Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Mungkin banyak diantara kita orang Tionghoa yang masih kurang mengerti dengan makna kata “Cina” dan mengapa kata Cina itu sendiri tidak pantas untuk dipakai untuk menyebut kaum kita.

Kata “Cina” sendiri pada awalnya digunakan secara netral sampai dengan awal abad ke-20, namun kemudian karena sering digunakan untuk menghina dan memaki, akhirnya kata tersebut akhirnya mulai ditinggalkan. Beberapa contoh kalimat yang sering dijadikan umpatan misalnya “dasar orang cina lu!” atau “sini lu orang cina!” dan sebagainya.

Seiring dengan itu, gerakan kemerdekaan di Tiongkok mencapai puncaknya pada tahun 1911 dengan berdirinya Republik Tiongkok yang dalam bahasa Mandarin disebut “Zhong Hoa Ming Guo”. Kata Zhong Hoa dalam dialek Hokkian berubah menjadi Tionghoa.

Semangat gerakan ini menyebar ke orang-orang Tionghoa di Indonesia sehingga mereka mulai menyebut dirinya dengan kata Tionghoa, menggantikan kata “Cina”. Semangat kemerdekaan ini kemudian ditularkan kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Karena sama-sama merasa senasib, sama-sama berjuang melawan kekuasaan asing (Eropa), maka terciptalah kerja sama dan saling pengertian antara orang Tionghoa dan Indonesia.

Beberapa bentuk kerja sama tersebut di antaranya :

1. Lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, pertama kali dipublikasikan seara umum oleh harian Sin Po, harian milik golongan Tionghoa yang berorientasi ke negeri Tiongkok (Saat itu ada 3 golongan Tionghoa, yaitu : pro-Tiongkok, pro-Indonesia dan pro-Belanda).

2. Orang Belanda suka menggunakan kata ‘Inlander’ untuk menghina orang Indonesia. Kata ini sama dengan kata “Cina”, awalnya netral tapi kemudian berkonotasi negatif. Koran Sin Po-lah yang pertama kali mengambil inisiatif untuk mengganti kata “Inlander” dengan kata “Boemipoetra” yang lebih positif.

Sebagai wujud rasa terima kasih atas kedua hal ini dan terutama atas semangat kebangkitan nasional yang ditularkan orang Tionghoa kepada orang Indonesia, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia juga mulai meninggalkan kata “Cina” dan mulai menggunakan kata Tionghoa.

Dengan demikian penghilangan kata “Cina” dan menggantinya dengan kata Tionghoa memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Inilah salah satu bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia. Inilah juga yang membuktikan adanya kerja sama dan saling pengertian yang harmonis antara orang Tionghoa dan Indonesia di jaman pra-kemerdekaan.

1. Dari Mana Asal Muasal Kata Cina dan Tionghoa?

Kata Cina sendiri diperkirakan berasal dari serapan bahasa Barat untuk menyebut Negara Qin.

Pada era Reunifikasi Tiongkok, Negara Qin menyatukan seluruh Tiongkok Daratan dalam satu aturan, satu ukuran, satu bahasa, dan satu tulisan (The Qin Writing); yang kemudian menjadi dasar bagi aksara Tiongkok hingga sekarang. Besar kemungkinan dari nama tulisan inilah kata “Cina” diserap.

Oleh orang Arab, Qin disebut sebagai “Shiin”, kemungkinan besar ini lalu diparafrasekan menjadi “Sino”, dari sini (mungkin) nama “Sino” lalu dibawa ke Eropa dan diserap dalam Dialek Germanic “Chine”, yang pada akhirnya lalu oleh orang Inggris menjadi “China” (ini karena sebagian bahasa Inggris terpengaruh juga oleh serapan dari bahasa Perancis selain dari Induk Bahasa Germanic).

Teori Pertama, ketika Napoleon Bonaparte menguasai Eropa (termasuk Belanda), mungkin juga kata ini masuk ke Belanda yang lalu membawanya ke Indonesia.

Teori kedua adalah bahwa kata “Cina” berasal dari bahasa Portugis “Cino” (kemungkinan besar terpengaruh dialek Perancis) yang lalu terbawa ke Melayu.

