Last Updated on 19 June 2021 by Herman Tan

Meskipun ada yang menyebutkan bahwa keturunan Tionghoa sudah mengenal kepulauan Nusantara sejak sebelum Masehi, namun belum ada keterangan lebih lanjut tentang daerah Nusantara yang mana, berapa populasi Tionghoa itu, apa kegiatan mereka, dan bagaimana bentuk hubungan mereka dengan daerah itu.

Setelah zaman Masehi, beberapa catatan informasi dari Tiongkok menyebutkan tentang perjalanan beberapa tokoh agama Budha dari daratan Tiongkok ke India, dan singgah di berbagai tempat di Nusantara.

Para pendeta ini menulis tentang daerah dan masyarakat yang mereka kunjungi. Mereka antara lain adalah Fa Hsien yang singgah di sebuah daerah yang disebut Jawa, dalam perjalanannya antara Tiongkok dan India, pada tahun 413 M (Masehi).

Pendeta Budha Hwi Ning singgah di sebuah daerah yang disebut Holing (Jawa utara) pada tahun 664 M, dan Pendeta I Tsing singgah di Sriwijaya pada tahun 671 M (Masehi).

Sejak itu nampaknya kepulauan Nusantara mulai dikenal orang Tiongkok, khususnya para penguasanya. Beberapa peristiwa yang terjadi kemudian memberi tanda tentang adanya hubungan diplomatik antara beberapa kerajaan di Nusantara dengan penguasa daratan Tiongkok.

Dikatakan bahwa mulai tahun 904, kerajaan Sriwijaya di pantai timur Sumatera mengirim utusan diplomatik dan dagang secara teratur ke Tiongkok. Pada sekitar tahun 1200, tercatat dalam kitab Chan Ju Kua tentang adanya dua kerajaan kuat di Nusantara, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Kediri di Jawa.

Pada tahun 1289, kaisar Tiongkok Kubilai Khan mengirim seorang utusan, yaitu Meng Ki, ke Singosari di Jawa Timur, meminta agar Singosari mengakui kedaulatan kerajaan Tiongkok atas daerah mereka. Utusan tersebut ternyata telah diberi malu oleh Raja Singosari.

Atas penghinaan ini, katanya, Kubilai Khan mengirimkan 10,000 serdadu untuk menghukum Singosari pada tahun 1292. Sebagaimana diketahui, ekspedisi ini menemui kegagalan karena diperdayakan oleh menantu Raja Singasari, Raden Wijaya.

Sebagian dari tentara Kubilai Khan yang kocar-kacir itu katanya tertinggal di Jawa dan terserap menjadi penduduk setempat.

Semua kejadian tentang hubungan antara Tiongkok dengan Nusantara seperti yang diceritakan di atas tidak menyebutkan tentang sudah adanya komunitas imigran Tiongkok di suatu tempat tertentu di Nusantara.

Perantauan orang Tiongkok ke Nusantara, khususnya untuk keperluan dagang, nampaknya baru muncul pada zaman dinasti Ming, persisnya pada akhir abad ke 14, ketika diberitakan adanya beberapa pedagang Tiongkok yang menetap di Palembang dan Temasik (Singapura).

Keadaan ini nampaknya terus berlanjut sampai pada zaman kerajaan Melaka (yang berlangsung dari 1400 sampai 1511). Di Jawa, pada tahun 1416, seorang penulis Tiongkok yang ikut ekspedisi Laksamana Cheng Ho, yaitu Ma Huan, melaporkan tentang adanya komunitas-komunitas peniaga Tiongkok di kota-kota pantai utara Jawa.

Migrasi ke Nusantara dalam jumlah yang agak berarti pada masa berikutnya terjadi karena dua faktor yang saling mengait. Pertama adalah pemberontakan-pemberontakan di daratan Tiongkok pada zaman pergantian kekuasaan politik dari dinasti Ming ke dinasti Manchu, yang mendorong keluar pihak yang kalah dan dikejar-kejar.

Kejadian ini bersamaan dengan masuknya Orang Eropa ke daratan Tiongkok pada awal abad ke 16, yang membuat jalan ke Laut Selatan (Nan Yang), khususnya ke Nusantara, diketahui oleh makin banyak orang Tiongkok.

