Last Updated on 10 March 2021 by Herman Tan Manado

Bahwa peristiwa 13 Mei 1998 mempunyai motif politik adalah tidak perlu disangkal lagi. Pada peristiwa itu perusahaan-perusahaan milik warga keturunan Tionghoa dijarah dan dibakar.

Yang lain “lolos” dengan lemparan batu saja. Tetapi yang paling menyedihkan adalah terjadinya penganiayaan secara fisik, dan terutama pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa.

Beberapa diantara mereka adalah gadis-gadis kecil, yang berusia belasan tahun. Ada di antara mereka yang tidak dilukai, tetapi mungkin sudah hamil. Banyak dari antara mereka yang mengalami dilema besar tentang apa yang harus diperbuat dengan janin dalam kandungan mereka.

Kalau bayi itu dilahirkan, perempuan ini akan seumur hidup teringat akan peristiwa yang keji itu. Mereka yang tidak mengalami kehamilan, untuk jangka waktu yang sangat lama, akan mengalami trauma psikologis, yang selamanya menghantui mereka.

peristiwa mei 1998
Tampak Bank BCA yang turut menjadi korban pada Mei 1998. Anda tahu kenapa?

Liu Mei Hua, yang telah disebutkan sebelumnya pada Bagian II, secara kebetulan berada di tengah-tengah kerusuhan pada hari yang naas itu. Mobil yang dikendarainya tidak dapat maju atau mundur karena jalan macet luar biasa.

Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana penjarahan dan pengrusakan toko-toko itu diatur. Mula-mula truk-truk menurunkan karung-karung berisikan batu dan minyak tanah, lalu orang-orang di jalanan mulai mengambil batu-batu itu untuk melempari kaca-kaca toko yang ada disekitar.

korban mei 1998
Tampak salah satu toko milik etnis Tionghoa yang dijarah massa pada Mei 1998

Setelah itu ada yang mengambil minyak tanah untuk disiram ke serambi toko-toko. Ia juga menyaksikan bagaimana seorang perempuan keturunan Tionghoa digerayangi seorang laki-laki.

Pelecehan itu tidak dihentikan meskipun gadis itu sudah jongkok, dan menutupi badannya. Ia malah diganggu dari belakang. Gadis itu dapat meloloskan diri karena bantuan oleh seorang yang tidak dikenal.

kerusuhan mei 1998
Ingin selamat dari amukan massa Mei 1998? Tulis ini di depan toko anda!

Ketika ada sedikit tempat untuk menggerakkan mobilnya, Mei Hua berhasil lolos memasuki jalanan kecil. Ia meninggalkan mobilnya dan bermaksud untuk pulang ke rumahnya dengan naik bus. Tetapi bus-bus tidak beroperasi dan Mei Hua harus menunggu lama.

Sementara itu para lelaki yang juga sama-sama menunggu  bus, melindungi para perempuan dengan membuat lingkaran di sekitar mereka. Setelah beberapa waktu, ketika keadaan agak mereda, barulah Mei Hua bisa pulang.

Beberapa hari kemudian, dia memang harus ke rumah sakit. Disana dia bertemu dengan seorang yang menemani putrinya yang diperkosa. Perempuan ini diperkosa empat laki-laki dan mengalami luka berat.

Hati nurani Mei Hua amat terusik. Ia berusaha mencari korban-korban lain. Tiga korban dibantunya, dan dengan bantuan dari beberapa penyumbang, mereka dilarikan ke Australia.

Korban pertama yang paling berat. Setelah diobati secara fisik, dia masih menderita obsessive compulsive neurosis. Ia terus menerus mencuci tangan dan sehari harus mandi 3-4 kali. Secara simbolis, ini dapat dilihat sebagai penyucian diri dari dosanya.

Ia juga tidak mau bertemu dengan orang. Kalau ada orang dating berkunjung, ia selalu menutupi mukanya. Beruntung ia dapat dibantu oleh seorang sukarelawan berkewarganegaraan Yugoslavia.

Ia tidak hanya sembuh dari traumanya, malahan pulang ke Indonesia untuk mencari pelakunya. Salah satunya, menurut penuturannya adalah seorang petugas keamanan yang ia kenal dan sebelum peristiwa tersebut suka mengganggunya.

Dalam usaha pencariannya itu, ia menemui banyak kesulitan. Mei Hua yang menemaninya, juga mengalami ancaman. Kini perempuan ini telah menikah dengan tunangannya, yang dengan besar hati dapat menerima peristiwa pelecehan itu, demi cinta terhadap calon istrinya.

Korban kedua mengalami depresi berat dan telah dibawa ke Melbourne; namun tidak diketahui bagaimana perkembangan selanjutnya.

Korban ketiga adalah seorang gadis remaja berumur 14 tahun.

Ia tidak menunjukkan banyak kesulitan untuk mengatasi peristiwa itu. Mungkin kelak kalau sudah dewasa, ia baru sadar bahwa ia turut dikorbankan pada saat peristiwa itu.

