Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Kebrutalan dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 menyebabkan terjadinya eksodus massal. Ribuan orang keturunan Tionghoa dari beberapa kota besar di Indonesia ‘melarikan diri’ ke negara-negara tetangga, seperti Singapore, Malaysia, Hongkong, Taiwan dan Australia (Pertanyaan : Kenapa Tiongkok bukan menjadi salah satu Negara yang dituju sebagai pelarian?)

Dr. Chris Manning, seorang ekonom dan ahli kependudukan dari Australian National University memperkirakan, akibat kerusuhan ini, ada sebanyak 20.000-30.000 pengusaha keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia secara permanen¹.

Belum pernah ada dalam sejarah kerusuhan dan kekerasan ANTI TIONGHOA yang menyebabkan terjadinya eksodus secara besar-besaran seperti ini.

Orang-orang keturunan Tionghoa merasa bahwa mereka tidak diterima secara adil sebagai bagian dari rakyat Indonesia, dan secara fisik merasa tidak aman di tempat yang telah menjadi rumah mereka selama beberapa generasi.

Mereka tidak yakin apakah bisa kembali ke Indonesia, karena komitmen mereka terhadap Indonesia sudah berubah. Bagi mereka, kehilangan bisnis atau rumah mereka bukanlah suatu persoalan, tapi kehilangan moral serta kepercayaan dari rakyat merupakan hal yang tidak bisa diperbaiki dalam waktu 1-2 tahun saja.

Akibat dari kerusuhan itu, Pemerintah Indonesia pun dikecam oleh seluruh dunia. Dunia Internasional mengutuk kekejaman yang menimpa etnis keturunan Tionghoa.

Tetapi selama ini, memang tidak ada data-data yang meyakinkan, yang menunjukkan bahwa kerusuhan yang terjadi di Jakarta memang merupakan sebuah gerakan yang spesifik Anti Tionghoa. Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) peristiwa 13-15 Mei 1998 : Jakarta, Solo, Palembang, Lampung, Surabaya, dan Medan dalam kesimpulannya menyebutkan :

“Sebab pokok dari peristiwa Kerusuhan Mei 1998 ini adalah karena terjadinya persilangan ganda antar 2 proses pokok; yakni proses pergumulan elit politik yang berhubungan dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan, dan proses pemburukkan ekonomi moneter secara cepat”

Memang menjadi sebuah pertanyaan yang menarik, kenapa pergumulan politik dan masalah kelangsungan kekuasaan bisa mengarah pada kerusuhan anti Tionghoa? Atau  pertanyaannya bisa dibalik, apakah kerusuhan anti Tionghoa menyebabkan terjadinya pergumulan politik dan masalah kelangsungan kekuasaan di Indonesia?³

Baca juga : Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa

Kalau melihat kembali laporan akhir TGPF, jelas disebutkan bahwa faktor pemicu kerusuhan adalah penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta
Baca hasil laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta di www.semanggipeduli.com

Baca juga : Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Mei 1998 – Wikipedia

Bahwa dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 terjadi perkosaan dan pelecehan seksual terhadap wanita-wanita beretnis Tionghoa memang tidak serta merta bisa dikatakan bahwa seluruh kerusuhan yang terjadi, khususnya di wilayah Jakarta, merupakan sebuah gerakan sistematis anti Tionghoa.

Orang-orang keturunan Tionghoa lebih merupakan “korban” dari adanya pergumulan politik dan masalah kelangsungan kekuasaan di Indonesia.

Sehingga tidak mengherankan, kalau pada laporan akhir TGPF menyebutkan bahwa dari temuan di lapangan ditemukan banyaknya pihak yang “bermain” untuk mendapatkan keuntungan pribadi, kelompok dan golongan.

Di sisi lain, banyak pengamat yang berpendapat ragu-ragu bahwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 sama sekali tidak mengandung sentimen rasial.

Yang berpendapat seperti itu mengatakan, walaupun tidak ada temuan fakta yang independen mengenai apa yang menimpa etnis Tionghoa di berbagai kota di Indonesia, banyaknya orang Tionghoa yang dijadikan sasaran kekerasan, perusakan, pembakaran, penjarahan, dan perkosaan, cukup meniadi bukti adanya sebuah bentuk diskriminasi rasial untuk menjadikan etnis Tionghoa traumatik.

“Pendapat ini dikemukakan karena adanya kecenderungan kuat yang menunjukkan bahwa kerusuhan  pada pertengahan tahun 1998 merupakan sebuah rencana yang terorganisasi secara rapi dan tidak bersifat spontan”

Namun ada juga yang berpendapat lain.

Sejarawan MT Arifin dalam diskusi “Dilema Minoritas Tionghoa” yang diselenggarakan oleh Komite Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung pada 23 Juli 1998 berpendapat, Kerusuhan 13-15 Mei 1998 bukan merupakan sebuah kerusuhan rasial, dan persoalan yang mencuat ke permukaan bukan masalah orang Tionghoa atau tidak; tapi ini merupakan masalah antara mayoritas dan minoritas (4).

