Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan

Dalam beberapa bulan terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya yang Ia anggap sebagai sebuah bentuk diskriminatif.

Siput Lokasari dan beberapa kawannya bertemu dengan Wakil Gubernur Yogyakarta (Foto : BBC.com pada Oktober 2016).

Siput Lokasari, mulai mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini agar membatalkan Surat Instruksi bernomor K.898/I/A-/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah (Gubernur) Istimewa Yogyakarta pada tahun 1975 lalu;

Surat tersebut berisi larangan yang menyatakan bahwa warga non-pribumi untuk memiliki tanah.

“Sudah era reformasi, kenapa masih ada diskriminasi ras? Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa sudah menjadi hak milik dipaksa untuk dirampas (dibeli dengan harga jual tanah), dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi hak sewa?

Orang Tionghoa ataupun orang India yang tinggal di Indonesia masih diangggap non pribumi… Kenapa sampai begitu?” kata Siput seperti yang dikutip dari BBC Indonesia.

Tanah yang dimaksud Siput adalah yang tanah dibeli istrinya di Kulon Progo seluas 1.000 m² sekitar 1,5 tahun lalu, dan sampai kini masih tidak bisa diubah menjadi hak milik atas namanya; karena seperti dikutipnya dari seorang pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat – “Istri bapak orang Cina”

Upaya untuk menuntut hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain termasuk oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, beberapa tahun lalu.

Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut ‘diskiriminatif’ itu.

1. Nonpribumi dan Pribumi?

“Seharusnya Yogyakarta yang terkenal sebagai salah satu daerah berbudaya di Indonesia telah menghapus kebijakan yang bernada diskriminasi seperti ini. Kebijakan diskriminasi pada akhirnya hanya akan menghambat pembangunan di daerah tersebut,” tulis Komnas HAM melalui situs tertanggal 23 September 2015.

“Urusan ini sudah panjang sekali. Kami melapor ke Komnas HAM sejak tahun 2009, dan Komnas HAM sudah mengeluarkan surat rekomendasi pada tahun 2014,” tambah Siput.

Siput juga bercerita tentang penduduk Yogyakarta lain, Handoko, yang menempuh gugatan uji materi ke Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, namun ditolak karena “Surat Instruksi pada 1975 itu bukan produk undang-undang.”

Surat Instruksi “SAKTI” Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.

Tetapi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN), Yogyakarta, Arie Yuriwin, mengatakan pihaknya tetap menjadikan putusan MA sebagai yurisprudensi.

Putusan MA atas gugatan para nonpribumi untuk memperoleh hak milik dimenangkan oleh pihak Keraton, sehingga keputusan MA kita jadikan sebagai yurisprudensi. Ketentuan Gubernur itu tetap berlaku di DIY,” kata Kepala Kantor Wilayah BPN Yogyakarta.

Arie juga mengatakan masalah ini sudah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI), dan pihaknya menunggu keputusan akhir. Siput dan rekan-rekannya sesama Tionghoa menyatakan masih akan terus berupaya untuk menghapus diskriminasi yang “tak terjadi di tempat lain” di Indonesia.

“Negara saya tidak lagi mengenal adanya istilah Warga Negara Pribumi dan Nonpribumi. Yang ada adalah warga Negara Indonesia. Kenapa kami masih dianggap nonpribumi disini (Yogyakarta)?”

2. Dua Alasan : Mengapa Nonpribumi Tidak Boleh Memiliki Tanah di Yogyakarta?

Ada 2 alasan mengapa WNI nonpribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di Yogyakarta.

Pertama alasan sejarah;
kedua karena ketakutan tanah dikuasai WNI nonpribumi.

2 alasan ini menjadi dasar keluarnya Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 yang tidak memperbolehkan WNI nonpribumi memiliki hak milik atas tanah.

Parampara Praja bidang pertanahan Pemda Yogyakarta, Suyitno menjelaskan bahwa surat instruksi itu sudah tepat. Dari aspek sejarah, memang sejak jaman Kesultanan Yogyakarta, pemberian tanah kepada seseorang ada aturannya.

Pada masa itu, Suyitno mengklaim bahwa tanah yang ada di Yogyakarta seluruhnya adalah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kesultanan dan Pakualaman kemudian memberikan tanah-tanah itu kepada warganya sesuai dengan kebutuhan dengan dasar hukum adat.

Dalam konteks penyelenggaraan hukum adat ini, Suyitno menganalogikan sekelompok masyarakat adat A dan B yang memiliki wilayah berbeda. Masing-masing memiliki aturan masing-masing.

Orang-orang dari masyarakat adat A diperbolehkan datang dan tinggal di wilayah masyarakat adat B. Namun, orang dari masyarakat adat A tidak lantas memiliki hak yang sama dengan orang asli masyarakat adat B.

