Last Updated on 28 October 2022 by Herman Tan

Festival Zhong Yuan (中元节; Zhong Yuan Jie), atau Festival Hantu Lapar (Hungry Ghost Festival), atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Sembahyang Rebutan”. Perayaan ini selalu jatuh setiap tanggal 15 bulan 7 Imlek, dimana tahun 2022 ini akan jatuh pada Jumat, 12 Agustus 2022.

Festival ini dikenal juga dengan nama Festival Bulan Hantu (鬼月; Gui Yue), atau bulan ke-7 (七月; Qi Yue) adalah sebuah tradisi perayaan bagi para roh/arwah dalam kebudayaan Tionghoa.

Konon, ini adalah hari dimana pintu neraka dibuka lebar2, dan para roh/arwah yang sudah meninggal akan keluar untuk kembali “mengunjungi dunia”.

Di rumah2 abu biasanya dilakukan acara sembahyang rebutan untuk menenangkan para hantu atau arwah umum yang bergentayangan dan kelaparan.

Dalam budaya barat, “Festival Hantu Lapar” ini sama saja seperti Festival Halloween, yang dapat dijumpai di sejumlah negara (termasuk di Indonesia, yang belakangan makin doyan memperingati festival barat ini), yang dirayakan setiap tanggal 31 Oktober.

So, kalian tidak perlu mengolok2 orang Tionghoa yang memperingati ini, karena di dunia barat (budaya barat) pun ada festival untuk menghormati para orang mati ini.

Baca juga : 28 Pantangan Yang Perlu Diperhatikan di Bulan Hantu

A. Kapan Sembahyang Rebutan (Festival Hantu Lapar) Dilakukan?

• Festival Hantu Lapar (Hungry Ghost Festival) 2021 : Minggu, 22 Agustus 2021
• Festival Hantu Lapar (Hungry Ghost Festival) 2022 : Jumat, 12 Agustus 2022
• Festival Hantu Lapar (Hungry Ghost Festival) 2023 : Rabu, 30 Agustus 2023
• Festival Hantu Lapar (Hungry Ghost Festival) 2024 : Minggu, 18 Agustus 2024

Konon menurut kepercayaan Tionghoa, setiap tanggal 15 bulan 7 Imlek pintu neraka akan dibuka lebar2, dan para roh/arwah akan diberi kesempatan untuk turun ke dunia melihat anak cucunya.

Baca juga : Asal Usul Sejarah Sembahyang Rebutan; Bulan Hantunya Orang Tionghoa!

Tradisi ini sebenarnya merupakan tradisi masyarakat agraris di jaman dahulu, yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta Dewa-Dewi, supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat berlimpah dan terberkati.

Namun karena pengaruh religius, terutama dari unsur Buddhisme, menjadikan tradisi perayaan ini sarat dengan mitologi tentang hantu2 kelaparan yang perlu dijamu pada saat kedatangan mereka di dunia manusia.

Kemudian berlanjutlah tradisi membagi2 hasil bumi (beras, mie, bihun, kue, buah2 an, dsb) di kelenteng2 dan atau di rumah2 abu diwariskan turun temurun hingga sekarang, untuk memberi kesempatan kepada manusia agar bisa beramal kebajikan bagi para leluhurnya.

Bagi para arwah yang anak cucunya tidak menyediakan persembahyangan di rumah, mereka akan mencari makanan di rumah2 abu yang melaksanakan ritual sembahyang ini.

Bulan ke-7 Imlek juga dipercaya sebagai bulannya para hantu untuk “berkeliaran” selama sebulan penuh, dimana sudah dimulai sejak 15 hari sebelum tanggal 15 bulan 7, s/d 15 hari sesudahnya.

Bagi mereka yang masih percaya terhadap hal ini, sangat jarang ada yang mengadakan pesta pernikahan atau pesta ulang tahun di bulan ke-7 Imlek ini.

Karena menurut kepercayaan, hal tersebut diyakini akan membawa kesialan, karena pesta2 tersebut akan dihadiri juga oleh para roh hantu yang sedang bergentayangan.