Dalam diskusi ini, pendapat MT Arifin ditolak oleh Ketua Dewan Pekerja Solidaritas Nusa Bangsa, Ester Indahyani Jusuf SH yang menekankan Kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah kerusuhan rasial. Dikatakan, dalam kerusuhan tersebut seseorang diperkosa bukan karena dia perempuan, tapi karena dia merupakan etnis keturunan.

Ia pun menolak anggapan bahwa kerusuhan ini muncul karena kesenjangan ekonomi, karena dalam berbagai kasus orang-orang dari golongan menengah ke bawah tidak kena jarah karena di pintunya tertulis ‘Pribumi’.

kerusuhan mei 1998
Ingin selamat dari amukan massa? Tulis ini di depan toko usaha Anda.
Milik Pribumi! Pribumi Asli! Asli Indonesia! Hidup Reformasi! ‘Reformasi Oke! ‘Reformasi Yes!

Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)

Romo Sandiawan Surmardi SJ dalam testimoninya di depan Kongres AS pada pertengahan tahun 1998 mengatakan bahwa kerusuhan 13-15 Mei merupakan tragedi yang tidak terpisahkan dari pertikaian kekuasaan yang terus meningkat menjelang terjadinya kerusuhan. Dalam testimoninya, Romo Sandiawan mengatakan :

There is a blatant move by the official ranks to divert the case to look like a racial conflict. Based on our ongoing investigations, we assure you that it was not a racial conflict. The ‘racial conflic claim’ can never explain why the organised gangs burned down buildings in which thousands of non-chinese adults and children were helplessy trapped.

Racial differences are not the main problem. They are a solution repeatedly employed by the goverment everytime its power is under threat, or method repeatedly used by some power contenders in their attempt to capture political power.” – Romo Sandiawan

Romo Sandiawan rupanya berupaya untuk mengembalikan opini publik yang berkembang dan kembali menekankan bahwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah sebuah tragedi kemanusiaan.

Hampir semua media massa di luar negeri menyebutkan, Kerusuhan 13-15 Mei 1998 terjadi sebagai campuran gerakan rasialis, dan hanya terfokus pada suatu rangkaian peristiwa perkosaan dari seluruh rangkaian peristiwa tersebut.

Apapun latar belakangnya, kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta merupakan sebuah malapetaka terbesar yang dialami oleh etnis keturunan Tionghoa di Indonesia.

Kapan Ke-Cina-an Akan Berhenti?

Adalah seorang gadis kecil bernama “Mawar”. Ia masih duduk di bangku sekolah SD. Tidak lama sesudah terjadinya tragedi Mei 1998, ia masuk sekolah.

Ketika ia pulang sekolah, ia bertanya kepada ayahnya : Ayah, siapakah nama saya?”

Tentu saja sang ayah bingung, diam terhenyak. Ia mengatakan : “Namamu Mawar.”

Tetapi si anak terus mendesak, minta agar diberi tahu nama sebenarnya. Kini ia baru tahu apa yang dimaksud dengan pertanyaan itu.

Rupanya si gadis kecil itu ditanyai oleh teman-temannya mengenai “nama aslinya”, yang bukan “Mawar”. Kulitnya yang kuning dan matanya yang agak sipit telah membuat teman-temannya bertanya tentang “nama aslinya”.

Kisah ini dimuat sebagai kata pengantar editor dalam Majarah Matra (Juli 1998).

Disini ingin diungkapkan bagaimana Tragedi Mei 1998 ini tidak hanya menghancurkan sendi perekonomian Jakarta, tetapi juga membawa dampak pada identitas seseorang. Gadis itu memang seorang anak keturunan etnis Tionghoa, tetapi oleh orang tuanya ia tidak diberi nama Tionghoa lagi. Namanya ya Mawar itu.

Pengrusakan dan penganiayaan terhadap etnis Tionghoa menjelang jatuhnya rezim Soeharto (21 Mei 1998) kiranya telah membangkitkan sentimen anti Tionghoa sedemikian kuat, sehingga setiap kali orang yang berkulit kuning dan bermata sipit akan ditanyai nama aslinya.

Pedoman Penyelesaian Masalah Cina 1
Pemerintah Orde Baru menggunakan panduan buku ini dalam menyelesaikan setiap masalah yang berhubungan dengan kecinaan

Baca juga : Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru

Persoalannya memang lebih daripada sekedar nama asli. Dalam pertanyaan itu sebenarnya orang berusaha menggali identitas yang dianggapnya telah disembunyikan. “Siapa nama aslimu”, sama saja bertanya “Apakah kamu Cina?

Orang yang memiliki nama “Mawar” atau nama apa saja, seakan-akan didesak untuk menelanjangi diri dan mengulangi mengatakan jati diri. Bagi si penanya, ini hebatnya, identitas “kecinaan” seseorang tidak akan berakhir. Dalam pandangannya, “kecinaan” itu abadi, diturunkan dari generasi ke generasi, tidak mungkin diganti, apalagi ditutupi.

Pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan : Sampai kapan “kecinaan” seseorang itu berhenti? Apakah ketika ia berganti nama? Apakah ketika ia memilih kewarganegaraan Indonesia? Apakah kalau ia berperilaku seperti orang Indonesia? Apakah kalau ia memeluk agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia (Islam)?

