Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan Manado

Hari ini saya sedang beruntung, karena kiriman dari seorang Teman dari Bandung yang berhasil mereplica Lencana ini, di mana lencana ini adalah lencana dari pasukan “LASKAR CHUNKING”atau” TKR CHUNGKING ” lencana ini terdiri dari gambar Bendera Merah Putih berdampingan dengan Bendera Partai Kuomintang yang kelak menjadi bendera Taiwan.

Tampak emblem yang dipakai laskar TKR Chungking

TKR Chungking, adalah Pasukan Khusus Berisi Orang-Orang Tionghoa yang Rela Mati Demi Indonesia. Diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia bukanlah hal baru. Mulai dari jaman Belanda dulu sampai pemerintahan Soeharto, orang-orang Tiongkok di sini mengalami banyak perlakuan tidak menyenangkan.

Bahkan di masa Belanda dulu, mereka pernah diperlakukan seperti binatang yang dibantai sedemikian rupa hanya gara-gara menguasai ekonomi pasar. Yang miris lagi, kesan buruk tentang orang Tionghoa sedikit banyak juga rupanya masih bertahan sampai hari ini.

Tentu sikap buruk terhadap orang-orang Tionghoa ini tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau kita melihat fakta sejarah di mana ternyata orang-orang Tionghoa pernah berdarah-darah demi Indonesia.

Salah satu buktinya adalah peristiwa 10 November 1945, di mana orang-orang Tionghoa juga ikut menyerang sekutu lewat pasukan mereka yang bernama TKR Chungking.

Tanpa banyak yang tahu, pasukan ini ternyata begitu besar perannya di pertempuran dahsyat tersebut. Seumpama mereka tidak ada ketika itu, mungkin saja Indonesia takkan bisa memberikan perlawanan yang begitu menohok kepada musuh.

Tidak sedikit pemuda/i keturunan Tionghoa di Surabaya (bahkan yang dari Malang) ikut bertaruh nyawa dalam pertempuran pertama Indonesia pasca Proklamasi melawan pasukan asing Britania Raya setelah Perang Dunia II. Mereka bahu membahu bersama warga lokal melawan penjajah; terlebih dalam soal TKR Chungking.

Berikut adalah fakta-fakta tentang pasukan Tionghoa tersebut :

1. Marah Saat Indonesia Diganggu, Masyarakat Tionghoa membentuk Pasukan Chunking di area sekitar Kembang Jepun.

Kemerdekaan di bulan Agustus 1945 ternyata tidak hanya menjadi sesuatu yang sangat dinanti orang pribumi, tapi juga masyarakat Tionghoa. Alasannya tak lain karena mereka juga mengalami hal-hal buruk selama masa penjajahan. Alhasil, kemerdekaan pun jadi hal yang paling ditunggu.

Lantaran kemerdekaan ini begitu susah didapat, maka tentu saja orang-orang Tionghoa nggak rela kalau Indonesia kembali terjajah. Kemudian atas dasar inisiatif dan rasa cinta tanah air, kemudian mereka membentuk pasukan bernama Chungking. Pasukan ini tercatat sangat aktif melawan Sekutu dan Belanda di pertempuran Surabaya.

Kesannya mungkin dibikin dadakan, tapi TKR Chungking sama sekali bukan pasukan ecek-ecek. Mereka ini punya kemampuan hebat yang sering kali bikin Sekutu dan NICA kocar-kacir. Hal tersebut tertuang dalam sebuah buku berjudul Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran : Sejak Nusantara Sampai Indonesia yang ditulis Iwan Sentosa.

TKR Chungking – serdadu berhelm baja Nazi, berpanji Kuomintang di Pertempuran Surabaya.

2. Tidak hanya punya kemampuan militer yang cukup mumpuni, TKR Chungking juga didukung oleh persenjataan bagus.

Tentara yang perlengkapannya persis dengan pasukan yang bertempur kala Perang Sino Jepang II dan Perang Pasifik berada di bawah komando Chiang Kai-shek dari Faksi Nasionalis China. Pasukan bertopi baja Stahlhelm yang sedianya jadi ikon tentara Angkatan Darat (Wehrmacht) Jerman Nazi.

Misalnya senapan Karaben 98-K, serta amor helm bernama Fritz yang diketahui berasal dari Jerman, yang di dapat dari pasar gelap, baju seragam yang di gunakan sama seperti para pejuang yang jebolan Pasukan PETA yang berwarna coklat khaki yang sama digunakan Pasukan RIKOGUN Jepang.