Cerita mengenai awal mula “Sembahyang Rebutan” atau “Festival Hantu Lapar” ini ada beberapa versi. Umumnya yang kita ketahui adalah cerita versi yang berasal dari pengaruh Buddhisme. Namun ternyata terdapat “versi Taoisme” juga. Berikut ceritanya :

C. Sejarah Asal Mula Sembahyang Rebutan Versi Taoisme

Penggal kepala (斩头) adalah salah satu teknik hukuman mati paling yang paling umum dilakukan di jaman kekaisaran perdinastian Tiongkok. Di eranya Jaksa Bao, konon ratusan kepala menggelinding akibat perbuatan mereka! (foto ilustrasi : 1c1.com.hk)

Baca juga : 4 Fakta Festival Bulan Hantu, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa Yang Harus Dijaga!

Di jaman dulu, tanggal 15 bulan 7 Imlek biasanya dipakai oleh pemerintahan kerajaan untuk melaksanakan eksekusi bagi semua tahanan terpidana hukuman mati. Acara eksekusi ini berlaku serentak di seluruh negeri.

Bagi keluarga2 terpidana, itu adalah hari yang sangat menyedihkan. Sementara bagi masyarakat umum, hari itu dirasakan sebagai hari yang mencekam, dimana banyak keluarga yang menangisi anggota keluarganya yang akan di eksekusi mati.

Mereka biasanya “mengantar” arwah kerabatnya tersebut dengan memasang altar, memberikan persembahan, dan sebagainya. Karena hari eksekusi tersebut berlaku serentak di seluruh negeri, suasananya memang sangat mencekam, dan tentunya penuh dengan suasana duka dan perkabungan.

Arwah2 yang serentak tercabut tersebut, berubah menjadi arwah2 gentayangan yang makin menimbulkan suasana mengerikan.

Sebagian keluarga lainnya yang tidak mengalami adanya anggota keluarga yang di eksekusi, karena rasa ngeri dan takut, jadi ikut2an memberikan sesajian, dengan harapan agar arwah2 gentayangan tersebut tidak mengganggu mereka dan keluarga.

Akhirnya, lama kelamaan Tanggal 15 Bulan 7 Imlek (七月十五; Qi Yue Shi Wu) tersebut menjadi tradisi persembahyangan bagi para roh & arwah yang gentayangan tersebut.

Adapun versi lain mengatakan, bahwa asal-usul dari bulan hantu ini adalah karena di jaman dulu, bulan ke-7 Imlek ini dikenal sebagai musim pancaroba. Hal ini menyebabkan banyak penyakit, bahkan timbulnya penyakit2 tropis yang aneh yang mewabah, yang menyebabkan banyak kematian.

Karena itulah dikatakan bahwa pada bulan ke-7 ini merupakan bulan yang berbahaya, yang selalu dikaitkan dengan adanya keberadaan para hantu yang berkeliaran di dunia.

Baca juga : Heibai Wuchang dan Niutou Mamian; Legenda 4 Penjaga Dunia Akhirat yang Terkenal

Setiap tanggal 15 Bulan 7 Imlek, di Kelenteng2, Vihara2 dan rumah abu sering mengadakan upacara sembahyang “jit gwee“, atau disebut juga sembahyang Cioko, atau sembahyang Ulambana, atau Yu Lan Pen Hui (versi Buddhisme).

Dalam upacara ini ada keunikan, yaitu ketika upacara persembahyangan selesai, maka semua sesajian/persembahan makanan yang ada diatas meja sembahyang dibagikan dan diperebutkan oleh warga sekitar yang ikut menyaksikan.

Oleh karena itu, di Indonesia upacara ini juga disebut sebagai “Sembahyang Rebutan“, karena persembahan yang diberikan, selain diperebutkan oleh para roh/arwah yang kelaparan, ternyata juga diperebutkan oleh para manusia.

Terlepas dari semua mitologi religius di atas, hikmah dari perayaan ini sebenarnya adalah penghormatan kepada leluhur dan perjamuan fakir miskin. Hal ini ditandai dengan tradisi dari sembahyang rebutan, yang membagi2 makanan sembahyang kepada para pengemis dan gelandangan ketika upacara selesai.

Anggap saja, tradisi mengenai persembahyangan kepada para arwah di bulan hantu ini adalah Festival Hallowennya versi orang Tionghoa.
Selamat merayakan Hungry Ghost Festival!

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?