Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Indonesia dan keturunan China, atau yang biasa sekarang dikenal sebagai etnis Tionghoa, mempunyai sejarah yang cukup panjang, bahkan kalau kita perhatikan sebenarnya lebih panjang daripada masa penjajahan Indonesia oleh Belanda.

Bangsa China terlebih dahulu sudah melakukan kontak dengan bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia jatuh ke tangan penjajahan Belanda.

Walaupun tidak dalam skala besar, perdagangan antara bangsa China dan Indonesia berlangsung lancar dan tanpa hambatan yang berarti.  Tidak jarang perjalanan yang jauh dari China ke Indonesia, membuat beberapa pedagang China untuk tinggal di Indonesia dalam suatu kurun waktu, dan mendirikan komunitas kecil di Indonesia.

Kebanyakan dari orang China yang datang pada awal periode ini adalah kaum pria. Dari sini ada kemungkinan beberapa pedagang China kemudian menikah dengan wanita Indonesia setempat, dan melahirkan peranakan Tionghoa.

Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia sedikit banyak mengubah pola bermasyarakat etnis China dan orang lokal setempat. Etnis China, yang dikategorikan sebagai foreign orientals sama seperti bangsa Arab, dan India di Indonesia, ditunjuk untuk menjadi middlemen atau orang tengah untuk mengurus pajak tanah, mengawasi kerja orang-orang pribumi di perkebunan, dll.

Alasan kenapa bangsa Belanda menunjuk etnis China sebagai ‘orang tengah’ ini bisa dibilang cukup kompleks.

Di satu sisi, bangsa Belanda sendiri tidak terlalu menyukai etnis China di Indonesia, etnis China dianggap selalu mau mencari keuntungan dan licik, tapi di sisi lain bangsa Belanda memerlukan mereka untuk menjadi penengah di antara mereka dan masyrakat lokal.

Bangsa penjajah tidak terbiasa untuk kerja di bawah terik matahari negara tropis. Hal ini jugalah yang membuat imigrasi besar-besaran terjadi di beberapa negara di Asia Tenggara.

Imigrasi besar-besaran dari China yang terjadi di abad 19 menjadi bukti betapa tenaga kerja China ini dibutuhkan oleh bangsa-bangsa kolonial yang ada di berbagai negara di Asia Tenggara.

Beberapa imigran dari China ini dibawa secara paksa, dan beberapa secara sukarela. Mereka yang dipaksa ini dibawa menjadi pekerja kasar di negara lain.

Beberapa sumber mengatakan mereka dibuat mabuk terlebih dahulu untuk menandatangani surat perjanjian kontrak kerja.

Sementara mereka yang secara ‘sadar’ mendaftarkan diri ini keluar dari China karena berbagai alasan, ekonomi, kelaparan yang melanda China, dan penjajahan yang terjadi di China setelah dibukanya beberapa pelabuhan di China untuk pertama kali berdasarkan perjanjian dengan bangsa dari Barat.

Dengan sistem Devide et impera, bangsa Belanda berhasil menanamkan rasa perpecahan di antara etnis China, dan penduduk asli Indonesia. Pada saat itu, pernikahan campur antara etnis China dan masyarakat lokal Indonesia tidak begitu digalakkan seperti halnya di Filpina oleh bangsa Spanyol.

Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan lama. Dan stigma serta prasangka dan stereotype atas satu sama lain sudah terbentuk sejak berabad-abad lamanya.

Tak heran jika ketika, bangsa penjajah meninggalkan Indonesia, etnis China tetap sulit untuk menjadi ‘satu’ bagian dengan masyarakat Indonesia. Adanya campur tangan negara China atas ‘rakyatnya’ di Indonesia mempersulit asimilasi etnis ini.

Kondisi ekonomi Indonesia yang mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa, memperkeruh situasi. Walaupun etnis Tionghoa hanya sekitar 3% dari keseluruhan bangsa Indonesia, mereka diyakini memiliki kehidupan ekonomi di atas, atau jauh di atas rata-rata masyarakat asli Indonesia.

Semasa pemerintahan Presiden Soeharto, asimilasi ini semakin digencarkan. Dengan berbagai macam undang-undang dan peraturan yang terkesan mempercepat laju ‘asimilasi’ ini sebenarnya terdapat suatu tujuan untuk menghilangkan identitas etnis Tionghoa.

Dari mulai pergantian nama menjadi nama Indonesia, hingga ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di Indonesia.

Hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan falsafah bangsa Indoensia sendiri, yang mana menekankan “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi tetap satu jua). Apa sebenarnya yang membuat etnis Tionghoa disebut-sebut sebagai ‘Masalah China’?

Kalau kita pikirkan, bukankah ada juga etnis dan suku bangsa yang lain juga di Indonesia ini?

Seiring dengan laju zaman, pemerintahan Orde Baru berjaya selama lebih dari 30 tahun. Banyak keturunan etnis Tionghoa yang lahir pada masa Orde Baru ini kemudian tidak lagi bernama China, dan berbahasa China. Bisa dikatakan Orde Baru sudah berhasil menghapus pilar-pilar budaya etnis Tionghoa.

Selepas kejayaan Orde Baru, bangsa Indonesia memasuki zaman reformasi dimana kebudayaan Tionghoa kembali diangkat. Imlek dirayakan sebagai hari libur nasional dengan lampion merah dan barongsai-barongsai.

Sekolah-sekolah sudah diperbolehkan untuk mengajarkan bahasa Mandarin, stasiun TV menyiarkan berita dalam bahasa Mandarin, hingga pemakaian nama Indonesia tidak lagi menjadi harga mati.

Lalu sekarang apa?

Saya ingat ketika salah seorang dosen saya di China, menanyakan kepada saya tentang Chineseness di Indonesia. Apa yang dilakukan etnis Tionghoa di Indonesia untuk memperoleh kembali lagi jati diri mereka? Jawaban dari pertanyaan ini tidaklah mudah.

Kalau kita lihat sekarang, etnis Tionghoa masa kini tidak pernah lagi melihat diri mereka sebagai orang China asli. Mereka sudah sadar kalau mereka adalah warga negara Indonesia.

Jikalau mereka masih berbicara dalam dialek atau bahasa Mandarin, itu tidak berarti serta merta mereka tidak nasionalis, dan tidak cinta negara Indonesia.

Bukankah seorang Batak, Jawa, atau Sunda yang berbicara dalam bahasa mereka sendiri tidak pernah dicap tidak nasionalis? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menerima dan bangga atas kekayaan negaranya sendiri.

By Silvia Yang

A happy-go-lucky soul, an Indonesian happening to live in China now, a Master student doing thesis, a food enthusiast, an crime fiction addict, a Christian by grace! Nice to meet you :)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?