Last Updated on 30 September 2021 by Herman Tan Manado
Setiap tahunnya, tanggal 30 September diperingati sebagai hari G30/SPKI, atau menurut versi Soekarno, Gestok/Gestapu. Tapi mimin tidak mau bicara tentang partai Komunismenya. Takut nanti diangkut.
Tampak pada foto ilustrasi, Sejumlah warga etnis Tionghoa dicegat tentara karena diduga merupakan simpatisan PKI pada bulan-bulan terakhir tahun 1965.
Mimin bahas saja efek/akibat pasca kejadian tersebut pada etnis Tionghoa yang ada di Indonesia :
• Tahun 1967 : Diterbitkan SE No. 6/Perskab/6/67 yang menyatakan masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia.
• Tahun 1967 : Adanya PP No. 14/1967, melarang kegiatan keagamaan, kepercayaan, adat Cina di Indonesia.
• Tahun 1978 : Penggunaan Bahasa Mandarin dilarang sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/KP/XII/1978. Gerak gerik masyarakat Tionghoa juga diawasi oleh BMKC.
• Tahun 1988 : Dikeluarkan Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988 yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, dan memperbarui klenteng (tempat ibadah etnis Tionghoa).
• Tahun 1988 : Dikeluarkan SE 02/SE/Diten/PPG/1988 yang melarang penerbitan, percetakan tulisan dengan aksara dan bahasa Mandarin di depan umum.
Baca juga : Tahukah Kamu : Timeline Etnis Tionghoa di Indonesia
Buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” setebal 1500 halaman. Buku ini terdiri dari 3 jilid mengenai Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, yang diterbitkan oleh BAKIN Badan Koordinasi Intelijen Negara tahun 1979.
Di halaman dalam bukunya, bagian kanan atas tertulis “Terbatas Hanya Untuk Pejabat”.
Ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia pun pecah setelah peristiwa G30S/PKI. Sebagai akibat dari peristiwa itu, pada masa orde baru tercatat keluar 8 buah produk perundang-undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :
1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina.
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina.
3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina.
4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina.
5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng.
6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tentang Badan Koordinasi Masalah Cina.
7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina.
8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/DI tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.
Baca juga : Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
♦ Salah satu efek yang paling terasa adalah soal “KEBIJAKAN” Ganti Nama!
1. Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, WNI keturunan Tionghoa dianjurkan untuk meng-indonesiakan nama Tionghoa mereka; dalam arti mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim.
2. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena meningkatnya ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI.
3. Namun sebenarnya kebijakan ini TIDAK DIHARUSKAN, karena tidak pernah ditetapkan secara tertulis dalam produk perundang-undangan dan peraturan yang bersifat mengikat.
4. Namun pada waktu itu, siapa yang berani berargumen melawan Orba yang didukung penuh militer? Sebagian besar etnis Tionghoa mengikuti kebijakan ini, dengan harapan agar kelak tidak dipersulit dalam mengurus surat-surat sipil.
5. Sewaktu pembersihan unsur2 PKI di Indonesia (jumlah korban menurut sejarawan ±500.000 orang) tidak sedikit etnis Tionghoa yang turut menjadi korban dengan tuduhan simpatisan PKI.
Menurut pengakuan Sarwo Edhie dalam audiensinya dengan DPR tahun 1989/menjelang kematiannya, jumlah korban selang tahun 1965 s/d 1967 sebanyak 2,5 juta jiwa.
Alasannya mudah saja, PKI= Cina (komunis), dan yang memiliki nama Cina = simpatisan PKI. Siapa yang mau di cap simpatisan PKI pada waktu itu, tanpa lewat pengadilan yang memadai? Hukuman teringannya : Penjara seumur hidup!
Karena pada waktu itu Cina dianggap mempengaruhi perkembangan komunisme di Indonesia. Cina sendiri adalah negara berhaluan komunis sejak merdeka dan pecah dengan Taiwan tahun 1949. Karena itu, orang2 Cina totok (belum kawin campur) ikut disasar sebagai target.
6. Mereka-mereka yang selamat dari pengaruh aturan pergantian nama ini, kebanyakan berdomisili di luar negeri (menjadi expatriat), namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia.
7. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan, sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.
8. Setahun sebelumnya sebelum “kebijakan” ini keluar, tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan Nasionalisme bangsa.
9. Namun seruan ini justru mendapat kecaman dan cemoohan dari kedua belah pihak, baik dari kalangan orang Tionghoa sendiri maupun dari kalangan anti Tionghoa.
10. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang, dan ini juga yang menyebabkan tokoh nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya.
11. Begitupun dengan Soe Hok Gie. Semasa mudanya, Beliau pernah berkata “Saya orang orang Indonesia kok, tapi saya tidak mengingkari bahwa saya adalah keturunan pendatang dari Negeri Cina“.
Saya sebagai orang Indonesia berhak punya pendapat, sama seperti misalnya kenapa apakah orang batak atau orang aceh mesti merubah namanya menjadi jawa, cukup kita sudah Indonesia”.
“Karena Negara yang bermartabat tidak seharusnya menyiksa, memenjarakan, membuang, atau membunuh nyawa warganya sendiri, dengan tuduhan yang tidak pernah dibuktikan di pengadilan.”
♦ Selain itu, ada juga aturan2 yang bersifat Diskriminasi lainnya, seperti :
1. Warga etnis Tionghoa tidak diperkenankan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta menjadi anggota militer (tentara/polisi).
2. Melarang segala bentuk penerbitan dengan bahasa serta aksara Cina, seperti koran Tionghoa SinPo, atau papan merek usaha yang menggunakan huruf Mandarin.
3. Membatasi kegiatan2 perayaan yang bersifat keagamaan/kebudayaan hanya dalam lingkup keluarga; dan tidak diizinkan untuk ditampilkan di muka umum. Hasilnya? perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan atraksi barongsai segera menjadi “barang langka” pada waktu itu.
4. Melarang sekolah-sekolah Tionghoa Zhonghua Xuexiao (中华学校) dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta.
Demikian “efek bola salju” dari Gerakan 30 September 1965 terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, sebelum akhirnya mencair waktu Presiden Soeharto turun tahta setelah berkuasa selama 32 tahun.
Angin segar mulai datang pada akhir tahun 1999, dimana Presiden Gusdur mencabut sebagian besar produk Undang-Undang Orde Baru yang bersifat diskriminasi tersebut.
Catatan hitam penahanan dan pembungkaman politik yang pernah dilakukan rezim orde baru terhadap pihak-pihak yang dianggap mengancam kekuasaannya adalah sejarah gelap yang tidak boleh berulang dalam praktek kenegaraan kita.