Bagaimanapun, sampai masa ini migrasi penduduk Tiongkok yang meninggalkan negerinya masih dipandang sebagai kelakuan orang rendah dan buruk oleh kerajaan Tiongkok. Kalau bukan karena sengsara maka tentu mereka yang pergi merantau itu adalah bandit pelarian.

Antara 1644-1899, secara prinsipnya dinasti Ching melarang kegiatan perdagangan dan perantauan orang Tiongkok ke luar negeri, termasuk ke Nusantara.

Meski larangan tersebut tidak cukup efektif (sebagaimana kita lihat dengan pemberontakan orang Tiongkok di Batavia tahun 1740, dan pembukaan tambang-tambang emas oleh perantau Tiongkok di Kalimantan Barat pada 1750 an) namun pengaruhnya terhadap perantauan orang Tiongkok ke Nusantara jelas ada, sekurang-kurang membuat ketakutan pada calon perantau.

Kami mengetahui bagaimana putri Dinasti Ming, Hang Li Po dan rombongannya membuat rumah di bukit China (Penang, Malaysia), saat dia menikahi Sultan Malaka. Tapi anehnya, pernikahan itu tidak disebutkan di sejarah Tiongkok sendiri.

Pernikahan antara Sultan Mansur dan Putri Li Po mungkin menjadi suatu legenda, tapi telah disimbolkan sebagai pernikahan yang sebenarnya; pernikahan antara pedagang Tiongkok dan istri lokal mereka, antara adat istiadat Tiongkok dengan Melayu, serta sistem kepercayaan, yang melahirkan kebudayaan peranakan yang unik.

Pengaruhnya juga dapat dilihat dari lonjakan jumlah perantau Tiongkok setelah larangan itu dicabut, khususnya pada dekade pertama abad ke 20. Sampai pada akhir abad ke 19, migrasi orang Tiongkok ke Nusantara punya beberapa ciri-ciri dominan, yaitu :

1. Sebagian besar para imigran adalah kaum laki-laki.
2. Sebagian besar adalah dari suku-bangsa Hokkian dari Propinsi Fujian selatan.

3. Selalu punya harapan untuk kembali ke daratan Tiongkok.
4. Nyatanya sebagian besar dari mereka kawin dengan wanita setempat, lalu melahirkan anak-anak yang digolongkan menjadi masyarakat peranakan Tionghoa.

Menjelang akhir abad ke 19 sampai dasawarsa ketiga abad ke 20, terjadi lonjakan besar migrasi orang Tiongkok ke Nusantara. Lonjakan ini terjadi karena berbagai faktor, yang terpenting di antaranya adalah :

1. Perubahan kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap para imigran. Kini mereka tidak lagi dipandang hina, tapi malah disokong dan dibanggakan karena banyak membawa uang masuk untuk keluarga mereka, karena itu larangan untuk meninggalkan negeri Tiongkok dicabut.

2. Makin maraknya pemberontakan dan kerusuhan di daratan Tiongkok.

Gelombang migrasi kali ini membawa tiga ciri-ciri penting, yaitu :

1. Sebagian imigran sudah mengikut-sertakan kaum keluarga dan istri, sehingga menutup kemungkinan untuk kawin dengan wanita setempat dan sebagai dampaknya muncullah golongan yang biasa disebut “Cina totok“.

2. Para imigran terdiri dari berbagai suku-bangsa, sehingga mengurangi dominasi suku bangsa Hokkian.

3. Gelombang migrasi kali ini bersamaan dengan bangkitnya rasa nasionalisme Tiongkok yang memberikan orientasi politik lebih kental kepada negeri leluhur di kalangan imigran, khususnya pada golongan “Cina totok”.

Populasi Etnis Tionghoa di Indonesia di Tahun 1930 dan 2000

Di bawah ini adalah gambaran perkembangan jumlah penduduk imigran Tiongkok di Indonesia sampai tahun 1930. Sebagai info, tahun 1930 adalah tahun terakhir di mana sensus penduduk di Indonesia masih boleh menggunakan kriteria suku bangsa.

Kala itu, (tahun 1930) adalah tahun terakhir di mana sensus penduduk di Indonesia masih boleh menggunakan kriteria suku bangsa. Angka populasi etnis Tionghoa di tahun 1930 ini selalu digunakan orang untuk menghitung jumlah penduduk etnis Tiongkok di Indonesia pada masa2 selanjutnya, dengan teknik ekstrapolasi.

jumlah penduduk tionghoa di indonesia
Tabel I Perkembangan jumlah penduduk kelompok etnis Tionghoa di Indonesia

Dengan memperkirakan bahwa porsi penduduk etnis Tionghoa di Indonesia adalah sekitar 2.5% dari total penduduk Indonesia, Skinner menyusun satu tabel tentang persebaran penduduk etnis Tionghoa untuk tahun 1963, sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2.

