Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Soe Hok Gie (Hanzi 蘇福義; Pinyin : Su Fuyi) lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun. Leluhurnya sendiri berasal dari propinsi Hainan, China. Beliau merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara keluarga Soe Lie Piet, alias Salam Sutrawan.

Selain itu, dia juga adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Sebelumnya Ia menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius, Jakarta.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya, serta rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian.

Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul ‘Catatan Seorang Demonstran’ pada tahun 1983. Selain itu, Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan dan Mahasiswa Indonesia.

Sekitar 35 karya artikelnya selama rentang waktu 3 tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul ‘Zaman Peralihan’.

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Menghadapi yang tanda tanya,
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar,
Terimalah, dan hadapilah…

Sebaris kata di atas adalah kutipan sajak Soe Hok Gie yang berjudul Mandalawangi-Pangrango. Ditulis tahun 1966 dan masih menginspirasi generasi muda hingga kini. Semangat Soe Hok Gie tak pernah mati.

Selain itu, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” (Bentang; 1997).

Kematiannya saat mendaki ke puncak gunung Semeru 16 Desember 1969 membuat sosoknya jadi legenda. Saat meninggal usianya 27 tahun kurang sehari. Para sahabat memanggilnya ‘si china kecil’.

Soe Hok Gie menjadi simbol pemuda idealis yang menentang kemunafikan dan mereka yang oportunis. Para aktivis yang memilih tetap kritis, daripada bermanis2 kemudian jadi politikus di DPR.

Buku harian Soe Hok Gie dicetak jadi buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran“. Buku itu dicetak berulang kali dan jadi bacaan wajib aktivis2 mahasiswa sampai kini.

Soe Ho Gie Foto Bersama sejumlah wakil mahasiswa dari berbagai Negara dalam perjalanannya ke Amerika (Matra, Juli 1998).

Foto Soe Hok Gie dan kata2nya kerap dicetak jadi stiker, poster dan disablon di kaos2. Dengan bangga, orang2 muda pun mengenakannya. Di saat orang muda kehilangan sosok panutan pemuda yang bersih, anti korupsi, dan cinta tanah air, mereka menemukan sosok itu pada Gie.

Mungkin generasi kini muak dengan politikus muda yang tersangkut korupsi. kesal lihat barisan orang muda penghuni tanahan KPK macam Anas urbaningrum, Nazaruddin, Angelina Sondakh atau mafia pajak Gayus Tambunan yang kelakuannya bikin geleng2 kepala. Mereka rindu orang muda bersih yang tak korupsi.

Soe Hok Gie ikut dalam pergerakan tahun 1965 bersama rekan2nya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saat Soekarno tumbang, dia memilih tetap kritis pada pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto. Tulisan2 Gie yang dikirim ke surat kabar mengkritik kebijakan di awal-awal Orde Baru.

Dia melihat kenyataan pahit, teman2nya sesama aktivis kini merapat pada pihak penguasa. Mereka jadi wakil rakyat di DPRD, atau mulai menempati posisi2 birokrasi. Gie menyindir mereka, dia mengirim bedak dan pupur agar teman2nya bisa berdandan supaya lebih ‘cantik’ di depan penguasa. Dia pun segera dijauhi.

Dia juga menjadi pionir dalam gerakan2 demonstrasi mahasiswa kala itu, yang menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya penurunan harga bensin yang saat itu melonjak tinggi, sehingga sangat membuat rakyat sengsara dan menderita, merombak kabinet Dwikora, serta segera membubarkan organisasi PKI.

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan,” kata Gie menyemangati dirinya.

Sebagai bagian dari aktivits, Soe Hok Gie juga sempat bekerja sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 1966 di Bandung, untuk mengkritik kebijakan2 pemerintahan Orde Lama.

Soe Hok Gie juga yang pertama mempelopori Mapala FS UI. Dia rajin blusukan ke gunung bersama kawan2nya. Menurut Gie, patriotisme tak akan tumbuh hanya dengan mendengarkan pidato.

“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan2. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat, kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda, harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

A. Perihal Pergantian Nama Tionghoa Soe Hok Gie : Itu Tidak Penting!

Meski dilahirkan dan tumbuh dalam keluarga beretnis Tionghoa, sepanjang hidupnya Soe Hok Gie tidak pernah berganti dengan latar belakang etnisnya. Gie juga tidak pernah terintimidasi dengan berbagai cercaan dan ancaman bernuansa rasial yang pernah ditujukan kepada dirinya terkait aktivitas politik atau tulisan-tulisannya.

Soe Hok Gie meninggal pada 16 desember 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.

Sebagai warga keturunan Tionghoa yang selalu menganggap dirinya beridentitas Indonesia, Soe Hok Gie juga merasa tidak perlu untuk mengganti nama Tionghoanya.

Tidak seperti kakaknya Soe Hok Djin yang mengganti nama menjadi Arief Budiman (dosen Univ. Kristen Satya Wacana, yang juga dikenal vokal, sekarang berdomisili di Australia), Soe Hok Gie tidak menganggap pergantian nama itu sebagai sebuah hal yang penting.

