Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Maria Felicia Gunawan, siswi kelas XI dari sekolah SMAK Penabur Gading Serpong, Tangerang, pada hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2015 masuk dalam tim Sadewa terpilih sebagai pembawa baki bendera pusaka.

Nantinya akan diletakkan duplikat bendera pusaka dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pada upacara bendera di Istana Merdeka Jakarta pagi tadi.

Jumlah anggota Paskibraka yang diambil dari siswa-siswi murid SMA sebanyak 68 orang; yang berasal dari 34 propinsi Indonesia masing-masing diwakili oleh dua orang terbaik, satu putera dan satu puteri. Tapi yang bisa dipilih menjadi pembawa baki hanya 2 orang (perempuan); 1 untuk pengibaran bendera dan 1 untuk penurunan bendera.

Mereka kemudian dibagi menjadi dua tim yang akan bertugas pada upacara penaikan bendera pada pagi hari  (Tim Sadewa) dan penurunan bendera pada sore hari (Tim Nakula).

Masing-masing tim kemudian dibagi menjadi 3 kelompok; yakni Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu, kelompok 8 sebagai inti pembawa bendera, dan kelompok 45 sebagai pengawal.

Maria Felicia Gunawan yang juga punya nama panggilan Cia itu melaksanakan tugas dengan baik. Selama bertugas, tak henti-hentinya ia tersenyum manis.

Siswi pelajar perwakilan dari Propinsi Banten itu menaiki tangga menuju panggung inspektur upacara yang akan memberikan duplikat bendera pusaka kepadanya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi inspektur upacara menyerahkan duplikat bendera pusaka ke atas baki yang dibawa Cia; lalu kemudian menuruni tangga dan kembali ke barisan.

maria felicia gunawan tionghoa
Tampak Maria Felicia Gunawan dalam formasi kelompok 8 yang sedang membawa duplikat Bendera Pusaka untuk dikibarkan (Foto : liputan6.com)

Tugas Cia selesai ketika ia menyerahkan bendera tersebut untuk kemudian dikibarkan. Namun terlebih dahulu bersama pasukan delapan ia melaporkan tugasnya usai mengibarkan bendera kepada inspektur upacara.

Para hadirin sempat bertepuk tangan meriah setelah Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2015 kembali ke tempat dan mereka sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Mungkin selama ini sudah ada beberapa orang yang berasal dari etnis Tionghoa yang berhasil menembus atau terpilih sebagai anggota Paskibraka di Istana Merdeka, atau sebagai anggota Paskibraka di tingkat kota dan propinsi mungkin lebih banyak lagi jumlahnya.

Namun tanpa mengecilkan peran yang lain, yang bisa membawa baki bendera pusaka pada upacara pengibaran bendera di tingkat Kenegaraan itulah yang sebenarnya merupakan sebuah kehormatan tertinggi.

Maria Felicia Gunawan
Maria Felicia Gunawan (Foto : bisnis.com)

Maria Felicia Gunawan adalah etnis Tionghoa pertama yang bertugas sebagai pembawa baki bendera selama upacara 17 Agustus di Istana Negara. Gadis yang memiliki tinggi badan 174 cm dan kelahiran Jakarta pada 23 Februari 1999 itu merupakan anak ke 5 dari 6 saudara.

Dia memiliki prestasi yang menonjol di sekolahnya; dimana dia pintar dalam berbagai mata pelajaran dan menguasai tiga bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan Bahasa Jepang.

Seperti yang kita telah ketahui bersama dulu pada era Soeharto, partisipasi etnis Tionghoa dalam berbagai acara kegiatan Kenegaraan sangat dibatasi; kita juga dilarang untuk masuk menjadi TNI, Polisi, Aparatur sipil, dsb.

Dengan adanya peristiwa hal ini, menandakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada lagi perbedaan suku, agama, ras, antargolongan (SARA); dan kesempatan bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam Kenegaraan sudah terbuka lebar.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

10 thoughts on “Etnis Tionghoa Bawa Baki Bendera Pusaka di Istana Negara”
  1. Cuma mau menambahkan sedikit. Kalau ada waktu coba jalan-jalan ke Universitas Indonesia kampus Salemba Jakarta – Fakultas Kedokteran – RSCM. Coba kelilingi ruang-ruang kuliah dan pasti akan melihat adanya tulisan nama-nama sarjana lulusan studi kedokteran dari FKUI yang dipahat di atas batu di samping tembok ruang perkuliahan.

    Di samping tembok tersebut yang dipahat di atas batu berwarna hitam, di mulai dari masa awal 1950-sampai sekitar 1958-59-akhir, tertulis dengan jelas nama-nama dokter lulusan dari FKUI. Yang sangat mengherankan sekitar 75% sampai 80% dari nama-nama tersebut ternyata merupakan nama-nama etnis Tionghoa yang berhasil menjadi dokter lulusan dari FKUI, sisanya Kaum Pribumi.

    Coba bandingkan dengan kondisi 1960-an ke atas, dimana FKUI, konon, kabarnya menetapkan jatah maksimal hanya 3 % bagi etnis Tionghoa untuk bisa diterima studi di FKUI.

    Sangat mengherankan mengapa orang-orang yang berprestasi dan berbakat menjadi dokter, namun karena alasan yang tidak jelas malah sengaja dihalang-halangi dan dihambat untuk berkembang maju. Inilah contoh kecil yang dapat menjelaskan mengapa Indonesia sulit menjadi negara maju.

