Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan

Pengeboman Candi Borobudur, adalah peristiwa pemboman peninggalan bersejarah Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada hari Senin 21 Januari 1985.

Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif jihad kedua yang menimpa Indonesia setelah peristiwa “Pembajakan Pesawat Garuda DC 9 Woyla” oleh anggota Komando Jihad pada tahun 1981.

Beberapa ledakan yang cukup dahsyat sehingga menghancurkan 9 stupa pada candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Otak peristiwa pemboman ini bernama Ibrahim, alias Mohammad Jawad, alias Kresna, yang pada waktu itu oleh penyidik kepolisian peristiwa pemboman ini disebut sebagai dalang pengeboman.

Walaupun begitu, sosok Mohamad Jawad, otak peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini. Berikut detail kronologi pengeboman Candi Borobodur pada tahun 1985 :

Peristiwa pengeboman Candi Borobudur masuk berita utama harian Kompas, selasa 22 Januari 1985

A. Detik-Detik Sebelum dan Sesudah Peledakan

Ledakan itu terdengar 10 menit setelah Suyono dan Triyanto mulai berpatroli. Kedua anggota Satpam Candi Borobudur (pada saat itu berjumlah 56 orang) itu terhenyak.

Sumber ledakan tidak mereka ketahui. Cuaca gelap pukul 01.30 pada Senin, 21 Januari 36 tahun yang lalu itu menghalangi penglihatan mereka. Satu menit kemudian ledakan kedua terdengar. Kali ini terlihat kepulan putih di sisi timur candi Borobudur.

Bergegas kedua orang itu lari melapor ke pos induk. Secara beruntun, kemudian terdengar beberapa ledakan lagi. Ledakan terakhir (yang kesembilan) terdengar pada pukul 03.40, sepuluh menit setelah kepala Polres Magelang tiba di tempat kejadian. Tatkala para petugas naik ke candi, mereka menemukan pecahan batu berserakan di lantai dan tangga candi.

Di sana-sini terlihat tubuh-tubuh patung Budha tergeletak dengan kepala patah. “Ada 9 dari 72 stupa yang terdapat di candi Borobudur yang diperkirakan menjadi sasaran ledakan,” kata Mayjen Soegiarto, panglima Kodam VII/Diponegoro, yang tiba sekitar pukul 08.05 tiba di candi dengan helikopter.

Tujuh stupa yang rusak terkena ledakan terletak di sisi timur. Tiga stupa di lantai 8, dua stupa di lantai 9, dan empat di lantai 10. Pukul 05.30, tim Jihandak (Penjinak Bahan Peledak) dari Yon Zipur Magelang, yang terdiri dari tujuh orang dan dipimpin Kapten Mardjono, tiba di lokasi pengemboman candi.

Tampak kondisi beberapa stupa di Candi Borobudur yang rusak setelah di bom

B. Pasukan Khusus Jihandak (Penjinak Bahan Peledak) Turun Tangan

Satu jam kemudian tambahan dua personil anggota tim Jihandak dari Polda Jateng tiba. Berembuk sejenak, ke sembilan penjinak bom itu berdoa bersama, lalu memulai tugas mereka.

Di teras pertama dan kedua (lantai 8 dan 9), tim Jihandak itu menemukan 2 bom berupa batangan dinamit yang belum meledak. Letaknya pada pantat patung Budha dalam stupa di samping kanan pintu timur.

“Kami agak ragu mengambil dinamit itu, karena timer-nya tak begitu kelihatan,” tutur Mardjono. Setelah diketahui timer dinamit pertama menunjuk angka 10.30, barulah bom itu diambil.

Di luar, timer dimatikan, lalu sumbu yang menghubungkannya dengan peledak dipotong. Dinamit kedua lebih sulit, karena timer-nya menggunakan jam tangan murahan merek Rotax.

“Detonator listrik yang digunakan kebetulan buatan Tiongkok. Seperti diketahui, di Indonesia detonator semacam ini, selain yang buatan Tiongkok, juga beredar buatan Swiss dan Jepang,” kata Pangdam Soegiarto dalam keterangan persnya Senin siang hari kejadian, di pendopo candi Borobudur.

Sumber tenaga yang digunakan : dua buah baterai merek National 1,5 volt untuk tiap perangkat bom, yang terdiri dari 2 -4 batang dinamit, yang dipilin dengan selotip, dengan berat masing-masing 100 gram. Dinamit yang dipakai TNT (TriNitro Toluen) tipe batangan PE 808/tipe Dahana. “Kabelnya halus dan dipatri dengan rapi,” ujar Soegiarto.

Abdulkadir dan kawan-kawannya hanya tinggal memasangnya di dalam stupa dan memencet tombol berupa tombol arloji untuk mengaktifkan bom waktu tersebut.

Menurut Kapten Mardjono (34) pembuat bom itu sudah termasuk profesional, untuk ukuran Indonesia. Teknik elektronya cukup tinggi. Si pembuat misalnya hanya memasang jarum kecil arloji Rotax saja, yang dijadikan timer. “Artinya, menit dan detik tak bisa diketahui oleh penjinak,” kata Mardjono.

Serma (Pol.) Sugiyanto, anggota tim Jihandak Brimob Polda Jateng, di depan Pangdam Soegiarto juga menjelaskan, untuk merakit satu perangkat bahan peledak itu dibutuhkan sekitar 30 menit. Jadi, untuk merakit 11 buah bom yang dipasang di Borobudur itu diperkirakan perlu waktu sekitar 5 1/2 jam.

