Last Updated on 10 May 2018 by Herman Tan

Secara umum, hubungan sosial antara masyarakat Pribumi dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia memperlihatkan perkembangan yang positif, khususnya setelah peristiwa Mei 1998 yang sebagai pertanda dimulainya “era kebebasan”.

Dengan dicabutnya sejumlah Inpres tahun 1967 oleh presiden Abdurahman Wahid dan diakuinya agama Konghucu pada saat presiden Megawati Soekarnoputri, sehingga menjadikan Imlek sebagai hari libur di Indonesia.

Padahal mayarakat Tionghoa sebenarnya memiliki sejarah “kebencian” yang panjang, dimulai dari jaman pemerintahan Hindia Belanda – VOC (abad ke-17) berkuasa di wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia saat ini (sumatera, kalimantan, jawa, sulawesi dan maluku), dengan membaginya menjadi 3 kelompok/kelas, yakni :

(1) pribumi sebagai kelas pekerja,
(2) tionghoa sebagai kelas pengumpul/pebisnis,
dan (3) mereka sendiri sebagai pengawas dan penentu kebijakan.

Referensi : Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia

Dari sini, masyarakat pribumi lambat laun mulai membenci masyarakat tionghoa, karena oleh sistem VOC, memungkinkan mereka untuk memerintah masyarakat pribumi, mengambil untung yang banyak, dan memiliki lokasi/perkampungan yang lebih makmur ketimbang masyarakat pribumi.

Kebencian ini berlanjut hingga saat era orde lama, dimana tahun 1959 terbit Peraturan daerah dengan nomor No.20/1959 yaitu tentang Peraturan Pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRC, yang ditetapkan berlaku mulai 20 Januari 1960 – 20 Januari 1962.

Setelah 2 tahun perjanjian berakhir, mulai terjadi tindakan “pengusiran” terhadap etnis Tionghoa dari daerah kecamatan dan Desa dengan dalih pelaksanaan PP No.10/1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota daerah tingkat 1 & 2 serta kerasidenan.

Dalam situasi demikian, pemerintah RRT mengirimkan kapal penumpang ke Indonesia dengan tujuan “membantu Huaqiao” kembali ke Tiongkok. Namun baru 4 trip (±40.000 jiwa) yang terangkut, sisanya ±100.000 KK tidak sempat terangkut.

Pada waktu G30S/PKI jutaan masyarakat Indonesia menjadi korban. PKI pada waktu itu dikaitkan dengan komunisme, dan semua yang diduga terlibat akan ditindak dan dikirim ke pulau buru.

Kesimpulannya : PKI = Komunisme = CINA

Pasca peristiwa tersebut, Soeharto yang akhirnya menjadi presiden Indonesia (membentuk pemerintahan orde baru) langsung mengambil langkah2 “mengamankan” sisa masyarakat Tionghoa dengan mengeluarkan berbagai aturan kebijakan & pelarangan; seperti :

• peng-Indonesiaaan nama dan marga,
• penutupan sekolah2 tionghoa sekolah (zhonghua xue xiao),
• pelarangan budaya tionghoa,
• tidak diizinkannya masyarakat tionghoa untuk menjadi abdi sipil PNS, apalagi militer,
• penerbitan buku panduan “pedoman penyelesaian masalah cina” setebal 500 lembar, dsb.

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta; tampak massa sedang menjarah barang2 yang berasal dari toko atau mall.

Baca juga : Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru

Selama kurun waktu tersebut, telah terjadi banyak perkawinan campur antara Pribumi dengan Non Pribumi. Pembauran budaya Tionghoa yang telah melebur ke dalam budaya lokal juga makin berkembang saat ini.

Hambatan2 kultural dari orang tua yang beraliran tradisional terhadap perkawinan seperti ini makin lemah. Gejala ini sebenarnya adalah tanda2 dari proses asimilasi dan integrasi yang telah berjalan baik, seperti yang diharapkan pemerintah Indonesia.

Setelah pemerintahan Gus Dur (tahun 2000an), penghargaan pemerintah dan masyarakat atas kultur budaya Tionghoa kembali membaik. Sejak dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2006, “sebenarnya” sudah tidak ada lagi istilah Non WNI, Non Pribumi, atau surat SKBRI. Semua sudah melebur, menjadi 1 : Warga Negara Indonesia.

Meskipun fakta di lapangan setahun terakhir tampaknya berbanding terbalik gara2 kasus politik Ahok, namun pada dasarnya masing2 pihak, baik Pribumi maupun masyarakat Tionghoa mulai berpikir kembali tentang kedudukan masing2 di negara ini, dan juga makin terlihat sikap saling menghargai.