Teori ketiga adalah bahwa dari Arab, kata “Shiin” dibawa ke Nusantara yang lalu diadopsi menjadi “Cina”. Yang pasti adalah bahwa kata yang baku dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah “CINA” bukan “CHINA”.

Ini karena dalam Aksara Jawa, tidak dikenal “CH” dan sebutan “ai” untuk “i”. Mengenai dari bahasa mana sampai dikenal Cina, kemungkinan besar adalah dari Bahasa Jawa, tapi “CHINA” adalah EJAAN YANG HANYA DIKENAL DALAM BAHASA INGGRIS (padahal Inggris baru masuk ke Indonesia tahun 1805).

Bahasa Jerman sebagai induk bahasa Inggris hanya mengenal “China”(dibaca: Cina).

Tiongkok berasal dari kata 中国 (pinyin : Zhong Guo) yang berarti Negara Pusat atau Dataran Pusat. Sementara Tionghoa berasal dari kata 中华(pinyin : Zhong Hua) yang berarti Segala sesuatu mengenai Dataran Pusat.

Tiongkok dipakai untuk menyebut seluruh wilayah nasional Cina Daratan, sementara Tionghoa menunjukkan hal kebangsaan. Menyebut “Tiongkok dan Tionghoa” sama saja seperti menyebut “Great Britain dan British”. Oleh karena itu, kita tidak menyebut “Negara Tionghoa” melainkan “Negara Tiongkok”, juga tidak menyebut “Bahasa Tiongkok” tapi “Bahasa Tionghoa”.

2. Lalu bagaimana kata Tionghoa berubah kembali menjadi kata Cina?

Dulu waktu zaman penjajahan Belanda, mereka memanggil orang-orang yang datang dari Tiongkok dengan sebutan chineesen, dan kampungnya dinamakan “chineesen wijk”.

Saat zaman penjajahan Jepang sebutan itu diganti dengan “Tjina” (ejaan baru : CINA). Penggunaan kata CINA ini merujuk ke semua hal yang berhubungan dengan Tiongkok daratan.

Pada masa penjajahan Jepang, istilah CINA digunakan oleh Jepang karena kata itu bermakna ‘daerah ujung’ atau ‘daerah pinggiran’ alias ‘orang udik’.

Dengan arti yang demikian, sebutan CINA untuk penduduk Tiongkok yang tinggal di Indonesia oleh Jepang pada waktu itu tentu dimaksudkan sebagai sebuah ejekan atau makian yang bernada merendahkan.

Pada zaman Orde Lama (setelah merdeka pada tahun 1945), kata yang selalu digunakan adalah Tionghoa; bahkan koran dan tokoh yang anti Tionghoa pada saat itu juga menggunakan kata Tionghoa untuk merujuk pada orang-orang Tiongkok yang tinggal di Indonesia. Hal ini berlangsung baik sampai semua itu berubah ketika terjadi peristiwa G30/S.

Tanggal 25-31 Agustus 1966 (di awal rejim orde baru) berlangsung seminar Angkatan Darat di Bandung yang bertujuan untuk membahas peran Angkatan Darat. Entah dari mana, tiba-tiba mereka membahas dan memutuskan untuk mengganti kata Tionghoa/Tiongkok dengan kata “Cina”.

Pada tanggal 25 Juni 1967 keluarlah keputusan presidium kabinet untuk membuang kata Tionghoa/Tiongkok dan menggantinya dengan kata “Cina”. Dan keputusan ini didukung oleh segelintir Tionghoa (yang maaf, tidak tahu malu) yang tergabung di dalam LPKB (K. Shindunata dkk).

Sebenarnya ini suatu keganjilan besar. Bagaimana mungkin suatu seminar yang tidak ada hubungannya dengan soal Tionghoa mengambil suatu keputusan menghilangkan kata Tionghoa (Angkatan Darat seharusnya mengurus masalah pertahanan negara, bukan masalah penyebutan kata)?

Bagaimana mungkin penghilangan suatu kata saja harus ditetapkan melalui keputusan presidium kabinet? Jelas sekali bahwa keputusan ini rasis dan bermotif politik yang bertujuan mendiskriminasi golongan Tionghoa. Dengan demikian jelas bahwa kata “Cina” sengaja dihidupkan kembali dengan tujuan yang tidak baik.

