

Waktu itu, ribuan rumah, toko, ruko, kantor, bank dan mall milik pengusaha etnis Tionghoa menjadi sasaran utama amuk massa. Isinya dijarah dan tempatnya dibakar; dan (maaf) tidak sedikit perempuan etnis Tionghoa yang turut menjadi korban kekerasan/pelecehan pada saat itu.

Tampak Bank BCA dan Bank Lippo dibakar massa. Alasannya, karena mereka dekat dengan penguasa (Soeharto). Dan tokoh sentral yang melekat dengan deskripsi itu adalah Liem Sioe Liong.

Namun hingga hari ini, mengenai siapa dalang yang bertanggung jawab atas aksi kerusuhan yang memicu kemarahan ratusan ribu massa itu tidak jelas.

Padahal hasil temuan tim TGPF cukup jelas : Peristiwa itu sudah direncanakan, dan prajurit militer terlibat dibalik aksi itu! Pertanyaannya, siapa atasan yang menggerakkan mereka? Bohong besar jika prajurit lapangan bergerak sendiri atas inisiatifnya!

“Apapun itu, adalah sebuah catatan sejarah bahwa Negara kita pernah gagal memberi perlindungan bagi warganya” 13-15 Mei 1998

Sosok Ahok seakan telah menjadi “ujung tombak” dan simbol harapan/kebangkitan etnis Tionghoa di Indonesia. Dimana saat ini tingkat partisipasi dan kepercayaan etnis Tionghoa terhadap pemerintahan telah meningkat dibanding tahun2 sebelumnya;

seperti mulai berani ikut kancah dunia perpolitikan, ikut pemilu, berpartisipasi pada kegiatan2 berbangsa dan bernegara, namun kini semua itu terasa hilang.

Dengan mengusung konsep menciptakan sebuah pemerintahan yang bersih di DKI Jakarta, semuanya seakan tidak berarti dimata hakim, yang dengan tega memvonisnya hukuman 2 tahun penjara, hanya karena dianggap telah menista agama “menyinggung” kelompok mayoritas di Negeri ini.

Hanya dengan 1 kalimat saja telah membuat Ahok menjadi “from hero to zero”, tanpa memandang jasa-jasa yang telah diperbuatnya selama ini dalam membenahi ibukota. Etnis Tionghoa sepertinya diberangus agar tidak bisa berkembang lebih jauh di bidang pemerintahan Negeri ini.

Jika dibandingkan dengan Negara Singapore yang populasi Tionghoa nya mencapai 74,1% (mayoritas) dari total 5,6 juta penduduk, atau di Malaysia dengan 22,6% (kedua terbanyak) dari total 31,5 juta penduduk, populasi etnis Tionghoa di Indonesia sendiri diperkirakan hanya sekitar 1,2%* (minoritas) dari total 237,6 juta penduduk.

Tampak aksi demo sekelompok massa beberapa waktu lalu.

Sewaktu duel pemilu pilkada Jakarta lalu, isu sentimen RAS digaungkan : Minoritas tidak bisa memimpin ibukota! Namun isu itu dibungkus rapih dengan kasus penistaan agama (almaidah), dan akhirnya diajak ke ranah hukum.

Namun sayang, tim hakim pada kasus Ahok nya seakan tak berdaya menghadapi tuntutan petinggi negeri massa. Vonis Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang “hanya” memberikan ganjaran berupa 1 tahun penjara dengan 2 tahun masa percobaan, diperberat menjadi 2 tahun menjalani tahanan di bui!

Tim Hakim sama sekali tidak melihat posisi/pekerjaan Ahok saat ini, yang mana sebagai seorang Gubernur petahana, telah bekerja dan berbuat banyak bagi kemajuan ibukota.

Tim Hakim hanya “sekedar” melihat masalah dari 1 sisi sudut pandang. Bahkan pledoi yang dibuat Ahok dan tim pengacara tidak diindahkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan.

Dimanakah keadilan di Negeri ini? Padahal jika dilihat, sebagian besar orang2 yang menuntut Ahok masuk penjara adalah barisan garis keras ormas agama tertentu.

Apakah Hakim begitu mudahnya ikut terpengaruh suara mayoritas ini, yang nyatanya sebagian dari mereka jelas2 termotivasi untuk mendirikan Negara (Islam) dalam Negara?