Faktor2 apa saja yang sebenarnya menjadi penghambat integrasi etnis minoritas Tionghoa di Indonesia?
Apa solusi yang memungkinkan untuk mempercepat proses integrasi ini?

Coba lihat negara Singapore, atau Malaysia. Masyarakat lokal (melayu) bisa hidup rukun dan berdampingan dengan masyarakat pendatang dari Tiongkok. Bahkan disana tidak ada istilah meromanisasi nama/marga.

Bagi saya pribadi, merubah nama dan marga sama saja dipaksa untuk tidak mengakui leluhur sendiri! Suatu bentuk/cara untuk menghilangkan identitas/jati diri seseorang, dan dipaksa untuk mengadopsi budaya yang baru.

Namun kita tidak bisa membalikkan waktu sejak jaman VOC, Orde Lama, Orde Baru, hingga awal Orde Reformasi. Semua kebijakan/aturan telah dikeluarkan dan telah dieksekusi. Ibarat nasi yang telah jadi bubur, saat ini hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah terus melanjutkan hidup.

Anda tidak bisa lagi mengatakan, bagaimana cara mempercepat proses integrasi, karena menurut saya, pada dasarnya proses ini TELAH SELESAI. Kita semua telah benar2 melebur di negeri ini.

Generasi muda Tionghoa bahkan telah ikut mempelajari budaya lokal di sekolah2. Tidak ada hal yang tersisa, selain KEBUDAYAAN (itupun sebagian besar telah terjadi akulturasi dengan budaya lokal) dan CIRI FISIK yang masih melekat.

Kalau ada celutukan :

(1) “sebagian masyarakat Tionghoa itu bersifat eksklusif“, itu bisa jadi karena pengaruh lingkungan yang menyebabkan mereka menjadi/memiliki sifat2 seperti itu. Masyarakat lingkungan/lokal tidak menerima, dan cenderung mengintimidasi, sehingga mau tidak mau kita hanya berteman dengan sesama Tionghoa.

(2) Masyarakat Tionghoa hanya bingung cari uang, tidak mau berpartisipasi dalam masyarakat; sementara akses kita pada jaman orde baru pun juga sangat dibatasi. Kebudayaan tidak boleh ditampilkan depan publik, tidak boleh jadi PNS, tidak boleh masuk tentara, bahkan di bidang olahraga pun kita tidak dihargai.

Kalau pembaca pernah mendengar kasus Tong Sinfu, pelatih badminton Indonesia era 1990-an (coach Alan Budikusuma, Hendrawan cs) yang “pulang kampung” pada juni 1998, hanya gara2 dipersulit dalam mengurus surat keterangan Warga Negara Indonesia.

Bahkan ketika orde baru, saat mengurus paspor pun, tidak sedikit dari kita yang bermuka oriental disuruh petugas untuk menyanyikan lagu Indonesia raya, hanya untuk sekedar mengetes (atau mengerjai?).

Semua hal2 ini yang menjadikan, sehingga tampaknya satu2nya aktifitas yang diizinkan kepada kita adalah di bidang BISNIS.

(3) Bahkan ketika kita berhasil sukses di bidang bisnis pun, kita masih dicari2 kesalahannya; di cap sebagai konglomerat penghisap uang. Pada peristiwa Mei 1998 diperkirakan telah terjadi eksodus besar2an, masyarakat kita banyak yang lari keluar negeri untuk mencari perlindungan, terutama negara2 tetangga seperti Singapore dan Malaysia, Hongkong, dan USA.

Tempat usaha (RUKO), mall, kantor, bahkan bank yang dianggap milik “aseng” dibakar. Beredar statement yang beredar, kenapa perekonomian Indonesia sulit bangkit seperti semula (nilai dolar jatuh), adalah karena telah larinya sejumlah aset (uang) keluar negeri, ini tampaknya sebagian benar.

Baca juga : Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa

Hal2 inilah yang menyebabkan kita dianggap tidak nasionalisme, tidak cinta rupiah, tidak cinta tanah air, dsb

Ada api, ada asap. Selalu ada hal2 yang menjadi pemicu awal.

Yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah : Mengembalikan, Menjaga dan Menjamin hak-hak kelompok minoritas, termasuk masyarakat Tionghoa yang masih tersisa dan bertahan di Indonesia, agar kelak tidak lagi ditekan oleh oknum2 tertentu yang berkedok sebagai masyarakat mayoritas.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?