Last Updated on 8 November 2022 by Herman Tan Manado
Pembicaraan mengenai perempuan sudah tentu disertai pembicaraan mengenai penderitaan dan pengorbanan. Apalagi kalau subjek pembicaraan itu adalah perempuan etnis Tionghoa, yang sudah diketahui sejak berabad-abad lamanya telah banyak dikorbankan.
Di zaman Tiongkok tradisional, kelahiran seorang bayi perempuan tidak pernah disambut dengan gembira. Garis keturunan keluarga adalah melalui garis laki-laki, sehingga perempuan tidak mempunyai kedudukan penting di keluarga.
Mereka hanya dianggap orang yang “menumpang” dalam keluarga sampai kelak menikah. Dalam kitab Shijing (詩經; buku yang berisi kumpulan lagu rakyat Tiongkok kuno) ditemukan sebuah kidung sebagai berikut :
Kalau anak laki-laki dilahirkan,
Taruhlah ia tidur di tempat tidur,
Kenakanlah padanya pakaian indah,
Dan berilah dia mainan terbut dari batu giok,
Oh betapa mulia tangisnya!
Semoga ia tumbuh besar mengenakan pakaian warna merah tua,
Dan semoga ia menjadi kepala dari klan dan sukunya.
Kalau anak perempuan dilahirkan,
Taruhlah dia tidur di atas lantai,
Bungkuslah ia dengan pembungkus biasa,
Dan beri dia mainan dari keping potongan ubin,
Semoga ia tidak berbuat salah, juga tidak berbuat jasa,
Semoga ia pandai menyediakan masakan dan anggur,
Dan tidak membawa aib bagi orang tuanya.
Kutipan ini jelas mengungkapkan, bagaimana anak perempuan dipandang amat rendah pada zaman dulu. Pada zaman dinasti Song, kedudukan perempuan kian merosot. Perempuan kehilangan peranannya di masyarakat. Misalnya terkenal ucapan yang mengatakan kehidupan perempuan tergantung pada tiga kepatuhan :
Kalau ia masih bersama orangtua, ia harus patuh kepada ayahnya,
Kalau sudah menikah, ia harus patuh pada suaminya,
Dan kalau menjadi janda, ia harus patuh kepada anak laki-lakinya.
Konsep seperti ini tidak 100% asli dari Tiongkok, tapi sebagian karena terkena pengaruh dari filsafat India. Perempuan Tiongkok telah menderita sejak ia masih anak. Di keluarga-keluarga miskin, gadis-gadis ini mungkin dijual sebagai budak kepada keluarga kaya.
Kalaupun tidak, mereka akan diperbudak di keluarga sendiri. Mereka ditugaskan untuk seluruh urusan rumah tangga, termasuk mengasuh adik-adiknya. Pada usia remaja, mereka harus menanggung penderitaan karena kakinya harus diikat demi konsep kecantikan pada masa itu.
Tradisi ikat kaki pada perempuan atau foot binding ini telah berkembang sejak dinasti Song, dan berlangsung sampai tahun 1917. Sejak usia 5 tahun, kaki tersebut diikat sedikit demi sedikit untuk mencegah pertumbuhannya, sampai akhirnya hanya berukuran kurang lebih 10-13 cm.
Ukuran kaki yang kecil ini ketimbang bobot badannya menyebabkan mereka tidak bebas bergerak, karena sulit menjaga keseimbangan, lagi pula ikatannya menyebabkan kesakitan yang luar biasa.
Setelah mencapai usia remaja, anak perempuan harus taat kepada orang tuanya, menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya; dan pilihan ini biasanya adalah seseorang yang dapat menguntungkan usaha keluarga.
Tugasnya di keluarga mertuanya adalah untuk melayani kedua mertuanya, serta untuk melahirkan seorang anak laki-laki demi menjaga garis keturunan (trah) keluarga suaminya.
Hanya kalau dapat melahirkan seorang anak laki-laki, mereka baru bisa mengharapkan perlakuan yang baik dari keluarga suaminya. Kalau tidak, mereka akan mendapat perlakuan sebagai pembantu rumah tangga yang tambah dihina, karena tidak memenuhi fungsinya sebagai menantu yang baik.
