Last Updated on 10 March 2021 by Herman Tan Manado
Betapa menderitanya perempuan Tionghoa di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan tidak mungkin diketahui lewat statistik atau catatan sejarah.
Salah satu cara untuk mengungkapkannya adalah dengan menelurusi membaca riwayat orang-orang yang aktif membela dan menolong perempuan Tionghoa yang mengalami aneka macam tindak kekerasan.
Mereka-mereka ini perempuan Tionghoa juga yang dengan suka rela memberikan watu bakat, kepandaian, bahkan sebagaian dari harta mereka.
Perempuan Tionghoa yang Beruntung dan Berjasa
Tidak semua perempuan Tionghoa menderita. Beberapa diantara mereka ada yang beruntung dapat keluar dari kungkungan tradisi. Misalnya, Kwee Yat Nio, putri Kwee Tek Hoay. Yat Nio disekolahkan disekolah Inggris yang dibuka oleh seorang misionaris Inggris di Bogor. Ia menikah dengan Tjoa Tjin Hoey.
Pada tahun 1937, ia mendirikan majalah bulanan Istri khusus untuk wanita yang berpendidikan di sekolah Melayu. Usahanya ini didukung sepenuhnya oleh suaminya, yang juga membantu dalam pemasarannya.
Menarik bahwa nomor perdana majalah ini dijual di pasar gambir tahun 1937. Majalah ini bertahan sampai masuknya tentara Jepang. Meski ia berusaha untuk menghidupkannya kembali pada tahun 1950, ia tidak berhasil menarik banyak peminat.
Nyonya Tjoa juga aktif dalam organisasi wanita Fu Nu Hui, tetapi ia mengalami kekecewaan melihat wanita etnis Tionghoa yang pada umumnya tidak berminat dalam organisasi sosial. Dalam usia tuanya nyonya Tjoa aktif dalam organisasi Buddhis.
Kisah yang hampir sama adalah Ong Pik Nio yang mendirikan majalan bulanan Fu Len, yang berbahasa Belanda. Keduanya dapat dikatakan sendiri dalam menangani redaksi, iklan, langganan, dan sebagainya; suatu pekerjaan yang cukup merepotkan.
Kedua majalah ini diadakan dengan tujuan member informasi kepada kaum wanita dalam mengurus rumah tangg dan juga untuk pengembangan diri.
Memang sekitar abad 20 ada beberapa perempuan yang sudah cukup berpendidikan. Tetapi ketika itu belum ada yang mencapai gelar sarjana.
Yang pertama meraih gelar sarjana adalah Caroline Tan dari Surabaya. Ia mendapat pendidikan Belanda dan melanjutkan di Fakultas Hukum di Universitas Utrecht Belanda.
Setelah lulus Sarjana Hukum Internasional pada tahun 1925, ia menikah dengan Dr. Yap Hong Tjoen. Ia mendampingi suaminya mendirikan klinik mata yang terkenal di Yogyakarta. Ia meninggal di Den Haag Belanda dalam usia 103 tahun.
Selain itu, ada juga Dr. Besty Tjung Sin Nio dilahirkan di Batavia pada tahun 1902. Ia menyelesaikan pendidikan 3 tahun HBS (Hogere Burgerschool, adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda;
masa studi HBS berlangsung selama 5 tahun, atau setara dengan SMP + SMA. Kemudian menyelesaikan kursus 2 tahun di Handelshoge-school (Sekolah Tinggi Perdagangan) di Batavia pada tahun 1920. Dari tahun 1922 – 1924 ia mengikuti pelajaran di Sekolah Pendidikan Guru (Hollands Chinese Kweekschool) di Mr. Cornelis (Jatinegara).
Setelah mengajar 1 tahun di Bogor, ia pergi ke Belanda dan masuk Handelshorge-school di Rotterdam pada tahun 1925. Ia meraih gelar sarjana pada tahun 1931. Pada tahun 1930, ketika pulang ke Batavia untuk cuti, ia bertemu dengan Dr. Kwa Tjoan Sioe yang baru saja membuka rumah sakit Jang Seng Ie di Mangga Besar.
Sin Nio bekerja di biro konsultasi untuk bayi dan menjadi petugas yang mengunjungi rumah-rumah para pasien. Ia member petunjuk bagaimana merawat anak-anak dan bayi-bayi.
Pada saat itulah ia menyadari bahwa menjadi dokter sangat penting untuk membantu rakyat Indonesia, karena perempuan-perempuan kelas rendah takut menghadapi dokter laki-laki atau dokter asing.
Ia kembali ke Belanda pada tahun 1931 dan menyelesaikan studinya sebagai Sarjana Ekonomi lalu pindah ke Amsterdam untuk belajar di Fakultas Kedokteran disana. Setelah lulus pada tahun 1938, ia kembali ke Batavia dan membuka praktek kedokteran.
Di waktu senggangnya ia menulis artikel untuk majalah “Istri” dan harian “Sin Po” mengenai kesehatan anak-anak.
