Last Updated on 25 February 2022 by Herman Tan Manado
Bagi pembaca yang sering membaca buku2 sastra Tiongkok klasik pasti tidak asing lagi, bahwa orang2 di jaman dulu menikah cepat sekali, di usia yang sangat dini. Umumnya, pria dan wanita menikah pada usia 13 atau 14 tahun.
Beberapa pria tua bahkan masih mengambil gadis berusia 13 atau 14 tahun sebagai selir/istri kesekian mereka.
Dalam novel terkenal yang ditulis Cao Xueqin, “Impian di Bilik Merah“, atau Dream of the Red Chamber, a.k.a Hongloumeng (紅樓夢), tokoh Jia Baoyu (贾宝玉) dan Lin Daiyu (林黛玉) diceritakan baru berusia 12 tahun saat pertama kali bertemu.
Keduanya bisa dibilang sedikit tergiur satu sama lain ketika bertemu. Sepertinya, penulis novelnya memiliki banyak gambaran tentang percintaan di usia dini.
Tapi menurut masyarakat saat ini, kedua tokoh ini masih dianggap anak2, atau remaja, yang masih terlalu dini untuk membicarakan cinta dan urusan pernikahan.
Jadi mengapa orang2 kuno dulu menikah begitu cepat?
1. Perkembangan fisik dan mental relatif lebih cepat, jadi umumnya usia perkawinan sekitar 12 atau 13 tahun.
Orang2 pada zaman dahulu mungkin telah menjadi dewasa lebih cepat, karena lingkungan tempat tinggal dan alasan2 lainnya, sehingga mereka umumnya menikah lebih awal. Umumnya mereka menikah pada usia 12 atau 13 tahun, dan memiliki anak pada usia 14 atau 15 tahun.
Pada jaman dulu, ketika wanita berusia 13 atau 14 tahun, ketika kapulaga berada di puncaknya, itu adalah saat2 di mana wanita paling mungkin untuk mengejar cinta mereka.
Ada sebuah puisi yang telah diturunkan sampai hari ini, yaitu, 窈跳淑女君子好逑 (Yao tiao shunu junzi hao qiu), yang kira2 berarti “Wanita peri dan pria sangat baik.
Wanita cantik di sini mengacu pada gadis kecil berusia 12 atau 13 tahun, dan tidak pernah mengacu pada gadis yang lebih tua di usia 20-an atau 30-an, apalagi 40-an, yang mungkin sudah dianggap nenek.
Oleh karena itu, penggambaran wanita cantik dalam puisinya oleh para sastrawan dan penyair kuno, sebagian besar mengacu pada wanita pada jaman ini, yang ketika itu lagi mekar2 nya, tentu membuat orang2 sangat rindu.
Konon beberapa penyair pernah memiliki pengalaman menikahi istri berusia 13 tahun, atau bahkan mencari pelacur di rumah2 bordil, terutama pada penyair2 Dinasti Tang.
2. Angka harapan hidup orang2 di jaman dulu kebanyakan hanya mencapai 40 tahunan, karena itu tidak mungkin untuk menikah di usia 20 atau 30 tahun.
Menurut data, angka harapan hidup orang2 Tiongkok kuno hanya di angka 40-an tahun. Jadi mereka menua lebih awal, terutama pada wanita2 yang sudah bekerja keras.
Usia 30 mungkin sudah dianggap paruh usia (paruh baya), dan mereka yang berhasil hidup lebih lama dianggap telah memasuki paruh kedua kehidupan mereka. Ini sangat jarang.
Bahkan ada pepatah umum, “Orang langka di usia tujuh puluhan.” Itu menunjukkan bahwa sangat sedikit orang di jaman dulu yang bisa mencapai usia kepala 7.
Oleh karena itu, mustahil bagi wanita untuk menikah sampai mereka berusia 20-an atau 30-an. Banyak wanita mungkin sudah “menjadi nenek” pada usia 30, misalnya pada tokoh Mijue Shidai (gurunya Zhou Ziruo), dalam film Heaven Sword and Dragon Sabre, a.k.a To Liong To.
Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan, mengapa laki-laki menikahi perempuan berusia 13 tahun sebagai istri, di saat2 kehidupan asmara sedang bergejolak.
Bagi orang2 dahulu, yang hanya memiliki usia harapan hidup rata2 di angka 40 tahun, usia 13 atau 14 tahun dianggap waktu terbaik (puncak) dalam hidup.
3. Di bawah aturan kuno Tiongkok, wanita harus memperhatikan 3 ketaatan dan 4 kebajikan, tetapi pria dapat memiliki 3 istri dan 4 selir!
Banyak pria berusia 70-an atau 80-an, mereka masih dapat menikahi gadis2 belia berusia 13 atau 14 tahun sebagai istri. Selama mereka punya uang, mereka dapat menikah sebanyak yang mereka inginkan, bahkan hingga 28 gadis! Itu normal di era itu.
Ada sebuah kiasan terkenal di jaman Dinasti Song, teman Su Dongpo, Zhang Xian, yang berusia lebih dari 80 tahun, menikahi seorang gadis berusia 18 tahun sebagai selir. Saat itu, dia tidak malu.
Penyair besar Su Shi bahkan menulis puisi yang bernada candaan, 十八新年八十郎,苍苍白发对红妆 (Shíbā xīnnián bāshí láng, cāngcāng bái fà duì hóngzhuāng), yang artinya kira2 “18 Tahun Baru dan 80 Lang, rambut pucat dan riasan merah. Bebek mandarin berada di malam ganda, dan bunga pir menempel begonia”.
Meskipun itu lelucon, itu jelas penggambaran sejati dari status pernikahan dan cinta gadis2 muda saat itu.
4. Sejarah Tiongkok kuno adalah sejarah perang. Karena perang, jumlah penduduk menurun, sehingga angka kelahiran perlu ditingkatkan.
Ketika mempelajari sejarah, kita semua tahu bahwa pertumbuhan penduduk yang positif (meningkat) digunakan sebagai kriteria untuk menentukan apakah orang2 dari suatu Dinasti hidup dan bekerja dengan baik.
Pada jaman2 perdinastian, kebanyakan penduduk sulit untuk berkembang, dikarenakan perang berkecamuk dimana2, sehingga kelaparan yang terus menerus terjadi. Akibatnya, populasi suatu negara menurun.
Pernikahan dini dan persalinan dini juga menjadi salah satu faktor peningkatan jumlah penduduk. Hal ini secara tidak langsung membuat masyarakat dan pemerintah pada saat itu, memilih untuk membiarkan (bahkan mendorong) anak perempuan mereka menikah lebih awal, untuk melahirkan generasi selanjutnya.
Jika terus seperti ini, sudah menjadi kebiasaan bagi anak perempuan untuk menikah lebih awal. Dalam sejarah Tiongkok kuno, hanya pada periode Kekaisaran Wu Zetian, ketika Putri Taiping menaikkan usia pernikahan wanita menjadi sekitar 20 tahun, hampir semua wanita dari era dinasti lain menikah di usia remaja.
Itulah alasan mengapa pria2 Tiongkok di jaman kuno “suka” menikahi seorang gadis berusia 13 atau 14 tahun sebagai istri mereka. Jadi bukan karena alasan pedofilia.