Sejak saat itu, semua media massa mulai menggunakan kembali kata “Cina” dan meninggalkan kata Tionghoa. Hanya ada satu koran yang tetap bertahan menggunakan kata Tionghoa, yaitu Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis.

Akibatnya bisa kita rasakan sampai sekarang terutama di kalangan generasi muda Tionghoa. Mereka (atau bahkan kita sendiri) tidak terlalu peduli lagi, bahkan sama sekali tidak mengetahui kenyataan sejarah dan makna yang sangat penting di balik penggantian kata “Cina” menjadi Tionghoa.

Bahkan banyak yang tidak tahu menahu mengenai kata Tionghoa, yang mereka tahu hanya “Cina” dan menggunakannya tanpa merasa berdosa sama sekali.

3. Jadi mengapa kata Cina tidak pantas digunakan?

Sebagian orang mengatakan karena kata itu mengandung unsur penghinaan. Memang betul bahwa kata itu mengandung penghinaan. Namun itu tidak berarti bahwa kita harus terhina dan tidak perlu membuat kita terhina/tersinggung.

Orang yang menyebut kata “Cina” pun kadang ada yang tidak berniat/bermaksud menghina dengan menggunakan kata “Cina” itu sendiri, mungkin karena pengaruh kebiasaan mendengarkan dari orang lain atau kepeleset omongannya saja.

Namun ada satu alasan yang sangat kuat, yaitu fakta sejarah seperti diuraikan di atas tadi. Penghilangan kata “Cina” dan penggunaan kata Tionghoa adalah bukti bahwa orang Tionghoa ikut berjuang untuk Indonesia dan adanya kerja sama yang baik dan harmonis antara tokoh pejuang Tionghoa dan Indonesia.

Jika kata “Cina” dipakai, artinya sama saja kita dengan orang asing yang hanya datang di Indonesia untuk berdagang dan mencari kekayaan disini, bahkan mirip penjajah kompeni zaman dulu.

Juga jelas penggunaan kembali kata “Cina” di jaman orde baru memiliki motif diskriminasi dan penghinaan. Dengan demikian apabila kita masih saja menggunakan kata ‘”Cina”, sama saja artinya kita mengubur fakta sejarah. Sama saja artinya kita tidak menghargai kesepakatan yang diraih oleh para pahlawan kita.

Sama saja artinya kita menodai perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia baik itu orang Tionghoa maupun Indonesia. Sama saja artinya kita mewarisi kebijakan rejim orde baru yang rasis dan diskriminatif.

Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang merhargai para pahlawannya. Saya yakin ini termasuk artinya kita meneruskan perjuangan mereka dan menghargai segala jerih payah mereka.

Penghilangan kata “Cina” adalah hasil jerih payah pejuang Tionghoa dan kesepakatan dengan tokoh pejuang Indonesia. Kalau kita tidak bisa menghargainya (atau dengan kata lain kalau saja masih memakai kata Cina), berarti kita bukanlah bangsa yang besar.

Dengan demikian, orang Tionghoa yang sudah mengerti fakta sejarah ini tetapi masih saja menggunakan kata “Cina” bukanlah orang yang besar!

Setelah mengetahui fakta sejarah ini, diharapkan agar kita semua mulai meninggalkan kata “Cina” ini. Perlu diperhatikan juga, masih banyak orang Tionghoa yang menggunakan kata-kata yang tidak pantas untuk menyebut orang Indonesia sendiri, misalnya “Hoa Na” atau “Fan Kui”.

Kebiasaan jelek ini juga harus kita tinggalkan. Mari kita sama-sama saling menghargai satu sama lain, karena di Indonesia itu Negara dengan berbagai suku, agama, kebudayaan dan ras.

Jika tidak mampu saling menghargai dan menghormati, silahkan angkat kaki pindah atau cari Negara lain yang mungkin sesuai dengan sikap anda masing-masing.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

9 thoughts on “Penggunaan Kata Cina Tidak Pantas Dipakai”
  1. Orang keturunan etnis jga manusia yg makan nasi..knp org pribumi benci?
    salah apa orang etnis pda kalian org pribumi? Bolehkah kalian pribumi yg ngaku hamba allah menghina org lain? Apa diajarin klo liat org etnis teriakin cina doggy,cina babi,cina bakpao,cina loreng,masih byk lg! Cba gantian klo org etnis triakin pribumi doggy,pribumi .dll pasti lgsg bawa org2nya seRT RW.lucu..tinggal dinegri sendiri tpi diperlakukan gak adil.