Tampak sebuah stupa yang hancur lebur karena bagian bawah/dalamnya ditanami bahan peledak

C. Siapa Otak Pelakunya?

Mengingat kompleks candi ditutup pukul 18.00, Soegiarto memperkirakan pemasangan bom itu dilakukan malam hari. Peledakan Borobudur, candi Budha yang dibangun Wangsa Syailendra sekitar abad ke 8 ini, dengan segera mengundang kutukan dari berbagai orang.

“Sungguh tindakan yang biadab,” kata budayawan Yogyakarta Dick Hartoko. Peristiwa biadab itu cepat disiarkan lewat RRI dan TVRI pada Senin malamnya.

Presiden Soeharto sendiri menganggap pelaku peledakan itu sebagai “Orang yang tidak mempunyai kebanggaan nasional, karena Borobudur adalah monumen nasional, bahkan sudah menjadi monumen dunia”.

Kepala Negara menegaskan hal itu setelah menerima laporan Menteri P & K Nugroho Notosusanto di kediamannya di Jalan Cendana, Senin pagi. Kata Nugroho, tidak tertutup kemungkinan bahwa peledakan dilakukan kelompok teroris.

Kerana dikala itu pemerintah, menurut Nugroho yang mengutip penjelasan Presiden, sama sekali tidak berniat menjadikan candi Borobudur tempat ibadah. “Sebab, bagi umat Budha yang ingin beribadat, pemerintah telah menunjuk candi Mendut.”

Karena Borubudur bukan tempat ibadaah, siapa pun orangnya dan apa pun agamanya boleh mengunjunginya. Penegasan Presiden ini dianggap perlu agar semua orang tahu prinsip pemerintah dalam menangani monumen tersebut.

Tampak perbaikan Candi Borobudur yang dilakukan pasca kejadian di Magelang

D. Kerusakan peledakan cukup parah

Dari 9 stupa (yang tersusun dari 2.692 blok batu), diperkirakan 60% – 70% runtuh. “Dari sekian yang runtuh itu, yang sama sekali tidak bisa dipakai lagi ada 25 persen,” kata Gusti Ngurah Anom, kepala suaka sejarah Jateng.

Dua arca Budha yang terletak di teras ketiga rusak amat berat, sedangkan yang lainnya rusak berat. “Dari sudut arkeologis, kerusakan ini sulit dinilai,” kata Anom. Patung yang rusak sedapat mungkin akan di lem kembali.

Anom memperkirakan, perbaikan Borobudur memerlukan waktu 5-6 bulan, dengan biaya sekitar US$ 16,3 juta. Senin siang lalu, perbaikan candi langsung dimulai, dengan mengerahkan 50 pekerja. Hanya sehari itu candi ditutup untuk umum. Hari selasa keesokan harinya candi sudah bisa dikunjungi umum lagi.

Menurut Anom, kerusakan Borobudur tidak begitu berat, karena candi itu menggunakan sistem konstruksi goyang (movable), sehingga kalau ada ruas sambungan akan pecah, bagian batu bisa selamat.

Candi Borobudur selesai dipugar pada Februari 1983. Biaya pemugaran US$ 25 juta, 75% dari pemerintah Indonesia. Sisanya dari UNESCO (US$ 6,5 juta) dan sejumlah penyumbang swasta lainnya.

Tampak pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan oleh beberapa pekerja

E. Peristiwa Bom Borobudur 16 Tahun Kemudian, 1999

Seperti banyak kasus bom lain, peledakan Candi Borobudur 16 tahun lalu juga masih menyisakan misteri yang menyangkut dalang sebenarnya di belakang tindakan amoral itu.

Nama Ibrahim, alias Mohammad Jawad, alias Kresna disebut-sebut sebagai dalangnya. Anehnya, makhluk misterius itu tak diketahui batang hidungnya hingga kini. Aparat belum berhasil meringkusnya, apalagi mengorek motivasinya.

Memang, Abdulkadir Ali Alhabsyi, 40 tahun, yang ditangkap beberapa saat setelah kejadian, telah divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20 tahun karena terbukti sebagai pelaku peledakan itu. Dia memperoleh remisi Presiden RI setelah menjalani hukuman 10 tahun.

Kakaknya, Husein bin Ali Alhabsyi, 46 tahun, walaupun telah diganjar hukuman penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Lowokwaru, Malang, tetap menolak tuduhan dirinya terlibat.

Tapi Abdulkadir hanya pelaku di lapangan, dan Husein, ulama buta itu, hingga kini tetap menolak tuduhan menjadi dalang, bahkan menyatakan sama sekali tak terlibat.

Abdulkadir bin Ali Alhabsyi memperoleh grasi Pemerintah setelah menjalani hukuman 10 tahun; dan tidak lama berselang, Husein bin Ali Alhabsyi kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999.

Husein sampai sekarang menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad sebagai dalang peristiwa tersebut.

Sekitar tujuh stupa rusak berantakan ketika Abdulkadir dan ketiga kawannya meledakkan sejumlah bom di kompleks candi bersejarah di Jawa Tengah pada 21 Januari 1985 itu.

Pengeboman itu diduga berkaitan dengan kasus kecelakaan ledakan bom di bus Pemudi Express di Banyuwangi dan peledakan Gereja Sasana Budaya Katolik Magelang yang terjadi beberapa waktu setelahnya.

Tampak keseluruhan kompleks Candi Borobudur yang di foto dari ketinggian

Dalam pengadilan yang menjadi sorotan masyarakat luas itu, jaksa menuduh bahwa rentetan pengeboman itu merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan yang muslim terhadap peristiwa Tanjungpriok pada 1983, yang menewaskan puluhan nyawa umat Islam.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?