    Alm. Professor Gan Kun Han, Guru Besar Mikrobiologi FKUI menyampaikan kata mutiara yang sangat dikenal oleh profesi dokter di Indonesia, yaitu:
    “Menjadi dokter adalah baik.
    Menjadi pedagang juga baik.
    Tetapi dokter menjadi pedagang itu tidaklah baik”.

    Kata-kata tersebut sempat dipajang di atas pintu masuk ruang kuliah Mikrobiologi FKUI sebelum akhirnya dicopot karena dianggap sampah yang menggangu.

    =Tan=

    1. hmmm, begitu. apa gara-gara itu juga, makanya sedikit kaum Tionghoa yg kuliah di universitas negeri (apalagi sekolah negeri) di kota besar? kebanyakan orang-orang larinya ke swasta. jarang yg kuliah di kampus negeri.
      lain cerita klo kota kecil, dmn sekolah hanya ada sekolah negeri (& umumnya belum ada universitas)

  2. pada zaman Presiden Suharto etnis tionghoa tidak pernah dilarang jadi anggota TNI, Polisi, Aparatur sipil, dsb. hati hati bro, Fitnah bisa dipidana. maaf cuma mengingatkan.

  3. Sebenarnya etnis apapun yg melakukan tugas untk negara tidak perlu dibesar-besarkan atau ditekankan dlm berita, karena menurut saya Indonesia adalah satu. Kita semua WNI apapun etnis kita. Kalau memang pemerintah kita sudah melakukan perubahan, apapun itu, pasti akan bisa dilihat dan dirasakan oleh seluruh rakyatnya. Justru yang perlu diberitakan adalah prestasi pribadi orang yang bersangkutan. Karena sewaktu mendaftar atau dipilih, pasti jukan karena etnisnya tapi karena prestasinya.

    1. setuju michelle… kalo semua orang indonesia seperti kamu..insya allah Indonesia akan menjadi negara yang besar dan kuat spt Amerika,dan menjadi negara yang disegani didunia…perbedaan bukan penghalang untuk maju..justru kita harus bangga indonesia dg berbagai suku & agama bisa kondusif, hanya saja kesejahteraan rakyatnya yg belum merata shg ketimpangan sosial sering terjadi..

  4. Saya merasa senang atas atas terpilihnya M. Felicia Gunawan yg membawa baki duplikat bendera pusaka, pada upacara negara 2015.
    Namun pada tahun 1967, warga keturunan tionghoa pernah terpilih sebagai pengibar bendera pusaka asli (blm duplikat), itu di era presiden Suharto, jadi untuk meluruskan info 🙂

    1. Halo Santosa, Apakah anda punya bukti-bukti foto atau berita yang dimuat pada surat kabar waktu itu?

      Sebagai info :

      1. Pada tahun 1967 Suharto belum menjadi presiden RI (masih menjadi pejabat presiden).
      2. Dimasa itu, Indonesia sangat dekat dengan Tiongkok. Karena itulah CIA (Agen rahasia Amerika Serikat) membuat “jebakan betmen” untuk menurunkan Presiden Soekarno agar tidak membawa negara Indonesia menjadi negara yang berpaham Komunis (mengikuti jejak negara Tiongkok dan sekutunya, Rusia).
      3. Ini kutipan singkat sejarah PASKIBRAKA yang saya kutip dari http://purnapaskibrakaindonesia.org :

      Pada tahun 1967, Bapak Husein Mutahar yang menjabat sebagai Dirjen Urusan Pemuda dan Pramuka (UDAKA) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diberi tugas untuk menyusun tatacara pengibaran Bendera Pusaka. Beliau membentuk pasukan yang terdiri dari atas 3 kelompok yaitu; kelompok 17 sebagai pengiring/pemandu, kelompok 8 sebagai inti pembawa bendera, dan kelompok 45 sebagai pengawal. Ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 (17-8-45).

      Pada waktu itu dengan situasi kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang ada di jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas Pengibaran Bendera Pusaka. Pasukan ini kemudian disebut PASKIBRAKA (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Semula rencana beliau untuk kelompok 45 (pengawal) akan terdiri dari para Mahasiswa AKABRI (Generasi Muda ABRI). Usul lain menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, MARINIR dan BRIMOB) juga tidak mudah, akhirnya diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi dan sekaligus mereka bertugas di Istana Negara Jakarta.

      Pada 17 Agustus 1968, petugas pengibar Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan propinsi. Tetapi propinsi-propinsi belum seluruhnya mengirimkan utusan sehingga masih harus ditambah oleh eks-anggota pasukan tahun 1967.

      5 Agustus 1969 di Istana Negara Jakarta berlangsung upacara penyerahan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi Naskah Proklamasi oleh Presiden Suharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia. Bendera duplikat (dari 6 carik kain) mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka Jakrta, sedangkan Bendera Pusaka bertugas mengantar dan menjemput bendera duplikat yang dikibar/diturunkan.

      Pada tahun itu resmi anggota PASKIBRAKA adalah para remaja siswa SMTA se-tanah air Indonesia yang merupakan utusan dari 26 propinsi di Indonesia, dan tiap propinsi diwakili oleh sepasang remaja. Dari tahun 1967 sampai tahun 1972 anggota yang terlibat masih dinamakan sebagai anggota “Pengerek Bendera”.

Leave a Reply to Santosa Pramana Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?