Sebagai info, pada tahun 1950-1960-an, Gerakan DI/TII yang serupa dengan misi2 ormas garis keras saat ini, malah dibasmi tanpa ampun pemerintahan saat itu. Bedanya adalah, pada waktu itu perlawanan mereka terhadap pemerintah dilakukan dengan senjata, namun ini dengan cara-cara persuasif.

Hasilnya, Ahok dipaksa lengser dari jabatannya, dan dalam semalam kehidupannya berubah drastis. Tujuannya jelas, mengganjal Ahok agar batal mencalonkan diri sebagai pejabat publik setingkat Menteri, atau bahkan sekedar menjadi calon penggembira Wakil Presiden di tahun 2019 mendatang.

Sikap Ahok dan tim hukumnya? Jelas banding! Hasil terbaiknya, katakanlah saja Ahok dipermudah menjadi tahanan rumah, dan tuntutannya dikurangi seperti yang diajukan JPU (hanya menjalankan masa hukuman percobaan). Namun ‘brand’ bekas tahanan Lembaga Permasyarakatan (alias bui), telah dianggap cacat di mata publik, dan tetap membekas.

Itu bisa digunakan lawan2 politiknya kelak, jika Ahok memutuskan kembali ke ring pemerintahan.

Hal ini jelas seperti menutup kran Ahok di dunia pemerintahan. Lebih jauh, kita sebagai etnis Tionghoa kini tidak ada lagi ujung tombak yang benar-benar bisa diharapkan sebagai keterwakilan etnis di pemerintahan.

B. Perlukah Etnis Tionghoa Mendukung Ahok?

Sialnya, justru banyak dari etnis Tionghoa sendiri yang hingga saat ini terus mencoba untuk “mengkerdilkan” masalah ini, seolah tidak terjadi apa-apa. Umumnya mereka2 itu ANTI POLITIK, SOK PINTAR, dan BERSIKAP EGOIS; sehingga takut kasus yang terjadi pada Ahok terbawa2 ke mereka, seperti pada kejadian Mei 1998.

Tidak ada rasa perasaan senasib sebagai sesama etnis minoritas. Kasarnya, urusanmu ya urusanmu, jangan bawa2 ke kita juga.

Padahal, mereka sadar betul bahwa pihak2 lawan juga mengincar mereka (dianggap sama seperti Ahok, minoritas), tapi sikap egois mereka terkesan seperti MENCARI AMAN sendiri. Beberapa dari mereka juga berkata “sudahlah, tionghoa group gak perlu ikut-ikutan bahas masalah politik”.

Padahal, sebelumnya kita juga telah mempublikasikan artikel mengenai Soe Hok Gie dan Gusdur, dimana mereka juga merupakan tokoh sentral tionghoa pada masanya. Apa perlu menunggu Ahok menjadi seperti mereka dulu, baru bisa dibahas dan tidak tabu diperbincangkan sebagai bagian dari sejarah perpolitikan etnis Tionghoa?

Ironisnya, banyak diantara etnis kita sendiri yang justru malah menghujat mereka2 yang melakukan aksi simpatik terhadap Ahok, seperti menganggap mereka sebagai kaum baper, atau orang2 yang patah hati. Terhadap orang2 yang seperti ini, penulis curiga, apakah hati nurani mereka masih ada?

Seandainya pun kamu sebagai etnis Tionghoa tidak mau mendukungnya, toh tidak perlu ikut mencaci maki pendukungnya. Jika sudah begitu, maka tidak ada bedanya antara anda dengan kelompok2 intoleran di Negeri ini, yang tidak bisa menghargai perbedaan pendapat orang lain.

Tampak Veronica Tan, istri Ahok yang menangis saat membacakan surat Ahok, selasa, 23 Mei 2017

C. Seandainya Ahok Itu Bukan Orang Keturunan, Apakah Kasus di Pengadilan Ini Bisa Ada?

Yup. Kalimat itu diucapkan sendiri oleh adik Ahok, Fifi Lety Indra pada konfrensi pers yang digelar 23 Mei 2017. Jadi jangan bilang kalau kita sengaja mengait2kan etnis Tionghoa dengan kasus masalah politik yang menimpa Ahok. Lebih lengkapnya silahkan simak di video yang diliput media CNN berikut.