Skema pemberlakuan hukum adat itu juga yang terjadi di wilayah Keraton Yogyakarta. Termasuk dalam hal kepemilikan tanah. Logika itu juga sebenarnya diterapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa hanya WNI saja yang boleh memiliki tanah di Indonesia.

“Dalam masyarakat adat, tidak mungkin ada orang dari masyarakat adat lain bisa punya hak yang sama. Itu dasarnya,” kata Suyitno seperti yang dikutip dari tirto.id.

Hukum adat itu, menurutnya sampai sekarang masih berlaku di Yogyakarta, meski sudah diberlakukan Undang Uundnag Pokok Agraria. Sebab, pemberlakuan UUPA di Yogyakarta masih sebatas pada hak-hak milik tanah warga masyarakat, bukan hak milik Keraton.

Selain sejarah, latar belakang dikeluarkannya instruksi 1975 itu karena dugaan dominasi kepemilikan tanah oleh warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta. Secara riil, Suyitno tidak bisa menunjukan data berapa jumlah warga keturunan Tionghoa yang menguasai tanah serta luasannya di Yogyakarta.

Secara kasat mata, dia berani bertaruh jika bangunan-bangunan di utara, selatan, timur dan barat Tugu Yogyakarta yang lokasinya sangat strategis adalah milik keturunan Tionghoa.

“Kalau ditanya data, saya tidak punya. Tapi faktanya, kita lihat saja. Mereka itu sebagian besar adalah ekonomi kuat. Kita bisa lihat bangunan-bangunan di sekitar Tugu, itu punya siapa?” ujar Suyitno.

Dia pun menganggap instruksi itu adalah hal yang wajar. Jika ada yang menyebut aturan itu diskriminatif, dia pun tidak menolaknya. Namun diskriminasi yang dilakukan ini bertujuan positif. Diskriminasi positif ini menurut diakui dalam perundang-undangan di Indonesia.

“Kan sekarang ini mereka itu yang ekonominya kuat, ada ketimpangan. Aturan ini dikeluarkan biar ada keseimbangan. Kalau dibilang nggak adil, justru kalau tidak diatur kan tidak adil.

Jika kondisi seimbang dan keadilan itu sudah setara, maka dia pun tidak keberatan jika instruksi itu dicabut. Sampai kapan? Ya sampai seimbang, kapan itu? Ya saya tidak tahu,” pungkas Suyitno.

Mengapa WNI nonpribumi tidak boleh memiliki tanah di Indonesia? (Ilustrasi : tirto.id)

3. Konsekuensi Yogyakarta Menjadi Bagian Dari Indonesia

Dua alasan yang dikemukakan Suyitno itu dianggap tidak mendasar oleh Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila. Menurutnya, dengan bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian dari Indonesia memiliki konsekuensi, yakni Yogyakarta harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku di Indonesia.

“Sultan HB IX pernah menyerahkan tanahnya ke Negara, pasca Undang-Undang Keistimewaan Sultan HB X yang menjabat justru mengatakan tidak ada tanah Negara di Yogyakarta,” kata Laila.

Hal serupa juga ditegaskan oleh anggota Komisi II DPR RI, Budiman Sujatmiko yang membidangi soal pertanahan di Indonesia. Menurutnya, apa pun latar belakangnya, surat instruksi tahun 1975 itu sudah bertentangan dengan Undang-Undang No.5 tentang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Karena itu sudah secara otomatis aturan itu tidak berlaku.

“Tidak boleh ada pembedaan seperti itu. Otomatis setelah UUPA diberlakukan, aturan itu tidak berlaku lagi. Setiap warga negara itu memiliki hak yang sama. Ini tidak benar,” ungkap Budiman.

Sementara itu terkait argumentasi diskriminasi positif itu, Komnas HAM pernah membahasnya dengan Pemerintah Daerah Yogyakarta. Dalam surat rekomendasi Komnas HAM yang ditujukan pada Gubernur Yogyakarta pada 11 Agustus 2014, jelas menegaskan bahwa alasan diskriminasi itu tidak dapat dibenarkan.

Menurut Komnas HAM, affirmative policy hanya bisa ditempuh guna melindungi kelompok2 sosial yang rentan, seperti anak-anak, perempuan, kaum lanjut usia, disabilitas, serta kelompok2 minoritas lainnya. Selain itu, pembatasan atau pengurangan hak asasi hanya bisa dilakukan dalam bentuk Undang-Undang, bukan surat instruksi.

Karena pada kenyataannya yang ekonomi kuat itu bukan cuma keturunan Tionghoa saja, ada juga keturunan Tionghoa yang miskin. Begitu juga warga asli, ada juga yang ekonomi kuat. Hari gini masih ada pembedaan kelompok pribumi dan nonpribumi, ini jelas pelanggaran HAM,” ujar Laila.

Pernyataan Laila diperkuat dengan keterangan Thomas Santoso, salah seorang pengurus Bakti Putra sebuah organisasi perkumpulan keturunan Tionghoa di Yogyakarta.