    1. Hi, I feel you. Saya ingat waktu kecil saat baru pindah ke daerah dekat “Warung Cina” di kebayoran baru, saya dan kakak2 saya dipanggil “Cina loreng” krn tampilan kami, terutama 2 kakak perempuan saya penampilannya Tionghoa banget spt nenek dari alm ayah saya.

      Tapi setelah bertemu ibu saya mereka stop memanggil kami Cina Loreng. Sampai sekarang saya ngga ngerti arti kata Cina Loreng

  2. pendapat saya pribadi tidak masalah kata cina, karena di seluruh dunia untuk ras china memang disebut dengan china ( cina dlm bahasa Indonesia )jadi kalau orang menyebut kita dengan kata hai cina so what memang kita cina kan.

  3. Pantes ya. Dulu waktu les di tempat orang2 tionghoa. Aku pernah nyebut mereka cina waktu nanyain sesuatu tapi lupa. Terus kata yang ngajarin. Bukan cina dinda. Tapi tionghoa. Dulu sempat ga ngerti apa beda nya. Karna masi smp. Sekarang udah bayak tau. Soal nya dari kecil udah sekolah di sekolah orang2 tionghoa. Bergaul juga. Maka nya saya pribadi dari dulu udah ga asing lagidengan mereka. Malah nyaman temenan sama mereka. Mereka sih welcome aj dengan saya. Saya pun begitu. Saya sangat ga seuju kalau ada permusuhan. Saling ejek. Diskriminatif dll. Karna kita semua sama. Tapi tolong jg buat para tenlang. Jangan merendahkan pribumi. Dan jangan pernah bilang ga peduli dengan indonesia. Karna saya pernah dengar orang tionghoa ngomong. Saya ga bangga jadi orang indo. Sangat saya sesali.

    1. Halo Dinda, memang tidak bisa dipungkiri sebagian dari orang Tionghoa memang juga ada yang modelnya seperti itu. Tapi menurut saya pribadi itu hanya segelintir orang saja yang merasa tidak puas dengan negara ini, atau mungkin karena pengalaman pribadi yang tidak mengenakkan, sehingga men-judge secara keseluruhan.

  4. awalnya saya juga suka nyebut cina, karena buku pelajaran sekolah bilang gitu, keluarga, teman2 dan media juga bilang gitu, mungkin masih sulit mengubah apa yang sudah paten di masyarakat. yah tp tak ada slah nya dicoba dr kita, minimal ngajarin anak2 kita

  5. Dear Pak Dedi Lim & Pak Herman Tan, artikel ini bagus sih, tapi kurang berimbang.. Seringkali yang terjadi di sekitar kita justru orang2 Tionghoa-lah yang bersikap eksklusif/ tidak mau bergaul/ acuh tak acuh dgn org pribumi.. Mrk suka berkumpul sesamanya sukunya sj.. Bagaimana ini? Bukankah ini bentuk rasisme dari suku Anda sendiri??

    1. Memang benar ada sebagian orang Tionghoa yang menjaga ke-eksklusifan nya. Tapi perlu anda sadari juga sebagian dari mereka mengalami trauma hebat di masa lalu, baik pada tahun 1965 dan 1998; dan anda tidak berhak melarang mereka untuk itu. Sementara ada sebagian lagi dari kaum pribumi juga tidak menerima kehadiran orang-orang Tionghoa ini, dimana mereka di cuek, di sisihkan, dan hanya dicari apabila mau ada perlu uang. Itulah realitanya.

      1. Benar sekali kata Pak Herman. Sampai sekarang pun masih begitu.. Dipublikasikan sih udah dihapuskan adanya istilah menganak tirikan orang keturunan Tionghoa, tapi kenyataan di lapangan kalo ngurus dokumen di kantor sering ketemu perlakuan tidak adil. kalo orang tionghoa urus dokumen atau permasalahan di kantor pemerintahan semuanya harus diselesaikan dengan uang-uang-uang, kl orang pribumi cenderung sesuai prosedur dan waktu yang diperlukan singkat.

Leave a Reply to atutayom Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?