Veronica Tan, istri Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membacakan surat Ahok yang ditulis tangan dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa 23 Mei 2017.

Surat ini dibacakan saat pihak keluarga dan kuasa hukum menjelaskan alasan pencabutan surat permohonan banding atas vonis dua tahun penjara untuk Ahok pada Selasa, 9 Mei 2017 lalu. Berikut surat lengkap yang ditulis Ahok sendiri saat berada dalam penjara :

“Rumah tahanan Depok, Minggu, 21 Mei 2017

Kepada para relawan dan pendukung Ahok yang saya cintai, semua mereka yang menjalani proses demokrasi di mana pun berada, saya telah banyak berpikir tentang kejadian yang saya alami.

Saya mau berterima kasih kepada saudara-saudara yang mendukung saya dalam bentuk doa, kiriman bunga, makanan, kartu ucapan, surat, buku-buku dan bahkan dengan berkumpul menyalakan lilin.

Saya tahu tidak mudah bagi saudara menerima kenyataan seperti ini, apalagi saya. Tetapi saya telah belajar mengampuni dan menerima semua ini jika untuk kebaikan berbangsa dan bernegara.

Alangkah ruginya warga DKI dari sisi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat ada unjuk rasa yang mengganggu lalu lintas. Tidaklah tepat saling unjuk rasa dan demo dalam proses yang saya alami saat ini.

Saya khawatir banyak pihak akan menunggangi jika para relawan unjuk rasa. Apalagi benturan dengan pihak lawan yang tidak suka dengan perjuangan kita.

Terima kasih untuk unjuk rasa yang taat aturan dan menyalakan lilin perjuangan konstitusi ditegakkan di NKRI dengan Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

Mari kita tunjukkan bahwa Tuhan tetap berdaulat dan memegang kendali sejarah setiap bangsa. Kita tunjukan bahwa kita adalah orang yang beriman kepada Tuhan YME, pasti mengasihi sesama manusia, pasti menegakkan kebenaran dan keadilan bagi sesama manusia.

Gusti Ora Sare, put your hope in the lord, now and always. Kalau dalam iman saya, saya katakan: the Lord will work out his plans for my life.” – Ahok, BTP

Veronica Tan sendiri menyatakan menerima keputusan suaminya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), untuk tidak mengajukan banding atas vonis hakim. Dia juga menyatakan bahwa keluarganya tidak akan memperpanjang lagi.

Menurut Veronica, sejak pertama Ahok menerima jabatan Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi terpidana, pihak keluarga sudah merasa cukup. Selanjutnya, dia bersama anak-anak dan keluarga besar akan mendukung Ahok menjalankan hukuman yang telah diberikan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

“Bapak menjalankan ini saja untuk kepentingan semua dan bersama. Kita tidak akan memperpanjang lagi, dalam arti kita hanya menjalankan saja keputusan itu. Kami hanya men-support.” – kata Veronica Tan, istri Ahok

Pada kenyataannya, dengan dicabutnya banding Ahok di Pengadilan Tinggi, seolah seperti menguatkan stigma negatif yang sudah ada selama ini, bahwa kita sebagai masyarakat keturunan (etnis Tionghoa) tidak memiliki kedudukan hukum yang setara di Negeri ini.

D. Layakkah Ahok Disejajarkan dengan bung Soekarno?

Ternyata, apa yang dialami Ahok BTP hampir mirip dengan apa yang dialami Presiden Soekarno di tahun 1966.

Ketika itu, Soekarno bisa dikatakan berstatus tahanan rumah yang ditempatkan di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala Jakarta). Semua orang tahu, Soekarno ditahan, tetapi tidak banyak yang tahu nyawa proklamator tersebut diujung tanduk.

Dikisahkan pada suatu malam, satu regu Korps Intai Para Amfibi (Kipam) dari satuan KKO (Korps Komando Operasi) ALRI berhasil menyusup ke dalam Wisma Yaso. Batalyon Intai Amfibi atau disingkat YonTaifib adalah satuan elit dalam Korps Marinir seperti halnya Kopassus dalam jajaran TNI Angkatan Darat.