Berbeda dengan abangnya, Soe Hok Gie mengatakan “Saya orang orang Indonesia kok, tapi Saya tidak mengingkari bahwa Saya adalah keturunan pendatang dari Negeri Tiongkok“.

Saya sebagai orang Indonesia berhak punya pendapat, sama seperti misalnya kenapa orang batak atau orang aceh mesti merubah namanya menjadi jawa, cukup kita sudah Indonesia.

B. Hari-Hari Terakhir Seorang Demonstran Menjelang Kematiannya

Kecintaan Soe Hok Gie pada alam bebas ternyata juga mengantarkan pemuda itu pada akhir pengembaraannya. Pada 16 desember 1969 (H-1 sebelum Gie berulang tahun ke-27) saat mendaki gunung Semeru, Soe Hok Gie dan seorang temannya, Idhan Lubis, tidak sengaja terperangkap dan menghirup gas beracun di kawasan lokasi kawah gunung Semeru.

Kala itu, udara sejuk di lereng gunung Semeru tak mampu meredam kekesalan Soe Hok Gie kepada Aristides Katoppo. Dia kesal, lantaran kawannya itu, sesama anggota Mapala Fakultas Sastra UI, mengigau semalam suntuk saat bermalam di sebuah titik peristirahatan di gunung Semeru, hingga membuat dirinya tidak bisa tidur.

“Lu sangat gelisah. Gue nggak mau lagi tidur di sebelah lu,” kata Aristides menirukan ucapan Hok Gie.

Dalam buku “Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi” (2019; hal 95), Aristides menuturkan bahwa kegelisahannya (yang tidak sempat dia ungkapkan kepada Hok Gie) berasal dari sebuah mimpi kecelakaan di gunung.

Aristides yang pernah menjabat redaktur Sinar Harapan ini mengaku bermimpi melihat 3 mayat yang tidak jelas wajah2nya. Siapa sangka mimpinya itu ternyata menjadi semacam firasat, menyambut tragedi yang terjadi 2 hari setelahnya.

Potret Soe Hok Gie semasa mudanya.

Obrolan untuk mendaki Gunung Semeru muncul pertama kali dalam dalam catatan harian Hok Gie yang diterbitkan ke dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” (2019; hal 347).

Pada tanggal 28 November 1969, Gie mengusulkan bahwa dalam pendakian kali ini mereka akan mengajak seorang kawan perempuan bernama Rina. Sayangnya, seperti halnya perempuan2 masa itu yang sebelumnya didekati Hok Gie, Rina tidak mendapat restu dari keluarganya.

“Kegiatan naik gunung dan bergaul dengan Hok Gie, rupanya tidak sesuai dengan proyeksi tante2nya (Rina),” tulisnya pada 8 Desember 1969. Itu adalah catatan harian terakhirnya.

Hari ke-2 pasca Lebaran, Jumat, 12 Desember 1969, pukul 06.00, tim Mapala FS-UI sudah berkumpul di Stasiun Gambir. Mereka terdiri dari 6 anggota Mapala, serta 2 mahasiswa dari kampus lain, dengan Herman Onesimus Lantang sebagai ketua rombongan pendakian.

Meski Herman pimpinannya, Soe Hok Gie tetap menjadi sosok yang cukup menonjol dalam tim. Gara2 itu, keduanya sering berdebat soal jalur pendakian dan lokasi tenda, yang akhirnya diputuskan dengan cara yang aneh. Mereka sepakat akan mendaki bersama2, tapi memilih tempat berkemah sendiri2.

“Malam pertama kami putuskan untuk melewati di dusun kecil di dataran tinggi, namun ke-8 anggota tim terpencar di 2 lokasi perkemahan, karena masing2 pihak berpegang pada beberapa prinsip sepele, namun akhirnya menjadi bertele2 karena mau menang sendiri,” kenang Rudi Badil dalam buku Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya” (2009; hal 12).

Saat itu, Badil merupakan mahasiswa persiapan Antropologi FS-UI, yang rencananya akan dilantik ke dalam Mapala.

Hanya berbekal informasi dari buku dan peta Belanda terbitan 1928, mereka membuat iring2an dengan naik-turun jurang melewati kali Amprong, lalu menerabas padang ilalang dan lumpur hitam bekas kebakaran hutan.

Sebelumnya, Soe Hok Goe sempat ngotot pada usulannya, yakni melewati jalur pendakian yang jarang dilalui orang. Dia menolak mengikuti jejak tim mahasiswa UI yang lebih dulu mendaki Semeru pada tahun 1967 dan 1968.

“Makanya tim kita lewat jalur Ayek-Ayek yang jarang dilewati tim orang lain,” kata Badil menirukan Hok Gie.

Badil mengisahkan suasana pendakian saat itu yang kerap terjadi ketegangan, khususnya antara Herman yang dia juluki sebagai “Jenderal Batu” dengan Hok Gie sebagai “Cina Kecil Berpikiran Besar.”

Tetapi tidak sedikit pula canda dan tawa yang pecah setiap kali mereka meluruskan kaki di antara tebing dan hutan. Hok Gie, menurut Badil, merupakan orang yang paling ceria dan banyak omong dalam rombongan.