Helm-helm macam itu beserta persenjataan dari Jerman lainnya macam senapan laras panjang Karabiner 98 kurz (Kar98-K), sempat disuplai Jerman untuk Pemerintah China jelang Perang Dunia II. Suplai peralatan militer ini akhirnya distop pasca Jepang dan Nazi Jerman terikat Pakta Tripartit (Jerman, Italia, Jepang) 27 September 1940.

“Dalam aksinya (Tentara Chungking), mereka mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dan itu dibenarkan Pemerintah Chungking. Juga kaum wanita Tionghoa bahu membahu dengan para pemudi Indonesia bergiat di barisan Palang Merah Indonesia,” seru siaran Radio Republik Indonesia (RRI), pada 13 November 1945.

Tidak hanya kemampuan dan persenjataan. Di atas itu, ada kekuatan lain yang bikin TKR Chungking trengginas. Hal tersebut tak lain adalah semangat rela mati dan berjuang demi Indonesia yang juga tumpah darah mereka.

3. Pelopor pos-pos pengobatan medis.

Tidak hanya tergabung di front-front depan, TKR Chungking juga tersebar di bagian penting lainnya seperti medis. Diketahui ketika itu merekalah yang menginisiasi berdirinya beberapa pos-pos pengobatan saat perang di Surabaya pada 10 November. Sayangnya, beberapa dihancurkan oleh sekutu, beserta para penghuninya.

Tidak hanya dalam pertempuran menangkal hantaman Inggris, bendera Kuomintang berwarna biru tua dengan simbol matahari itu juga acap dikibarkan di mobil-mobil Palang Merah Tionghoa, berdampingan dengan bendera Merah Putih.

Berita tentang kekalahan Pasukan sekutu yang masuk harian Kedaulatan Rakyat, 30 Oktober 1945

4. Selain medis, tercatat juga TKR Chungking tergabung bersama para pejuang dalam laskar berani mati.

Ketika itu tugas mereka adalah menyerbu benteng Sekutu yang diperkuat oleh Gurkha. Sedikit informasi, pasukan Gurkha di masa itu sangat ditakuti dunia, tapi orang-orang TKR Chungking seolah tidak peduli dan dan tanpa ragu menerjangnya.

Bahkan tentara Gurkha pun takut apabila menghadapi pasukan Chunking yang sadis Dalam menghabisi lawan, senjata khas pasukan Gurkha yang menakutkan di medan pertempuran perang Dunia II yang bernama KHUKIRI pun bisa takut menghadapi pasukan Chunking.

Dari arah Malang juga terdapat pasukan dari Tionghoa yang tergabung dalam laskar “PALANG BIRU”, yang bertugas sebagai medis, sama seperti Palang merah Tionghoa yang berisi para pelajar pendidikan medis asal Surabaya dan Malang.

Karena begitu vitalnya peran palang merah dan badan-badan logistik lainnya, menjadikan mereka turut jadi sasaran keji serangan pihak sekutu, baik lewat darat maupun pemboman udara. Seperti yang terjadi pada satu pos Palang Merah Tionghoa dekat Stasiun Semut, 18 November 1945.

5. Pasukan ini pernah membersihkan Kaum Tionghoa yang menjadi antek musuh.

Memang ketika terjadi pergolakan 10 November di Surabaya itu, tidak semua orang Tionghoa ikut berjuang. Beberapa diketahui malah menjadi mata-mata Belanda dan Inggris. Uniknya ketika hal ini terjadi, TKR Chungking turun sendiri untuk menyelesaikannya.

Adapun nama pasukan Inggris yang menyerbu Surabaya bernama 49th Indian Infantery Brigade yang merupakan  pasukan kebanggaan Britania Raya, dijuluki ”The Fighting Cock”.

Sebelum ke Surabaya, sepak terjang pasukan ini dikenal menakutkan. Pasukan elite ini berhasil merebut satu per satu wilayah Burma pada tahun 1944 dengan sistem gerilya hutan.

Mereka ketika itu mengadakan semacam pembersihan terhadap kaumnya yang membelot membela Belanda, Inggris dan anteknya. TKR Chungking yang ketika itu dipimpin oleh “Tse An Hui”, boleh dibilang berhasil membersihkan kaum Tionghoa dari para pengkhianat-pengkhianat.

Hal ini jadi bukti lain jika TKR Chungking lebih mencintai kedaulatan Indonesia daripada sukunya sendiri. Sayangnya, cerita ini nggak banyak orang yang tahu. Masyarakat Indonesia sendiri lebih mempercayai cerita laskar Po An Tui yang menjadi mata-mata Belanda untuk meneror pejuang pribumi.

Tampak sebagian pasukan yang tergabung dalam batalyon Andjing NICA. Dibilang semikian karena mereka menggunakan lencana ‘anjing menyalak’ sebagai identitas batalyonnya, dan merupakan hinaan bagi kaum pendukung pihak Belanda.