Komandan KKO AL Mayjen Hartono, loyalis bung Karno

Kala itu, regu pasukan khusus Kipam bisa melewati penjagaan ketat Wisma Yaso yang dijaga oleh Kostrad dan RPKAD, hingga masuk ke ruangan di mana Soekarno ditahan dan terbaring tidak berdaya.

Seorang perwira pertama Kipam membangunkan sang Proklamator, kemudian mengajak bercakap sejenak sambil mengutarakan rencana mereka untuk membawa Soekarno keluar dari Wisma Yaso.

Tetapi rencana tidak berjalan mulus, Soekarno menolak untuk diselamatkan. Soekarno malah memerintahkan si perwira pertama (setingkat Letnan 2) untuk membawa timnya keluar dari Wisma Yaso. Tidak banyak kata yang terucap, Soekarno tidak mau lagi diajak berbicara. Alhasil, Kipam pulang dengan tangan hampa.

Alasannya, bung Karno tidak mau adanya pertumpahan darah dan perpecahan antara korps KKO dan TNI AD. Terlebih perpecahan itu bisa meluas dan membuat Indonesia terbelah menjadi 2 kubu! 

Operasi penyelamatan secara rahasia terhadap sang proklamator tersebut pun tidak banyak diketahui orang, kecuali hanya di kalangan militer tertentu.

Padahal jika saja mau, pada saat itu KKO (sekarang ini marinir) bisa jadi yang paling terdepan bersama Soekarno, karena mereka memiliki basis militer di Surabaya (jauh dari Jakarta) dengan kekuatan 30 ribu personil dan ratusan tank tempur.

Dari sisi militer, selain korps KKO, juga masih ada korps Angkatan Udara, Divisi Siliwangi dan Brawijaya (1 divisi ±15-20 ribu prajurit) yang loyal padanya.

Sementara di sisi sipil, masih banyak elit-elit politik nasional lainnya yang masih loyal dengan Bung Karno. Tapi Soekarno memilih mengalah, walau diperlakukan seperti tawanan, Beliau tak ingin ada banjir darah lagi di Indonesia.

Baca juga 5 Dosa Soeharto pada Soekarno!

Bukannya mau membanding2kan kedua orang ini, tapi paling tidak ada 1 sisi positif yang bisa diambil dari mereka : Mau berkorban demi kedamaian masyarakat Indonesia!

“Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng, hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” – Presiden Soekarno

Sejatinya, orang2 inilah yang memang pantas disebut Pahlawan (英雄; Yingxiong) di eranya masing2!

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

2 thoughts on “Sebuah Catatan; Ahok dan Isu Sentimen Anti Tionghoa di Indonesia”
  1. Tapi seperti kita ketahui bersama kasus yang menimpa ahok murni karna unsur agama. Yang bukan tionghoa pun banyak kok yang membela ahok tolong jangan lupakan hal kecil ini. Tapi sbg orang kristen tidak perlu membela diri karna pada akhirnya Tuhanlah yang nantinya akan membela kita. Berdoa lah bagi bangsamu bagi pemimpin negaramu supaya tergenapi rancangan Tuhan Allahmu. Atas masalah pribumi saya pribumi meminta maaf yang sedalam dalamnya atas setiap hal yang sudah terjadi. Sungguh betapa menderitanya saya karna hal ini. Sama seperti perbedaan agama yang selalu jadi perdebatan, bagi sebagian orang perbedaan suku pun harus di perdebatkan.

  2. Media asing Reuters saja menulis di artikel beritanya “Pemerintah Indonesia telah dikritik karena tidak berbuat cukup dalam melindungi kelompok minoritas agama”.

    Artinya, pihak asing saja mengerti, bahwa kasus Ahok ini memang terdapat unsur sentimentil SARA.

    Etnis tionghoa yang mencoba untuk mengkerdilkan masalah ini umumnya ANTI POLITIK dan EGOIS, sehingga takut kasus ahok terbawa2 ke mereka.

    Tidak ada rasa perasaan senasib sebagai sesama etnis minoritas. Kasarnya, urusanmu ya urusanmu, jangan bawa2 ke kita juga. Padahal mereka sadar betul pihak2 lawan juga mengincar mereka, tapi sikap egois mereka terkesan untuk CARI AMAN.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?