Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan Manado

Beberapa daerah di tanah air sendiri terdapat satu tradisi yang sering dilakukan di dalam kelenteng, bertepatan dengan sembahyang  tanggal 15 bulan 8 Imlek, yakni Zhongqiu Jie atau Festival Musim Gugur.

Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini bernama Utang Pia (pinjam pia), atau di beberapa daerah sering juga disebut Pia Hoki, atau amal pia.

Tidak jelas apakah tradisi ini dibawa oleh para perantauan etnis Tionghoa, ataukah karena pengaruh akulturasi dengan budaya lokal. Tradisi ini dilakukan oleh si pemohon (umat) dengan melakukan sembahyang serta Poapoe (Zhì xiáo; 擲筊) untuk meminjam pia hoki dari para Dewa-Dewi di kelenteng; dengan maksud untuk dikembalikan berlipat di tahun berikutnya.

Biasanya si pemohon akan melipatkan pengembalian (nilai nominal awal dari pia) dari 1 menjadi 2 dan seterusnya sampai mencapai siopoe. Tradisi ini diyakini akan membuat rezeki kita semakin besar di tahun yang akan datang.

A. Sejarah Hutang Pia di Manado

Ada tradisi unik bagi umat kelenteng dan masyarakat Tionghoa di Manado Sulawesi Utara, berkaitan dengan sembahyang Zhong Qiu 中秋 (Hokkian : Tiong Ciu) berkaitan dengan kegiatan Hutang Pia. Masih banyak umat yang melaksanakannya hingga kini diberbagai Klenteng.

Namun namun jarang yang memahami akar sejarahnya, seperti dimana dan bagaimana kegiatan hutang pia ini bermula.

Menurut penelusuran di berbagai dokumen tua yang ada dalam perpusatakaan pribadi saya, baik dokumen berupa catatan yang telah saya konfirmasi melalui wawancara kepada para sesepuh dan mantan pengurus kelenteng kurang lebih 30 tahun yang lalu.

Maka jelaslah bahwa kegiatan Hutang Pia adalah wujud salah satu kegiatan umat untuk membantu operasional Klenteng pertama di Manado, yakni Klenteng Ban Hing Kiong (萬興宮; Wan Xing Gong).

Klenteng Ban Hing Kiong dalam beberapa catatan sejarah disebut dibangun pada tahun 1819 di Manado.

Namun, penelusuran dokumen sejarah yang ada pada saya menunjukkan bahwa jauh sebelumnya sudah dibangun Klenteng Ban Hing Kiong sejak dibangunnya benteng Fort Amsterdam dan kawasan kampung Cina oleh pemerintah Hindia Belanda di Manado.

Sedangkan penyebutan tahun 1819 lebih merujuk kepada bangunan Klenteng dipugar menjadi semi permanen.

Kegiatan Hutang Pia adalah upaya kreatifitas pimpinan Klenteng Ban Hing Kiong pasca kejadian wabah kolera yang melanda kota Manado di tahun 1930, serta bencana banjir besar di Manado tahun 1936.

Lewat penelusuran dokumen yang ada, menyebutkan bahwa kegiatan hutang pia ini mulai dilakukan saat kegiatan sembahyang Zhong Qiu 中秋 (Tiong Ciu) pada tahun 1937 di Klenteng Ban Hing Kiong Manado.

Saat itu, Kapiten Cina di Manado mengangkat Kethio-Kethio (pengurus kelenteng) sebagai petugas sembahyang di Klenteng Ban Hing Kiong, dan para Kethio inilah yang kemudian melaksanakan kegiatan Hutang Pia untuk operasional persembahyangan di Klenteng Ban Hing Kiong yang pada masa saat itu merupakan satu-satunya Klenteng di Manado.

Sebutan Kethio kini berubah menjadi Tauke Klenteng atau petugas sembahyang.

Tampak kayu poapoe yang terletak di meja altar sembahyang

Adapun Hutang Pia adalah kegiatan seorang umat yang menyakini dengan imannya melaksanakan proses Poa Poe di Klenteng, yakni prosesi “bertanya” kepada Shen Ming 神明 (Roh Suci).