Sedangkan pada tahun 1970, menurut perkiraan Mackie, terdapat ±3 juta etnis Tionghoa diantara 120 juta penduduk Indonesia (Mackie 1976:1).

jumlah penduduk tionghoa di indonesia 2
Tabel II Perkembangan jumlah penduduk kelompok etnis Tionghoa di Indonesia

Dengan jumlah penduduk Indonesia 200,000,000 juta pada tahun 1997, dan dengan perkiraan porsi penduduk etnis Tionghoa tetap 2.5%, maka jumlah penduduk etnis Tionghoa di Indonesia untuk tahun 1997 diperkirakan sekitar ±5 juta jiwa.

Namun mengingat kejadian kawin campur antara kelompok etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi, dan dalam setiap perkawinan campuran tersebut kemungkinan terbesar anak2 mereka akan tergolong menjadi etnis Tionghoa juga, maka jumlah tersebut adalah perkiraan minimal. Mestinya jumlahnya jauh lebih besar, tapi nyatanya tidak demikian.

Namun pada tahun 2000, pemerintah Republik Indonesia kembali melakukan sensus penduduk dengan mencantumkan jati diri suku bangsa. Hasil sensus tersebut telah diolah oleh Suryadinata dkk untuk mendapatkan jumlah etnis Tionghoa yang akurat di Indonesia (Suryadinata et al 2003: 73-101).

Namun karena berbagai hambatan di lapangan, mereka masih susah untuk mendapatkan angka real tersebut.

Pertama, dari 30 propinsi di Indonesia, hanya 11 propinsi yang mengeluarkan angka penduduk kelompok etnis Tionghoa. Kedua, ada banyak kesulitan, baik dari warga etnis Tionghoa untuk mengungkapkan jati dirinya, maupun dari petugas untuk mengenali ciri2 mereka.

Namun demikian, Suryadinata et, al memperkirakan bahwa persentase kelompok etnis Tionghoa adalah berkitar 1,45% sampai 2,04% dari total penduduk Indonesia. Presentase ini jauh di bawah rata2 pada tahun 1930.

Secara sosiologis, penurunan presentase ini sangat mungkin disebabkan karena mereka2 yang semestinya digolongkan sebagai etnis Tionghoa, tidak mau lagi mengakui sebagai warga keturunan, tapi memilih mengaku sebagai orang Indonesia saja, atau ikut suku mayoritas di mana mereka tinggal.

Hal ini menjadi umum, setelah kebijakan2 diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dikeluarkan pemerintahan Orde Baru pasca G30S/PKI 1965. Apalagi pasca peristiwa kerusuhan Mei 1998, dimana ratusan perempuan Tionghoa dilecehkan secara seksual oleh oknum2 bejad yang tak dikenal.

Jika dugaan tentang jumlah penduduk kelompok etnis Tionghoa ini benar, maka fakta ini dapat dipakai sebagai tanda bahwa makin intensifnya proses asimilasi meninggalkan identitas ke Tionghoa-an untuk menjadi Pribumi.

Sebagai tambahan, di bawah ini adalah lampiran dari Suryadinata et, al (2003) mengenai jumlah penduduk etnis Tionghoa di 11 propinsi yang kala itu mencatat jumlah populasi etnis Tionghoa.

jumlah penduduk tionghoa di indonesia 3
Tabel III Perkembangan jumlah penduduk kelompok etnis Tionghoa di Indonesia

Oleh : Amri Marzali, University of Malaya, Malaysia
Jurnal : MASYARAKAT INDONESIA, edisi XXXVII, No. 2, 2011. Jakarta: LIPI
Judul Makalah : Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia
Disunting oleh : Herman Tan

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Sejarah Migrasi dan Populasi Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia”
  1. Ternyata pada awalnya hanya sedikit etnis tionghua di Indonesia, tetapi semakin lama semakin banyak ya. Saya berharap di Indonesia ini tidak ada lagi yang saling rasis demi memajukan bangsa ini. Terimakasih infonya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?