Last Updated on 30 June 2022 by Herman Tan Manado

Bagaimana membedakan seseorang itu Tionghoa Totok atau sudah Tionghoa Peranakan (babah, nyonya)? Ada yang berpendapat, bahwa Cina Totok adalah mereka yang lahir di Tiongkok, sedangkan yang Cina Peranakan adalah mereka yang telah lahir di sini.

Di samping itu ada juga yang berpatokan pada bahasa (budaya) sebagai ukuran untuk membedakan seseorang totok atau peranakan; yakni yang masih berbahasa Tionghoa (termasuk dialek) dikelompokkan sebagai tionghoa atau cina TOTOK, sementara yang sudah tidak berbahasa Tionghoa digolongkan sebagai tionghoa PERANAKAN.

Selain itu, ada juga yang berpandangan bahwa mereka yang masih menjalankan tradisi Tionghoa tergolong sebagai cina TOTOK, sebaliknya yang sudah meninggalkan tradisi Tionghoa dianggap sebagai PERANAKAN.

Namun, semua ukuran diatas ternyata ambigu juga, karena bahasa Tionghoa yang digunakan sehari-hari sudah banyak tercampur dengan kosakata lokal/asing.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hen Yung, bahwa walau masih berbahasa Tionghoa, namun masyarakat Tionghoa di Melaka (Malaysia) menggunakan sapaan kekerabatan seperti auntie dan uncle dalam kesehariannya.

Begitu pula dengan masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, walau berbahasa hakka (khek) dan tio ciu, namun dalam percakapan sehari-hari mereka sering terselip kata-kata seperti “tak kan” (tidak akan), “sabun” (soap), dan sebagainya.

Demikian halnya dengan tradisi dan budaya, yang disinyalir sebagai tradisi Tionghoa, ternyata tidak 100% murni Tionghoa, karena sebagian besar sudah ter-akulturasi dengan budaya dan tradisi setempat.

Contohnya seperti upacara perkawinan Chio Tau, musik gambang kromong, masakan dan penganan khas, pakaian, serta lain sebagainya.

Namun dalam keseharian, sering terdengar juga dialog seperti :

“Si A itu biarpun kedua orang-tuanya masih “impor”, tapi sepertinya masih kurang totok dibanding sama si B yang punya nenek pribumi. Buktinya dia sudah tidak mau thiam hio (pasang dupa) lagi di rumah. Sedangkan si B biarpun sudah darah campuran (kawin campur), namun masih rajin ke kelenteng”.

Atau ada juga celetukan, “Walaupun bisa bahasa mandarin, tapi si C sepertinya masih kalah totok sama si D, yang walaupun tak bisa mandarin namun masih menjalankan tradisi Tionghoa”.

Contoh lainnya adalah “Tionghoa Indonesia masih kalah totok ketimbang Tionghoa Malaysia”, atau “Tionghoa Medan masih lebih totok daripada Tionghoa Jawa”.

Nah, istilah-istilah “kurang totok” dan “kalah totok” dalam dialog di atas menunjukkan bahwa paradigma “TOTOK” dan “PERANAKAN” masih menjadi sebuah pembicaraan di kalangan masyarakat Tionghoa itu sendiri.

Lantas apa yang dijadikan tolak ukur untuk menilai “kecinaan” seseorang seperti di atas?

Sekali lagi, tolak ukurnya adalah budaya, yang di dalamnya termasuk bahasa, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Tapi bukan cuma itu, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, kalau ukurannya adalah bahasa, maka bisa-bisa mereka yang tidak berdarah Tionghoa namun fasih berbahasa Mandarin “bisa dianggap” lebih totok daripada yang masih berdarah Tionghoa, namun karena suatu alasan sebab tertentu, tidak lagi berbudaya dan berbahasa Tionghoa?

Ingat! Beberapa ahli sejarah Tionghoa menganggap Generasi Tionghoa Indonesia kelahiran awal 1970-an s/d awal 1990-an, dianggap sebagai lost generation, atau hidup pada jaman dark era, karena tekanan era Orde Baru yang begitu hebatnya, dimana pelarangan segala macam budaya, bahasa, hingga kepercayaan untuk ditampilan di tempat umum.

Jangan heran, jika sebagian besar keturunan orang Tionghoa di masa (orde baru) itu :

1. Tidak bisa berbahasa mandarin. Sekolah-sekolah Cina ditutup. Anak-anak warga keturunan terpaksa berhenti sekolah dan bekerja di toko kelontong milik orang tuanya, alih-alih melanjutkan sekolah di sekolah pribumi/milik pemerintah, atau sekolah di luar negeri (bagi yang punya uang).

