Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Pada bulan Juni 1966, Mao lewat PKC mengerahkan ribuan pelajar dan mahasiswa ke Lapangan Tiananmen di pusat Kota Beijing. Mereka membawa buku kecil warna merah, “The Little Red Book“, berisi kutipan naskah-naskah pidato Mao. Belakangan gerakan diperluas ke kalangan pekerja, buruh, dan petani.
Mereka mengecam siapa pun yang berada dalam posisi pimpinan. Tidak jarang kecaman berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan, baik karena hukuman maupun bunuh diri. Para mahasiswa dan massa ini turun ke jalan dengan mengenakan pita di lengan bertuliskan ”Pengawal Merah”.
Mereka digerakan memberantas seni budaya yang ingin merubah diktator proletar menjadi kepemimpinan borjuis.
Para pelajar dan mahasiswa ini kemudian digerakan untuk melancarkan kritik terhadap oknum-oknum yang dinilai ”anti-partai dan anti-rakyat”, seperti Presiden China, Liu shaoqi; Sekjen PKC, Deng Xiao ping; Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat, Lo Rui Qing.
Gerakan Pengawal Merah ini dari hari ke hari semakin brutal dengan melakukan pengrusakan terhadap pelbagai kantor pemerintah, fasilitas umum, dan melakukan teror serta penangkapan terhadap lawan-lawan politik Mao.
Revolusi Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan bintang film tak terkenal Jiang Qing (nama samarannya dalam dunia politik; nama terlahir Li Shumeng; nama di makamnya dipakai nama sewaktu Ia sekolah, Li Yunhe), untuk menyingkirkan para pesaingnya dalam ranah kesenian.
Opera, film, dan panggung teater didominasi produksi Madam Mao.
Lukisan bunga dan alam tak boleh dipasang, diganti gambar bendera merah, traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik. Kaum perempuan tak boleh lagi berambut panjang dan dandan sesukanya. Jika ketahuan Tentara Merah, rambut mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan dirobek di depan umum.
Banyak pengarang dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa, atau dibiarkan frustrasi hingga bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis dipotong jarinya oleh Tentara Merah.
Dalam periode Revolusi Kebudayaan, pemujaan terhadap Ketua Partai ditingkatkan, dimana pemikiran-pemikiran Mao dikumpulkan untuk konsumsi masyarakat banyak dalam sebuah Buku Merah Kecil (Little Red Book), dinilai memberi jawaban atas setiap permasalahan yang mereka hadapi.
Nilai-nilai revolusioner dihidupkan dan diutamakan kembali, dengan menekankan mobilisasi massa, pengawasan normatif dan pengurangan intensif material.
Para birokrat, teknokrat dan cendekiawan yang dianggap sebagai lapisan kelas baru, digantikan peranan nya oleh komite-komite Revolusioner, yang mementingkan ideologi, semangat massa dan kekuatan kemauan manusiawi.
Suatu hal yang penting, pada saat itu Mao mengadakan Gerakan Pemindahan ke Daerah Pedalaman. Ia yang memindahkan secara paksa 20 juta orang penduduk dari kota-kota ke desa-desa, dalam rangka menerapkan program belajar dari kaum petani. Banyak profesional muda yang menjadi “korban” dari Program Ruralisasi Mao ini.
Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya, tiba-tiba dimutasi menjadi petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat.
Beberapa masalah timbul dari kebijakan pembangunan Mao selama Revolusi Kebudayaan.
Sebab bagaimana mungkin keinginan untuk menerjunkan kaum buruh agar berpartisipasi dalam tugas-tugas administrasi, dan sebaliknya menerjunkan para kader politiknya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan buruh, dapat diharapkan keberhasilanya dalam waktu singkat.
Harus diingat bahwa hal itu memerlukan waktu penyesuaian, karena sebelumnya kaum buruh telah terbiasa dengan pekerjaan di lapangan yang sifatnya kasar, serta asing sekali dengan pekerjaan administratif.
Sedangkan para kader politik justru telah terbiasa dengan tugas-tugas organisasi dan administratif, masih asing dengan pekerjaan-pekerjaan buruh.
Dengan menggunakan kaum muda, kader-kader partai yang setia kepadanya dan orang-orang yang direkrut dari golongan militer, Mao melakukan tindakan pembersihan terhadap Liu dan kawan-kawan. Liu Shaoqi, Presiden China, kemudian mengalami perlakuan buruk dan mati dalam keadaan menyedihkan.
Liu ditahan dalam keadaan yang sangat buruk dalam sebuah sel terisolasi di Kaifeng, yang menyebabkan kematiannya oleh ketiadaan perawatan medis (diabetes dan pneumonia yang tidak terawat) pada 1969. Deng Xiao Ping, Sekjen PKC (yang kemudian menjadi Ketua CPPCC tahun 1978-1983), diasingkan dalam pembuangan di Jiangxi.
Ia juga mendapat perlakuan buruk selama dalam pengasingan seperti seorang pekerja rodi. Sedangkan Peng Dehuai, bekas Menhankam China, menghadapi penyiksaan berat dan mati dalam keadaan setengah lumpuh.
Sementara tokoh Empat Serangkai yang berada di belakang Mao; memperbesar jumlah korban yang harus dibinasakan dengan memasukan kategori-kategori baru mengenai siapa saja yang masih termasuk musuh, pengkhianat dan para pengikut kapitalis.