Banyak individu-individu yang telah berusaha keras untuk menghentikan “kecinaan” mereka, tetapi tidak berhasil. Mereka pada akhirnya tetap harus menyerah kepada kenyataan bahwa status “kecinaan” itu tidak mungkin dihapuskan.

Ada yang dengan sungguh-sungguh mengidentifikasikan dirinya dengan Indonesia, bahwa ingin menyumbangkan keahliannya untuk Indonesia.

Ada yang sudah hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa dan mengambil alih seluruh adat dan kebiasaan Jawa. Tetapi semua itu tiba-tiba menjadi tidak ada artinya ketika mereka berurusan dengan birokrasi.

Kebijakan Pemerintah Indonesia memang bersifat diskriminatif. Begitu mereka melihat orang yang berkulit kuning, bermata sipit dan berambut lurus, mereka pasti akan memasukkannya ke dalam “kotak”.

Pegawai kelurahan, pegawai imigrasi, pegawai kementerian, dan sebagainya akan serta merta melihat orang-orang ini  sebagai kelompok yang siap ‘diperas’.

Puncak dari pertarungan batin itu adalah apa yang disebut “Tragedi Mei 98”. Ketika itu toko-toko, kantor, dan harga milik etnis Tionghoa dirusak, dihancurkan dan dibakar.

Hal ini membuat kelompok itu benar-benar terlempar pada kesadaran bahwa mereka tetaplah orang Tionghoa, tidak peduli apapun yang telah mereka buat. Tragedi Mei 1998 dikatakan telah menjadi sebuah relevasi yang meyakinkan bahwa cinta mereka seperti bertepuk sebelah tangan.

tong sin fu pelatih badminton
Kisah Tong Sinfu, mantan pelatih badminton Indonesia yang kini hijrah melatih tim badminton Tiongkok hanya gara-gara tidak mendapat Surat Kewarganegaraan Indonesia (Foto : pbdjarum.org)

Baca jugaKisah pelatih badminton Tong Sin Fu, pria kelahiran lampung tahun 1942 yang gagal mendapatkan surat Warga Negara Indonesia sehingga pindah ke Tiongkok pada Juni 1998

Fakta menunjukkan bahwa dalam peristiwa itu, golongan etnis Tionghoa secara sistematis dan terorganisir dijadikan sasaran amuk massa. Karenanya sulit untuk menolak, untuk mengatakan bahwa peristiwa tragis itu diarahkan kepada kelompok keturunan Tionghoa.

“Massa mungkin memang digerakkan oleh seorang provokator, namun massa tidak mungkin akan bergerak kalau tidak tersimpan rasa sentimen terhadap kelompok keturunan. Harus ada ‘bahan bakar’ agar dapat dibakar” – Penulis

Dahulu, kata ‘CINA’ diciptakan oleh para ilmuan atau sarjanawan untuk mengkhususkan sekelompok orang yang berasal, atau setidaknya mempunyai nenek moyang di daratan Tiongkok. Ketika kata itu digunakan, mereka (etnis Tionghoa) akan memakainya untuk menafsirkan panggilan itu sebagai diri mereka sendiri.

Mereka pun akan memiliki kesadaran diri sebagai ‘orang cina’, bukan sebagai orang Indonesia. Bagi penduduk lokal, dengan adanya kata panggilan itu juga ikut menebalkan kepercayaan mereka akan adanya ‘orang cina’ memang di tengah-tengah mereka.

ganyang-cina-anti-cina-anti-tionghoa
Tampak spanduk ‘Ganyang Cina’ pada salah satu demo yang terjadi di Jakarta.

Baca juga : Kapan ‘Kecinaan’ Akan Berhenti?

Dengan terus menggunakan kata CINA tersebut, secara tidak langsung orang-orang yang masih terus menggunakannya hingga saat inilah yang sebetulnya telah menciptakan JARAK di masyarakat. Entah itu digunakan oleh orang Tionghoa sendiri, atau oleh penduduk lokal.

Catatan :

1. ‘The May Riots’, Inside Indonesia, Digest 63 (29 Mei 1998)
2. ‘Beijing Daxue Xuezhe Zhou Nanjing: Yinni Baoyu Baoxing Shi Faxisi Xingwei’, Ilmuan Universitas Beijing Zhou Nanjing: Kekejaman dan Kekejian Indonesia adalah Tindakan Fasisme (Yinni Dongxue, Agustus 1998, hlm 19)

3. Damar Juniarto – Dari penjarah, pemerkosaan, hingga pribumisasi Ekonomi : Mengharamkan Cina di Indonesia, Kampus & Kita Online, No. 004 Agustus 1998. Argumentasi yang diajukan menyebutkan, secara ekonomi politik, biaya teror terhadap orang-orang keturunan ini murah,…
4. ‘Dilema Minoritas Tionghoa’ : Jadi kambing hitam karena tidak Dilindungi, Parahyangan Online, 24 Juli 1998

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Kapan Kecinaan Akan Berhenti?”

Leave a Reply to hadjia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?