Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.

Dengan pertimbangan istilah “Tjina” sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera pada waktu itu, yang pada pokoknya merupakan pengganti istilah Tionghoa atau Tiongkok telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa,

Dalam Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014 itu, Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia.

“Karena itu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” bunyi Menimbang poin (b) Keppres tersebut.

Presiden juga menjelaskan, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu sebutan yang tepat bagi negara People’s Republic of China dengan sebutan negara Republik Rakyat Tiongkok (sebutan lama : Republik Rakyat Cina; RRC).

Dalam diktum menimbang Keppres itu disebutkan bahwa ketika UUD 1945 ditetapkan, para perumus UUD tidak menggunakan sebutan Cina melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia.

Karena itu, melalui Keppres No. 12/2014 tertanggal 14 Maret 2014 itu, Presiden SBY mencabut dan menyatakan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 TIDAK BERLAKU LAGI.

Selanjutnya, dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 itu, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

“Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal ditetapkan,” bunyi Keputusan Presiden yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Maret 2014 itu.

Sumber RESMI : http://www.setkab.go.id
Link Download : Keppres No. 12/2014 tertanggal 14 Maret 2014


Catatan Admin Blog Tionghoa.INFO :

Tentunya dengan adanya Keppres ini, blog Tionghoa.INFO mendukung 100% langkah ini, dengan meniadakan penggunaan kata “Tina, China, Cina” untuk penyebutan orang atau komunitas; dan meniadakan penggunaan kata “Republik Rakyat China” untuk penyebutan Negara, untuk penulisan artikel-artikel terbitan selanjutnya.

Lampiran I :

Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967
SURAT EDARAN PRESIDIUM KABINET AMPERA TENTANG MASALAH CINA
NO. SE-06/Pres.Kab/6/1967

1. Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah “Tionghoa/Tiongkok” di samping istilah “Cina” yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi.

2. Dilihat dari sudut nilai-nilai ethologis-politis dan etimologis-historis, maka istilah “Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah “Cina” tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina tersebut datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari aspek-aspek psykologis dan emosionil.

3. Berdasarkan sejarah, maka istilah “Cina-lah yang sesungguhnya memang sejak dahulu dipakai dan kiranya istilah itu pulalah yang memang dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.

4. Lepas dari aspek emosi dan tujuan politik, maka sudah sewajarnya kalau kita pergunakan pula istilah “Cina” yang sudah dipilih oleh Rakyat Indonesia umumnya.

5. Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat pusat maupun daerah kami harap agar istilah “Cina” tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.

Demikian, untuk mendapat perhatian seperlunya.

Jakarta, 28 Juni 1967
PRESIDIUM KABINET AMPERA
SEKRETARIS
Ttd.

SUDHARMONO, SH
BRIG.JEN TNI

Lampiran II :

istilah cina
Klik untuk memperbesar gambar

Setelah Presiden mengeluarkan Keppres nya, segera langsung ditindaklanjuti oleh MENDAGRI dengan mengeluarkan Surat Edaran bersifat SEGERA dengan nomor 471.83/2156/SJ tentang Perubahan Penggunaan Istilah Cina/China/Tjina menjadi Tionghoa; dan istilah RRC (Republik Rakyat China) menjadi RRT (Republik Rakyat Tiongkok) kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota yang ada di Indonesia.

Lampiran III : 

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2014
TENTANG PENCABUTAN SURAT EDARAN PRESIDIUM KABINET AMPERA
NOMOR SE-06/PRES.KAB/6/1967, TANGGAL 28 JUNI 1967
DENGAN RAHMAT .TUHAN YANG MAHA ESA

Menimbang :

a . bahwa Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni 1967 yang pada pokoknya mengganti penggunaan istilah “Tionghoa/ Tiongkok” dengan istilah “Tjina”, telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatlf dalam relasi sosal yang dialami warga bangsa Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa;

b. bahwa pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, komunitas dan atau ras tertentu pada dasarnya melanggar nilai, prinsip, perlindungan hak asasi manusia, karena itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;

c. bahwa sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok maka dipandang perlu untuk memulihkan sebutan yang tepat bagi Negara People’s Republic of China dengan sebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok;

d. bahwa ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan, para perumus Undang-Undang Dasar tidak menggunakan sebutan Cina melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah aimya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE- 06/Pres.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni 1967;

Mengingat :

1. Pasal 4 ayat (1), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 280 ayat (1), dan Pasal 281 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634);

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5143);

MEMUTUSKAN :

PERTAMA : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE 06/Pres.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni 1967.

KEDUA : Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

KETIGA : Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Maret 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Tentunya dengan adanya Keppres ini, blog Tionghoa.INFO mendukung 100% langkah ini, dengan meniadakan penggunaan kata “Tina, China, Cina” untuk penyebutan orang atau komunitas; dan meniadakan penggunaan kata “Republik Rakyat China” untuk penyebutan Negara, untuk penulisan artikel-artikel terbitan selanjutnya.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Presiden SBY Ganti Istilah Cina dengan Tionghoa”
  1. Jadi tolong dibaca baik-baik ya, soalnya di masyarakat mulai bingung (bingung apa sengaja memplesetkan), kalau mau menyebut “petai cina” atau “tahu cina” itu bagaimana? Apa berubah menjadi “petai tionghoa” dan “tahu tionghoa”.

    Mereka yang menyebut begitu artinya tidak membaca baik-baik isi Keppres tersebut; dimana sangat jelas terlulis penyebutan istilah Tionghoa HANYA BERLAKU untuk menyebut orang atau komunitas, bukan jenis/produk makanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?