Apakah tradisi dari Tiongkok daratan seperti ini juga masih diteruskan di tanah perantauan? Sejauh mana masih bertahan, dan sejauh mana sudah mengalami perubahan?
Keadaan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum 1945
Di Indonesia, beberapa abad yang lalu kondisi perempuan etnis Tionghoa sedikit berbeda. Laki-laki Tionghoa yang datang untuk membeli atau mencari rempah-rempah atau bahan makanan serta barang-barang eksotis yang disukai oleh orang Tiongkok daratan; seperti teripang, bulu burung cendrawasih, dsb.
Perempuan tidak diperkenankan meninggalkan tanah airnya. Hanya ada beberapa yang diizinkan keluar, karena mereka memang dihadiahkan kepada raja-raja sebagai istri atau selir. Yang paling terkenal mungkin adalah putri Tionghoa di Cirebon, yang makamnya masih tetap dipelihara dan dikunjungi peziarah.
Meskipun tidak ada peninggalan sejarah berupa kuil atau kuburan, seorang putri Tionghoa ternyata telah mempengaruhi seni dan budaya lokal, misalnya seni kriya Minangkabau; dimana selendang-selendang sutra yang disulam oleh perempuan Minangkabau untuk dipakai pada upacara-upacara penting masih jelas menunjukkan pengaruh Tiongkok.
Ketika beberapa pria Tiongkok memutuskan untuk menetap, mereka menikah dengan perempuan-perempuan setempat yang tentu tidak mengetahui tentang cara mendidik putra-putri mereka seperti digariskan dalam kitab-kitab kuno Tiongkok. Paling tidak, putri-putri yang dilahirkan dari perkawinan ini lolos dari penderitaan mengikat kaki.
Tetapi putri-putri perkawinan campuran ini juga tidak diberi kebebasan bergerak. Ayah mereka telah mempunyai cara yang unik untuk mengawasi putri-putrinya, tanpa banyak berusaha.
Mereka memasang pintu-pintu yang berbunyi pada saat dibuka. Dengan demikian mereka dapat mendengar apabila anak putrinya keluar. Tirai-tirai dari kerang atau bambu pun mempunyai fungsi yang sama.
Ketika jumlah keluarga etnis Tionghoa telah bertambah banyak, terjadilah suatu komunitas dengan kebudayaan tersendiri pula. Kebudayaan ini meliputi semua unsur, seperti ritual keagamaan, bahasa, kesenian, dan sebagainya; dan merupakan suatu campuran dari kebudayaan Tiongkok dengan kebudayaan Melayu ditambah dengan kebudayaan setempat.
Sekolah-sekolah yang mengajar bahasa Fujian didirikan pada tahun 1685 di Batavia, yaitu Gie Oh yang bertahan sampai tahun 1900. Di daerah dan kota-kota lain juga didirikan sekolah atau pelajaran juga diberikan rumah.
Dalam sekolah ini para murid diberi pelajaran dalam ajaran Konfusius yang pada masa itu merupakan ideology Negara Tiongkok.
Mereka tentu juga diberi pelajaran Er shi xi xiao (二十四孝) atau 24 pelajaran untuk anak yang patuh. Itulah sebabnya para orangtua juga mendidik putra-putri mereka menurut prinsip-prinsip ini, karena ajaran ini sangat menekankan kepatuhan kepada orangtua dan para leluhur.
Gadis-gadis tidak diberi kesempatan untuk sekolah, sehingga pada umumnya mereka buta huruf.
Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku catatan pernikahan dari arsip Kongkoan (lembaga yang diketuai Mayor Tionghoa dan yang mengurus arisp/data semua urusan orang Tionghoa di Batavia pada masa itu, seperti pembayaran pajak, catatan pernikahan, catatan kematian, dsb), dimana mempelai-mempelai harus membubuhkan tanda tangan mereka.
Pada umumnya mempelai perempuan hanya menggambar tanda silang aau lingkaran saja. Ini juga berarti bahwa perempuan Tionghoa di Indonesia juga menempati kedudukan yang sama rendahnya seperti di Tiongkok tradisional.