Pada tahun 1930-an makin banyak gadis Tionghoa yang disekolahkan di Belanda maupun di Universitas lokal di Indonesia, untuk menuntut ilmu kedokteran, hukum dan lainnya. Tetapi bagian terbesar berpendidikan menengah dan masuk sekolah guru atau sekretaris.
Sekolah guru memang lebih disenangi karena bekerja sebagai sekretaris dipandang lebih rendah, karena harus “menjadi pembantu dari para bos”. Sedangkan profesi guru dipandang sebagai pemimpin yang dapat mencerdaskan anak-anak dan mempengaruhi mereka dengan ajaran-ajaran yang baik.
Meskipun sudah banyak perempuan yang terdidik, pemerintah kolonial tidak mengizinkan etnis Tionghoa turut dalam pemilihan umum, karena kaum etnis Tionghoa di masa itu masih didiskriminasi. Bahkan yang lulus universitas pun tidak diperkenankan duduk di Volksraad (Perwakilan Rakyat).
Perempuan Etnis Tionghoa Sesudah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, banyak sekolah dibuka dan aneka universitas melebarkan sayapnya, jauh sampai ke daerah-daerah. Ketika jumlah universitas belum banyak, terjadi penjatahan untuk orang-orang etnis Tionghoa.
Pada awal 1960-an Fakultas Psikologi UI yang ketika itu baru didirikan, menerima 30% mahasiswa keturunan Tionghoa. Lain-lain fakultas mempunyai jatah tersendiri, sedangkan diantaranya ada yang sama sekali tidak menerima mahasiswa keturunan Tionghoa.
Pada waktu Universitas Res Publika dibuka pada tahun 1960, tidak mengherankan jumlah terbesar mahasiswa adalah yang keturunan Tionghoa.
Pada umumnya mereka tidak meneruskan pendidikan mereka sesudah universitas tersebut dibubarkan pada tahun 1966; dan kalau tidak melanjutkan pendirikan di luar negeri, mereka Wumumnya terjun ke lapangan untuk menjadi seorang wiraswasta.
Harap dicatat bahwa pada waktu yang sama, sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa juga mulai ditutup. Dengan demikian banyak orang keturunan Tionghoa yang berpendidikan dalam bahasa Mandarin tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
Sebagian dari mereka pergi ke RRC dengan harapan dapat melanjutkan pendidikan mereka disana. Sebagian lain tetap tinggal di Indonesia dan berwiraswasta.
Satu kasus yang menarik adalah Liu Mei Hua. Ketika sekolah-sekolah berbahasa Mandarin (Zhonghua Xuexiao) dibubarkan, ia melanjutkan sekolahnya di sekolah Indonesia dan melanjutkan studi di bidang arsitektur pertamanan.
Dia bekerja sama dengan suaminya sebagai pemborong bangunan. Untuk menunjang usaha mereka, didirikan pabrik genteng di wilayah Tangerang dan sebuah pabrik kusen di Jakarta Barat.
Pada awal krisis moneter tahun 1997, usaha di bidang konstruksi hampir semuanya berhenti. Namun dia dengan cepat dapat menyesuaikan diri.
Pabrik genteng juga dihentikan, dan lahannya yang luas dipakai untuk peternakan ayam dan tanaman jagung, ubi dan singkong. Ia sebenarnya juga ingin memberikan pelajaran cara menanam sayur mayur kepada penduduk sekitar pabrik, namun keburu dicurigai oleh para pejabat.
Selain Liu Mei Hua, banyak perempuan Tionghoa yang membuka salon, dan menjadi sangat ternama. Ada juga yang meneruskan usaha orangtuanya seperti toko kelontong, toko emas, dan sebagainya.
Mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan pekerjaan di rumah, tidak sedikit perempuan Tionghoa yang berhasil dibidang usaha katering, garmen, dan kecantikan.
Di bidang intelektual pun etnis Tionghoa tidak ketinggalan. Yang mencapai gelar sarjana, kemudian S2 dan S3 mungkin sudah tidak terhitung jumlahnya, dan mereka tersebar di seantero negeri. Mereka bekerja di segala bidang, seperti menjadi dosen, sebagai manajer di sektor perbankan dan perusahaan, hotel, surat kabar dan majalah.
Di bidang kesusastraan pun mereka tidak ketinggalan, dan nama-nama seperti Marga T dan Mira W sudah tidak asing lagi melalui buku-buku yang banyak diantaranya telah diangkat menjadi film dan sinetron.
Yang menarik disini adalah bahwa yang berpendidikan di sekolah Tionghoa pun tidak ketinggalan di bidang kesusastraan, seperti Cecilia K (Xixilia) yang bernama asli Jin Aijin yang dilahirkan pada tahun 1954 dan berpendidikan menengah.
Ia bekerja sebagai editor pada Harian Indonesia, sebuah harian yang sebagiannya berbahasa Mandarin. Dia menulis syair, esei, maupun cerpen yang mirip dengan tulisan-tulisan pop Hongkong. Beberapa cerpen nya juga diterbitkan dalam media massa di Singapura.
Bersambung ke Bagian III
Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian III)