Last Updated on 28 July 2018 by Herman Tan

“Apa dosa menjadi peranakan? Menjadi Tionghoa? Menjadi Jawa?”

Demikian kata Gubernur Jawa Tengah, Gandjar Pranowo saat membuka peluncuran buku edisi ke-3 Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya, di Semarang Contemporary Art Gallery, Semarang, Jawa Tengah, pada 13 Juli 2018 kemarin.

Gandjar mengajak untuk merenungkan kembali keragaman budaya yang membentuk ke-Indonesia-an kita.

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di latar belakang budaya tertentu. Setiap budaya memiliki kisah teladannya sendiri yang menjadi bagian kearifan tradisi Nusantara. Salah satu sumbangan budaya Tionghoa adalah batik, demikian ungkapnya.

“Saya menyukai batik bermotif Naga. Saya kolektor batik Lasem yang bergambar Naga. Disitu diceritakan bermacam-macam motif dengan sentuhan hati dan komunikasi yang lembut, semua bisa berpadu menjadi satu.”

Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo membuka pameran pusaka peranakan Tionghoa di Semarang Contemporary Art Gallery, 13 Juli 2018. (foto : National Geographic Indonesia)
Tampak Gubernur bersama rombongan panitia melihat-lihat koleksi foto Peranakan Tionghoa di Indonesia

Boedi Mranata, yang mewakili Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan Pelindung Kehormatan di Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), turut memberikan sambutan.

Dia berkisah perihal riwayat perjalanan orang-orang Tiongkok yang tersebar dan bermukim di pesisir Nusantara. Mereka menggunakan kapal-kapal yang dipandu arah angin untuk mencapai kepulauan rempah ini.

Lantaran harus menunggu arah angin untuk kembali, mereka bermukim di wilayah Indonesia untuk beberapa bulan lamanya. Saat itulah terjadi interaksi dengan budaya lokal, hingga menikah dengan warga setempat.

Persentuhan dan peleburan budaya (akulturasi budaya) itu sebuah keniscayaan. “Budayanya tidak asli Indonesia, tidak asli Tiongkok (melainkan) membikin tersendiri budayanya,” kata Boedi. “Kita itu bagian dari Indonesia. Itu yang mau kita sebutkan.”

Lily Wibisono, sang editor buku ini, yang juga mantan editor in chief majalah Intisari, mengungkapkan bahwa kebudayaan peranakan Tionghoa kerap mengantarkan kita pada konotasi masa silam.

Kendati demikian, sejatinya, kebudayaan ini masih hidup dalam keluarga-keluarga Indonesia. Budaya ini senantiasa berevolusi dalam konteks perjumpaannya dalam dinamika sosial, budaya, dan politik.

Globalisasi pun turut memengaruhi budaya peranakan Tionghoa. Di penjuru Nusantara, ke Tionghoaan keluarga2 peranakan terus berinteraksi dan dipengaruhi oleh budaya setempat.

Suasana pameran benda-benda koleksi peranakan Tionghoa (foto : National Geographic Indonesia)

Buku yang menyajikan kekuatan visual setebal lebih dari 400 halaman ini merupakan kolaborasi Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan majalah Intisari.

Sejumlah 14 penulis turut terlibat dalam penyusunan buku ini: Ariel Heryanto, Boedi Mranata, David Kwa, Esther Harijanti, Gondomono, Handi Noto, Kwan Hwi Liong, Lily Wibisono, Maria Helena Ishwara, Mary Patricia Northmore, Myra Sidharta, Mona Lohanda, Musa Jonathan, dan Rudi Tjahjadi.

Pengerjaan untuk edisi ke-3 ini memakan waktu sekitar 4 tahun, dan peluncurannya sekaligus menandai kado ulang tahun majalah Intisari yang ke-55.

Buku bertema budaya ini memiliki keterkaitan dengan tema ulang tahun Intisari tahun ini: Merayakan Talenta Indonesia. Para pembaca khususnya generasi muda, diajak untuk menemukan sari kearifan budaya untuk bekal dan bersiap melangkah ke masa depan Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Jawa Tengah juga membuka pameran benda-benda koleksi Peranakan Tionghoa Indonesia bertajuk Warisan Peranakan.

Banyak koleksi benda masa silam yang dipamerkan, masih berperan dalam keseharian keluarga peranakan Tionghoa. Dari ukiran pada furnitur sampai pilihan buah dan menu makanan dalam ritual.

Para pembicara diskusi panel. Dari kiri ke kanan: Rafael Soenarto, Boedi Mranata, Yudi Latief, Didi Kwartanada, Azmi Abubakar, dan moderator Irwan Julianto. (foto : National Geographic Indonesia)

Pada keesokan harinya, 4 narasumber memaparkan pemahaman yang lebih mendalam seputar kebudayaan peranakan Tionghoa di Indonesia. Pembicara pembukanya adalah Yudi Latief.

Ia dikenal sebagai seorang cendekiawan, ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia, dan Direktur Eksekutif Reform Institute.

“Indonesia adalah the greatest megamelting pot!” kaya Yudi.

Peradaban adalah hasil dari perjumpaan, dan Indonesia memiliki riwayat perjumpaan yang kompleks melebihi riwayat ragam perjumpaan di belahan Bumi manapun. Keragaman perjumpaan itu meliputi perjumpaan dalam konteks geografi, manusia, dan ragam budaya.

“Indonesia adalah pusat peleburan. Indonesia dipersatukan oleh nasib. Indonesia dipersatukan oleh benua yang lepas,” ungkapnya.

“Dari sisi tanahnya, Indonesia sudah menunjukkan Unity of Diversity.” Maka, tidak mengherankan pula apabila teori evolusi memiliki asal usul dari Nusantara. Tidaklah mengherankan pula apabila 7 komoditi penting dalam perdagangan internasional pernah berasal dari Indonesia.

Salah satu hasil dari perjumpaan itu melahirkan budaya kuliner, ungkap Yudi. Kita mengenal beragam jenis soto yang tersebar di penjuru Nusantara.

Kendati memiliki cara meracik dan cita rasa yang beragam, santapan berkuah ini memiliki akar yang sama, yakni perpaduan kuliner asal Tiongkok, yang disesuaikan dengan cita rasa dan selera setempat.

“Soto adalah produk peranakan tersukses di Indonesia,” ujarnya. “Indonesia dipersatukan oleh soto!”

Diskusi panel berlanjut bersama sederet pembicara :

Didi Kwartanada, sejarawan yang meneliti sejarah etnis Tionghoa; Boedi Mranata, pegiat Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan ketua Himpunan Keramik Indonesia; Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa; dan Rafael Soenarto, pemerhati budaya Tionghoa asal Semarang dan pegiat Perkumpulan Sosial Rasa Dharma Semarang (sumber : nationalgeographic.grid.id)

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?