Kalaupun toh diberi izin untuk masuk sekolah, mereka harus berhenti ketika mencapai usia remaja. Mereka harus menunggu lamaran dari para orangtua para perjaka.
Sementara itu gadis-gadis itu dipingit untuk belajar masak dan mengurus rumah tangga. Mereka dibayang-bayangi oleh ancaman, seorang menantu yang tak pandai masak dan membuat kue akan dihina oleh mertua, ditertawakan, dan diejek oleh ipar-iparnya.
Berita bahwa ada gadis-gadis dari Surabaya yang melarikan diri untuk mengikuti guru mereka, seorang wanita berkewarganegaraan Inggris yang pergi ke Tiongkok pada tahun 1837, tentu menggembirakan, tetapi itu hanya menyangkut 2 orang saja diantara ratusan ribu gadis yang tidak diberi kesempatan untuk pendidikan.
Pernikahan
Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan perempuan etnis Tionghoa di Indonesia, karena dengan menikah ia dapat meningkatkan statusnya sebagai perempuan. Namun kenyataannya, pernikahan tidak selalu membawa kebahagiaan kepada mereka di masa lampau.
Pertama, mereka belum pernah berjumpa dengan calon suaminya. Mereka hanya melihat kiriman foto yang sudah lazim dibuat di tahun 1920-an.
Sementara itu, calon mempelai laki-laki diperbolehkan “mengintip” calon istrinya dengan cara berkunjung ke rumah calon mertua, dengan ditemani beberapa rekan lelaki lain. Di rumah tersebut sang calon istri akan menghantarkan minuman dan kue-kue; namun sang gadis tidak tau laki-laki yang mana yang sebenarnya menjadi calon suaminya!
Kedua, dia dinikahkan demi hubungan bisnis. kisah Quenny Chang, putri dari Tjong A Fie (Hanzi : 張阿輝; hidup pada 1860-1921, hartawan terkenal dari Medan) yang harus menikah dengan laki-laki pilihan pamannya. Laki-laki ini berasal dari keluarga kaya di Propinsi Fujian.
Quenny menceritakan bagaimana ayahnya menangis tersedu-sedu ketika ia menikah. Ayahnya masih ingin agar Quenny dapat meneruskan pendidikannya, tetapi pamannya menginginkan hubungan bisnis dengan keluarga Lim dari Fujian. Pernikahan Queeny diharapkan akan dapat memajukan bisnis Tjong bersaudara.
Ketiga, seorang gadis harus dapat membuktikan keperawanannya kepada mertuanya. Apabila bukti itu tidak ada, ia akan dikembalikan kepada orangtuanya dan itu berarti suatu aib yang luar biasa.
Keperawanan adalah syarat utamadan mutlak untuk seorang gadis yang mau menikah. Hal ini sangat ditekankan dalam novel-novel Sastra Melayu Tionghoa.
Dalam novel-novel ini, semua gadis yang pernah mempunyai hubungan seks sebelum menikah, harus mati. Sedangkan kaum laki-laki tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak pernah mempunyai hubungan dengan perempuan lain.
Setelah menikah para perempuan kehilangan identitasnya, karena mereka harus memakai nama suaminya secara lengkap. Misalnya, yang menikah dengan Ong Hok Lan harus menamakan diri nyonya Ong Hok Lan. Kalau suami mempunyai gelar, ia harus menamakan diri “Nyonya Profesor” atau “Nyonya Doktor”.
Ia diharapkan dapat membawa nama mertuanya dan suaminya dengan baik dan terhormat. Kalau bisnis suami maju, ia harus memamerkan kekayaannya berupa perhiasan yang dibeli suaminya, untuk menghiasi dirinya pada kunjungan-kunjungan resmi.
Seorang perempuan yang sudah menikah jangan mimpi mengejar karier; atau bahkan menjadi penulis apalagi. Tjan Kwan Nio (Tjan Kwan Nio – Kisah Hidupku hlm.160) menururkan bahwa suaminya tidak melarangnya untuk menulis, tetapi minta untuk tidak menerbitkannya, hanya untuk dibaca sendiri saja …
Bersambung ke Bagian II
Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian II)