Ada perempuan lain yang juga dianiaya dan diperkosa sesudah bulan Mei itu, yaitu bulan Juli berikutnya. Perempuan muda ini diperkosa di rumah kosnya, mengalami luka berat pada kandungan dan kandung kemihnya, karena alat kelaminnya dimasuki sebuah gagang gorden.

Luka fisiknya yang sedemikian berat pasti tidak mudah dilupakan, dan akan menjadi trauma seumur hidup.

Banyak bantuan mengalir dari pihak yang bukan etnis Tionghoa. Ita Nadia dari “Kalyana Mitra” serta rekan-rekannya, Rita Kalibonso dari “Mitra Perempuan” adalah beberapa nama diantara ratusan perempuan yang menunjukkan simpatinya.

Prof. Dr. Saparinah Sadli dari “Pusat Kajian Wanita” Universitas Indonesia, mendirikan perkumpulan “Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan”, dan ketika diterima oleh Presiden Habibie.

Beliau menunjukkan tenggang rasa terhadap para korban, bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa beliau mengutuk perbuatan keji tersebut. Sayang sekali masih banyak pejabat yang tidak mendukung pernyataan ini.

“Jangan pernah melupakan sejarah. Tapi jangan sampai juga hal ini merusak toleransi antar suku bangsa dan menciptakan kesenjangan yang berkepanjangan.

Apapun itu, adalah sebuah FAKTA SEJARAH bahwa Negara PERNAH GAGAL dalam memberi perlindungan kepada warganya. Indonesia perlu berbenah dan belajar dari sejarah…”

Kesimpulan

Menjadi perempuan di dalam masyarakat Tionghoa tidaklah mudah. Dalam arti kata tertentu, menjadi perempuan berarti sebuah nasib sial.

Dari anak-anak hingga dewasa dan lanjut usia, perempuan Tionghoa mengalami berbagai perlakukan yang tidak meyenangkan oleh kaum laki-laki. Begitu dilahirkan, ia telah mendapat perlakukan yang lebih rendah daripada saudara sekandungnya yang laki-laki.

Mungkin perlakuan seperti itu akan berlalu ketika ia menginjak dewasa. Ternyata semakin dewasa, ia malah makin banyak mengalami perlakukan yang menyedihkan.

Beban keluarga ditimpakan kepada diri kaum perempuan; menghasilkan anak laki-laki, membesarkan bayi, mengurus rumah tangga, dan tentu saja melayani suami. Kalau kebetulan ia kaya, mungkin sekali ia akan menikmati hidup yang agak menyenangkan setelah lanjut usia. Tapi bagi mereka yang miskin, kehidupan di usia tua membawa penderitaannya sendiri.

Pada tahun 1930-an, seperti yang terungkap dari kisah Ny. Lie, penderitaan perempuan Tionghoa ternyata tidak hanya terjadi di dalam rumah, tetapi juga di luar rumah. Perempuan-perempuan Tionghoa yang didatangkan dari Dataran Tiongkok, diperlakukan layaknya sebagai barang dagangan.

Mereka diperjualbelikan dan tidak sedikit yang berakhir dalam dunia pelacuran. Perempuan Tionghoa pada waktu itu justru mengalami penderitaan dari sesama orang Tionghoa, kaum laki-lakinya.

Perempuan Tionghoa di Indonesia setelah proklamasi Kemerdekaan 1945 pada umumnya telah menikmati banyak kebebasan dan keleluasaan yang lumayan. Sebagian dari antara mereka bahkan telah berhasil meraih tempat terhormat dalam masyarakat.

Tetapi peristiwa penganiayaan serta pemerkosaan perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998 itu tidak bisa tidak membawa kembali memori akan lemahnya kedudukan kaum perempuan dari masa lampau, dalam masyarakat Tionghoa tradisional.

Berabad-abad mereka dijadikan pihak yang dikorbankan bagi kaum laki-laki, baik dalam rumah, dalam pekerjaan, maupun dalam pergaulan.

rape of nanking
Pembantaian Nanjing yang dilakukan militer JEPANG pada tahun 1937 di Nanjing, Tiongkok.

Perang yang semestinya adalah urusan kaum laki-laki, ternyata telah menyeret kaum perempuan juga. Dalam sejarah Tiongkok modern, pada masa perang antara Tiongkok dan Jepang (1937-1945) “The Rape of Nanjing” merupakan contoh paling dekat.

Tidak mustahil peristiwa Mei 1998 dirancang dengan tujuan yang sama. Tetapi yang menimpa perempuan Tionghoa ini sebenarnya hanyalah pantulan kecil dari sebuah keadaan masyarakat luas yang cenderung memandang rendah dan melecehkan kaum perempuan.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian III)”
  1. solusinya : masyarakat tionghoa harus bersatu melindungi sesama tionghoa..
    karena klo di lihat makin kesini kita makin cuek bahkan saling membenci sesama tionghoa..
    ntah karena persaingan bisnis, atau hal yg lain..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?