Padahal, sewaktu masa perang, kalau mau bicara BUSUK : memang BENAR, ada sebagian etnis Tionghoa yang memang tidak berpihak pada Indonesia; rela membocorkan info pada Belanda, memberikan upeti, dsb. Tapi ada juga sebagian dari etnis pribumi yang mau disogok sama pemerintah Belanda.

Kalian tahu pasukan batalyon NICA (ex KNIL yang dijuluki Andjing NICA) yang terkenal kejam itu? Sebagian besar dari serdadu nya ternyata adalah warga Indonesia Timur (Ambon, Manado, Timor), Sunda dan Jawa, yang dibina/di rekrut Belanda sebagai pasukan untuk melawan pejuang lokal!

Batalyon Andjing NICA ini membalas aksi kelompok pro Republik Indonesia yang membantai orang-orang Belanda dengan cara yang tak kalah kejam.

So, kalau bisa saya kasih perumpamaan : Sehitam2nya suatu golongan pasti ada putihnya; dan Seputih2nya sebuah golongan pasti ada hitamnya. Tidak bisa kita men-cap “golongan A” JELEK hanya karena ulah 1 orang. Disini memang ada kutu busuknya, namun disana juga ada kutu busuknya!

Tragedi 10 November ini bisa dibilang sebagai salah satu perang terbesar pasca kemerdekaan. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyak korban yang jatuh di pihak kita. Tercatat, sekitar 6000-16.000 tentara kita tewas, termasuk juga orang-orang TKR Chungking, dan 200,000 rakyat sipil mengungsi keluar dari Surabaya.

Untuk Chungking, diperkirakan ±1000 anggotanya gugur dalam peristiwa ini. Nggak terbatas Chungking saja, banyak juga masyarakat sipil Tionghoa yang tewas dalam pertempuran tersebut. Ini adalah pengorbanan terbesar dari mereka, yang harus diketahui oleh semua orang Indonesia sebagai bukti kecintaannya terhadap bangsa ini!

Pertempuran Surabaya itu baru baru berakhir pada 28 November 1945. Selain pihak pejuang Republik Indonesia yang mundur dari Kota Surabaya, sejumlah permukiman warga sipil porak poranda, menyisakan puing-puing yang mengubur jasad-jasad manusia yang tidak lagi terdapat perbedaan ras golongan; melainkan sama sebagai korban.

Merupakan hal yang lucu jika ada masih ada yang bilang “orang-orang Tionghoa tidak nasionalis, atau antek aseng”. Padahal, mereka juga pernah berjuang demi Indonesia, termasuk memerangi kaumnya sendiri demi bangsa ini. Cerita ini layak untuk diangkat, sebagai bukti jika orang-orang Tiongkok Indonesia pun berdarah merah putih.

Oleh : Paulus Sugito, edited by Herman Tan

Referensi :

Wikipedia – Peristiwa 10 November 1945
Okezone – Catatan Panji Kuomintang & Helm Nazi dalam Pertempuran Surabaya
Kaskus – TKR Chungking,Pasukan Etnis Tionghoa yang Rela Mati Demi Indonesia

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Tentara Keamanan Rakyat Chungking, Pasukan Etnis Tionghoa Berani Mati”
  1. Brigade chungking mendapat senjata dari tiongkok selatan masuknya lewat tepian pandan (kutai adat lawas). Kebetulan pimpinan berbesan dgn salah satu pimpinan brigade chungking, dalam brigade chungking ada beberapa kompi lagi. 1. Brigade kutai (tariu raja koning) dan dari Federasi dayak besar, kompi ronggolawe dari tuban, kompi rawarontek, dan kompi singo barong. 2) Kompi jenggqlz kahuripan (bersiaga di pr8gen dan malang. 3) dan dari NU.

    Meninggalkan surabaya bukan kalah, tetapi menarik pasukan inggris masuk ke dalam karena strategi gerilyawan kota dibawah brigade chungking, termasuk pasukan tariu raja koning, dan pasukan sumpit mandau, pasukan chino sedenk, pasukan chino menderung (julukan penghunasan dari HB9). Kekalahan inggris adalah karena hancurnya logistik yg diterapkan di sini membawa korban yg tidak sedikit. Setahu sy dari almarhum kakek ratusan ribu korban ya, dan sebetulnya yg memulai perang ya brigade chungking ini. Juga ada pasukan jepang yg membelot dibawah pasukan kutai. Kakek sy sendiri di pasukan giho (pandu laut), sayang 67 pasukan terlibat perang saudara dgn pasukan orba (sejarah kelam keluarga).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?