Baca jugaG30S/PKI 1965; Apa Efeknya Bagi Tionghoa di Indonesia?

2. Tidak memiliki nama cina, atau kehilangan nama tengah (nama generasi). Bagi pembaca yang masih memiliki nama cina, jangan bangga karena merasa cina banget!

Karena nama cina itu bisa jadi diberikan orang tuamu secara sembunyi-sembunyi. Siapa yang berani menggunakan nama cina terang-terangan saat orde baru? Apalagi tinggal di Jawa? Anda bisa diangkut militer, atau dipersulit dalam pengurusan surat-surat.

Yang masih “selamat”, kebanyakan berdomisili di kantong-kantong tionghoa di luar Jawa, seperti di medan, riau, kalimantan, makasar dan tarnate.

Baca jugaPemberian Nama Tionghoa dan Nama Generasi Pada Anak

3. Berganti kepercayaan menjadi kristen / khatolik. FAKTA : semenjak sekolah Tionghoa ditutup, sebagian besar orang Tionghoa lebih memilih untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta berbasis agama barat, ketimbang di sekolah negeri.

Baca juga : Inilah alasan kenapa makin menurunnya pemeluk agama Tionghoa di Indonesia!

4. Tidak bisa melamar pekerjaan di pemerintahan, seperti menjadi PNS, Polisi, atau Militer. Itulah salah satu alasan kenapa etnis Tionghoa menguasai perekonomian di negeri ini. Statement ini bahkan sempat dikeluarkan oleh Prabowo Subianto, yang 3x mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia.

Dalam statementnya, dia berpendapat, Karena Indonesia dikuasai para CUKONG CINA! Dimana 80% tanah & aset dikuasai 1% rakyatnya; dan sebagian besar kekayaan kita diambil keluar negeri, tidak tinggal di Indonesia lagi.

Baca jugaBenarkah Krisis Moneter di Indonesia Ada Hubungannya Dengan Para Naga?

Ada sebuah teori yang menerangkan bahwa etnisitas seseorang ditentukan oleh 4 faktor, yakni BIOLOGIS, KULTURAL, SELF IDENTIFICATION dan ACCEPTABILITY.

1. BIOLOGIS : Faktor utama yang menentukan etnis seseorang adalah dari etnis orang tuanya. Jika lahir dari orang tua china perantauan, maka anak-anaknya sudah pasti akan mewarisi status kecinaan tersebut.

2. KULTURAL :Faktor lain yang tak kalah pentingnya, seseorang di kategorikan ke dalam sebuah kelompok etnis adalah seberapa banyak warisan budaya leluhur yang terintegrasi ke dalam jiwanya.

Ini harus dibedakan dengan mereka yang non Tionghoa, tetapi lewat jalur belajar, seperti mampu menguasai budaya dan fasih berbahasa Tionghoa, namun belum tentu menjiwai dan melaksanakan warisan tradisi leluhur Tionghoa tersebut dalam keseharian.

3. SELF IDENTIFICATION : Faktor ini juga tak kalah pentingnya untuk menentukan etnisitas seseorang. Faktor ini erat kaitannya dengan faktor kultural di atas.

Semakin banyak warisan budaya leluhur Tionghoa yang terserap di dalam dirinya, semakin kuat kehendaknya untuk mengidentifikasikan diri sebagai orang Tionghoa, yang merupakan sebuah loyalitas sosial yang disatukan lewat memori kolektif tentang budaya, tradisi, serta pola sosial mereka.

4. ACCEPTABILITY : Seberapa tinggi akseptabilitas (tingkat penerimaan) kelompok etnis kepada seseorang juga merupakan salah satu faktor penentu etnisitas.

Baca juga : Kapan Kecinaan Akan Berhenti?

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

2 thoughts on “4 Faktor Ukuran Kecinaan Seseorang”
  1. Ckckck kasihan sekali orang cyna di tanah indonesia saat tahun orde baru. Sudah dilarang menampilkan budaya, dilarang menggunakan nama dengan marga, gak bisa kerja di bidang pemerintahan,
    malah dituduh pki pula sampe saat ini. Siapa ya dalangnya yg menuduh cyna itu pki?

  2. Yang sudah kristen sebagian besar biasanya sudah melepas status kecinaannya. Mereka malah balik menyerang orang2 cina perantauan yang masih beragama leluhur. Bagi mereka, mereka yg masih beragama leluhur dianggap kolot.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?