Berdasarkan data yang diperoleh, antara 250.000 sampai 500.000 jiwa rakyat tewas selama Revolusi Kebudayaan ini.
Sedangkan jutaan rakyat lainya mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat dikirim ke kamp-kamp kerja paksa dan diteror, serta dikejar-kejar oleh gerombolan-gerombolan orang yang diatur sebagai ”massa yang marah” dalam berbagai bentuk kampanye mobilisasi, restorasi pemikiran, re-edukasi dan rekonstruksi pribadi sosialis yang baru.
Keadaan ini berlangsung selama sepuluh tahun memporak-porandakan seluruh negeri dan menyengsarakan lebih dari 100 juta rakyat China.
Pengaruh Revolusi Kebudayaan terhadap perekonomian nasional sangatlah besar. Produksi sektor industri merosot di tahun 1967 dan baru pulih kembali pada tahun 1969, meskipun sektor pertanian hanya mengalami sedikit kerugian.
Selama sepuluh tahun kekacauan berlangsung, terjadi kerusakan diri atas kaum muda karena banyak sekolah ditutup. Pada sekolah-sekolah yang masih dibuka, kurikulum sangat disederhanakan dan sistem ujian dihapus, sehingga mutu pendidikan merosot.
Akibat adanya pengiriman anak-anak usia sekolah dari kota ke daerah pedesaan untuk bertani, tercatat tidak kurang dari 100 juta anak muda kembali menjadi buta huruf, disamping banyak lowongan kerja yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak ahli.
Korban jiwa, kemunduran pendidikan, kehancuran seni dan peradaban, kebangkrutan pabrik-pabrik, adalah berbagai akibat yang dihasilkan Revolusi Kebudayaan.
Dari segi pemerataan, kebijakan-kebijakan pembangunan Mao, menghasilkan prestasi yang mengagumkan. Dalam hal itu hasil yang diraih China lebih baik dibandingkan negara-negara sedang berkembang pada umumnya.
Keunggulan tersebut harus diakui, walaupun dari segi kesejahteraan hidup penduduk, kondisi China masih jauh dari yang diharapkan. Sejak 1971 keadaan menjadi normal (dalam versi Mao).
Sekolah dan universitas dibuka kembali dengan syarat hanya buruh dan petani yang boleh belajar. Mahasiswa asing dan turis boleh datang, meski dalam wilayah terbatas. Para turis hanya disuguhi traktor dan sistem irigasi disertai pidato propaganda.
Pada 9 September 1976, Mao Zedong wafat. Tidak berselang lama, sekitar Oktober 1976 “Kelompok Empat” ditangkap.
Mereka adalah Jiang Qing (istri/janda Mao), Yao Wenyuan dan Zhang Chunqiao (dua tokoh sentral di Shanghai selama Revolusi Kebudayaan) dan Wang Hongwen (penjaga keamanan dari Pabrik Pemintalan di Shanghai yang memobilisasi para buruh tekstil selama Revolusi Kebudayaan).
Mereka ini yang dulunya berada di belakang Mao; yang memperbesar jumlah korban yang harus dibinasakan dengan memasukan kategori-kategori baru mengenai siapa saja yang masih termasuk musuh, pengkhianat dan para pengikut kapitalis.
Setelah itu secara pelahan Deng Xiaoping naik menuju kekuasaan. Rekannya Liu Shaoqi namanya direhabilitasi secara politik; lalu diadakan upacara pemakaman secara Kenegaraan setelah lebih dari satu dekade sesudah kematiannnya.
Pemikirannya yang dulu tidak diakui kini diamini. Sejak saat itu, tak ada lagi mahasiswa dengan kategori tiga pilar politik: pekerja-petani-tentara. Ujian seleksi perguruan tinggi diberlakukan lagi untuk umum.
Mahasiswa tak perlu lagi ikut mengikat sayuran, dan area penanaman padi tidak harus ke utara Sungai Yangtze agar tidak menentang alam.
Seruan Deng, “Menjadi kaya itu mulia,” mengubah wajah China secara dramatis.
Pakaian dan tata rambut masyarakat berubah. Observatorium yang didirikan rohaniwan Jesuit di Jianguomen, yang dulu menjadi satu-satunya monumen tertinggi, kini diapit hotel-hotel dan gedung-gedung pencakar langit.
Revolusi Kebudayaan ala Mao Zhedong ini banyak yang pro kontra.
Sebagian pihak menganggap Mao Zhedong adalah seorang tokoh sentral yang sangat berjasa dalam membangun RRC;
sementara di satu sisi, banyak yang mengecam tindakan-tindakan dari Mao karena kebijakannya yang menimbulkan ratusan ribu korban akibat kelaparan, serta banyak membunuh lawan-lawan politiknya yang tidak sepaham dengan berbagai cara yang keji.
Mungkin secara tidak langsung kejadian ini sedikit mirip dengan pemberantasan G30S/PKI 1965 (Gestok) di Indonesia;
dimana jutaan rakyat terbunuh akibat menganut paham PKI pada waktu itu (dianggap ingin mengkudeta kekuasaan), dan Presiden Soeharto dianggap pahlawan bagi sebagian orang karena menyelamatkan Negara dari ancaman kudeta.