Menurutnya hingga saat ini di Yogyakarta masih ada sekitar 20 ribu sampai 30 ribu warga keturunan Tionghoa. Sementara jumlah total penduduk Yogyakarta mencapai 3,6 juta jiwa. Dari jumlah itu, rata-rata luasan tanah yang dimiliki satu keluarga warga keturunan Tionghoa itu hanya 200 meter persegi.

“Itu pun sebagian besarnya adalah HGB (Hak Guna Bangunan), bukan SHM (Surat Hak Milik). Karena memang ada aturan itu. Coba saja dibandingkan dengan jumlah penduduk asli, nggak sampai 5 persen kok,” kata Thomas.

Kalaupun ada etnis Tionghoa yang berhasil memiliki aset kepemilikan tanah di Yogyakarta, itu pasti menggunakan jasa perantara.

4. Instruksi VS Undang-Undang

A. Pada pasal 9 Undang-Undang No.5 tentang Pokok Agraria tahun 1960 berbunyi :

IHanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

II. Tiap-tiap Warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

B. Ditegaskan pula dalam Pasal 21 ayat (1) bahwa “hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.” Selain itu, Hak seseorang sebagai WNI juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana disebut dalam :

Pasal 27 ayat (1) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Sehingga, tidak boleh ada diskriminasi, karena kedudukan setiap warga negara adalah sama.

Pasal 28H ayat (4) bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

C. Siapa WNI itu ? Jika seseorang sudah merupakan WNI tapi non-pribumi, maka orang itu TETAP adalah WNI sepenuhnya. Mengenai siapa saja WNI itu, dapat dilihat pada UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dimana pada Pasal 4 menyebutkan, Warga Negara Indonesia adalah :

1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;

2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;

3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;

4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;

5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;

7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;

8. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;

9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak belas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

12. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;

13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Jadi, jika Anda termasuk salah satu dari yang disebutkan di atas, Anda adalah WNI sepenuhnya. Jadi sesuai ketentuan-ketentuan tersebut di atas, jika memang seseorang adalah WNI, seseorang tersebut berhak memiliki hak milik atas tanah di wilayah Yogyakarta.

D. Jadi mana yang lebih tinggi, Instruksi, ataukah beberapa UU yang telah disebutkan diatas?

Berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori, dimana peraturan yang lebih tinggi mengalahkan atau mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, maka sesuai hierarki peraturan perundang-undangan, tentu kedudukan Undang-undang lebih tinggi dari sekedar Instruksi Kepala Daerah.

Hierarki peraturan perundang-undangan ini juga dapat kita lihat dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan :

1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
4. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;
6. Peraturan Presiden;
7. Peraturan Daerah Provinsi; dan
8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jadi, kedudukan Undang-Undang Dasar JELAS lebih tinggi dari pada kedudukan Instruksi Gubernur/Kepala Daerah, dimana DAPAT DIANGGAP sudah tidak relevan lagi dan bertendensi diskriminatif.

Sesuai uraian di atas, seharusnya seorang WNI dapat memiliki hak milik atas tanah, tanpa memandang asal-usul suku dan RAS nya. Meskipun dalam praktiknya dimungkinkan adanya perbedaan dalam penerapan hukumnya (dikutip dari hukumonline.com).

Baca lanjutannyaDiskriminasi Etnis di Yogyakarta : Kenapa Keturunan Tionghoa Tidak Boleh Memiliki Tanah? (BAGIAN II)

Sumber Berita & Rerensi :

1. BBC Indonesia : ‘Diskriminasi ras’ di Yogyakarta: Kenapa keturunan Cina tak boleh punya tanah?
2. SKH Online Merdeka.com : BPN tegaskan WNI nonpribumi tidak berhak memiliki tanah di Yogya
3. SKH Online Merdeka.com : Menkum HAM kritik aturan nonpribumi dilarang punya tanah di Yogya

4. Tirto.id : Mengapa Nonpribumi Tak Boleh Punya Tanah di Yogya?
5. HukumOnline.com : Masalah Hak WNI Keturunan Tionghoa untuk Memiliki Tanah di Yogyakarta
6. Selamatkanbumi.com : Tanahmu bukanlah milikmu!

7.  SKH Online Tempo.co : DPR: Cabut Larangan Kepemilikan Tanah bagi Nonpribumi di DIY
8. HarianJogya.com : Warga Keturunan di DIY Minta Diskriminasi Kepemilikan Tanah Dihapus
9. Berbagai situs berita online terpercaya di Google lainnya, yang membahas mengenai masalah diskriminasi etnis Tionghoa di Jogyakarta mengenai kepemilikan tanah.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Diskriminasi Etnis Tionghoa di Yogyakarta; Kenapa Kami Tidak Boleh Memiliki Tanah?”
  1. Keraton Yogya jadi seperti negara didalam negara.
    Satu-satunya Prop di Indonesia yang tidak pernah ada pemilihan Gubernur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?