Tata cara Poa Pwee (跋貝; Bá bèi) adalah melempar dua keping kayu berbentuk setengah lingkaran, dengan masing-masing sisinya harus berlainan (Filosofi Yin Yang 陰陽).

Makna dan arti yang tersirat dalam Poa Pwee adalah :

1. Jika satu sisi terbuka dan yang satu tertutup (artinya ya, atau direstui).
2. Jika dua-duanya terbuka (diartikan “tertawa” atau masih berimbang dan boleh dilakukan lagi prosesi “bertanya” kepada Shen Ming 神明).
3. Jika keduanya tertutup (artinya tidak direstui atau tidak).

Saat Poa Pwee, seorang umat akan berikrar dan berniat dalam hati dengan mengucapkan jumlah uang berapa yang akan dibayar nanti saat sembahyang Zhong Qiu 中秋 (Tiong Ciu) tahun depan.

Jika misalnya disebut seratus ribu rupiah dan “direstui” melalui Poa pwee oleh Shen Ming 神明, maka kue Pia atau kue bulan boleh diambil, dan nanti dibayar tahun depan kepada pengurus Klenteng. Namun demikian, ada juga yang langsung membayar kontan.

Namun jelaslah maknanya bahwa “hutang” yang dibayar tahun depan bermakna “membawa pulang kue pia”. Nanti tahun depan saat sembahyang Zhong Qiu 中秋 (Tiong Ciu) hutang pia nya dibayar, sekaligus umat sudah bertekad untuk melipat gandakan hutangnya.

Misalnya, tahun ini berhutang seratus ribu rupiah, maka setelah dibayar tahun depan, lalu hutang pia lagi, namun jumlahnya digandakan.

Tampak seorang umat yang sedang bersembahyang di kelenteng

B. Lantas Apa Makna Dibalik Tradisi Ini?

Tradisi ini bermakna agar kita selalu berpikiran positif (rezeki selalu berlipat naik, tidak ada yang turun rejeki) dan membentuk motivasi kita agar lebih giat bekerja.

Kehidupan manusia tidak bisa dilalui tanpa perjuangan, tanpa semangat yang tinggi dalam mencapai cita-cita. Melalui tradisi ini, umat kelenteng percaya bahwa rejeki harus terus naik. Makanya tidak ada istilahnya balikin nominalnya tetap, apalagi berkurang.

Selain itu, dengan adanya kegiatan hutang pia ini maka kegiatan operasional Klenteng bisa terus berlangsung, karena sumber dananya bertambah, selain sumbangan umat pribadi dan usaha lain.

Disisi lain, umat menyakini bahwa dengan melaksanakan hutang pia, sumbangannya dengan membayar hutang dan melipat-gandakan sumbangannya ke Klenteng, maka berkat rejeki akan terus bertambah setiap tahun.

Dengan demikian, umat yang melaksanakan hutang pia setiap tahunnya terus bertambah hutangnya dan bertambah pula kontribusi sumbangan bagi operasional dan kas Klenteng.

Kini, kegiatan Hutang Pia ini sudah dilaksanakan di hampir semua Klenteng yang ada di Manado. Mungkin, tradisi unik ini juga sudah diikuti di berbagai klenteng lain di Indonesia.

Sejarah hutang pia memang berasal dari tradisi kepercayaan dan kegiatan umat Khonghucu maupun umat kelenteng yang datang bersembahyang di Klenteng.

Catatan : Diolah dari berbagai sumber dan dokumen; dengan penambahan dan pengeditan seperlunya tanpa mengubah maksud konteks asli.
Penulis : Js. Sofyan Jimmy Yosadi, SH. (Yang Chuan Xian; 楊传贤)
Badan Pengurus MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Bidang Hukum, Ketua Komunitas Budaya Tionghoa Sulut.

By Penulis Lepas Tionghoa

Kumpulan artikel yang berasal dari Penulis Lepas blog Tionghoa.INFO. Klik halaman 'Authors' untuk bergabung bersama kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?