“Ingat, Dil. Elo harus punya kepribadian, ya!” kata Hok Gie kepada Badil. Sebelum mulai mendaki, Hok Gie bahkan menyamakan pendakian saat itu dengan kegiatan plonco di hutan gunung, supaya Badil lebih dewasa dan mau mengurangi kegiatan dansa-dansi.

Setelah melewati hutan lumpur, masih dikisahkan Badil, 3 pentolan pendaki gunung, Hok Gie, Herman, dan Aristides, sepakat jalan ber-3 mencari jalur rintisan ke Arcopodo yang mengarah ke Puncak Semeru. Sementara Badil dan 4 orang lainnya disuruh mengaso, sambil mengawasi jika ada hewan2 liar yang menganggu perkemahan.

Untuk kesekian kalinya, malam hari mereka bisa beristirahat tanpa disertai debat alot yang menguras tenaga, atau percakapan tentang membuat tempat berkemah mandiri.

Sebuah catatan dari Soe Hok Gie pada 1966.

Soe Hok Gie pun dengan percaya diri mengumumkan bahwa lusa (17 Desember) dirinya akan berulang tahun. Dia berharap bisa merayakannya di puncak gunung, salah satu tempat favoritnya.

“Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa,” kata Hok Gie di tengah2 ke-7 rekannya yang malah menjadikan mimpi kecilnya itu bahan gurauan.

Setelah pajang lebar memberikan “kuliah” sejarah dan legenda Puncak Semeru dan Arcopodo, Hok Gie bersemangat mengajak rekan2nya menyanyikan lagu Nobody Knows the Trouble I’ve Seen, yang bercerita tentang budak kulit hitam pemetik kapas di Amerika Serikat. Meskipun suaranya pas2an, tetapi dia selalu menyanyikannya dengan lantang dan percaya diri.

Itu adalah malam terakhir Hok Gie bergurau bersama kawan2nya. Keesokan harinya, mereka berangkat menuju Arcopodo. Di ketinggian sekitar 3.300 mdpl, mereka menjumpai tempat agak datar terakhir, sebelum perjalanan langsung ke Puncak Mahameru.

Rombongan kembali dibagi menjadi 2 kelompok, dimana Hok Gie satu kelompok dengan Herman, yang naik berdua bersama anak didiknya, Idhan Lubis.

Hok Gie tiba di puncak lebih dulu ketimbang Herman, dan memilih tinggal lebih lama karena ingin menunggu Herman yang tertinggal di belakang. Cuaca saat itu tidak bersahabat. Hujan kecil hampir selalu mengguyur dari pagi hingga siang. Gerimis yang bercampur pasir kasar membuat suasana puncak terasa miris dan agak mengerikan.

Sebelum kawan2nya turun, Hok Gie sempat menitipkan batu dari kawah Semeru dan daun cemara untuk diberikan kepada cewek2 di kampus UI di Rawamangun. Dia lantas duduk dengan kaki terlipat di dada dan tangan menopang dagu.

Saat itulah Hok Gie dan Idhan, yang datang belakangan bersama Herman, menghirup gas beracun yang massanya lebih berat daripada oksigen.

Seperti dituturkan Herman dalam buku “Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi” (2019; hal 98), mereka berdua sudah lemas sebelum mengetahui bahwa kawah Jonggring Seloko di Puncak Gunung Semeru ternyata sedang menyemburkan gas beracun yang tidak terlihat dan berbau.

“Tahu2 dia enggak ngomong, menggelepar,” ujarnya. Herman buru2 mengecek denyut nadi Hok Gie. Malang, pemuda yang dikenal lantang mengkritik pemerintah pada awal Orde Baru itu sudah meninggal.

Soe Hok Gie, seperti dicatat dalam buku “Soe Hok Gie: Zaman Peralihan” (2005; hal 293), meninggal dalam kegelisahan. Dia menghadapi kenyataan bahwa teman2 aktivis mahasiswanya sesama tokoh angkatan 1966, gemar mengejar hal2 yang bersifat duniawi, ketimbang menyatukan pikiran pasca-perubahan.

Sebelum berangkat mendaki Semeru, Hok Gie bahkan sempat mengirimkan kosmetik, kain sarung, dan kebaya kepada sejumlah wakil mahasiswa di DPR-RG sebagai bentuk sindiran.

“Semoga anda makin tampil manis di mata pemerintah,” pesannya kepada teman2 aktivisnya.

Batu prasasti Soe Hok Gie di puncak gunung Semeru Mahameru (in memoriam).

Pada 16 Desember 1969, Soe Hok Gie, seorang tokoh pergerakan mahasiswa Indonesia angkatan 1966, tewas setelah menghirup gas beracun di pucak Gunung Semeru. Hok Goe tutup usia beberapa jam menjelang ulang tahunnya yang ke-27. Dalam kecelakaan itu, seorang pendaki lainnya (Idhan Dhanvantari Lubis) juga turut menjadi korban.

Gas beracun dari kawah Mahameru pun mengakhiri hidup Gie. Jenazah Soe Hok Gie dibawa turun dari puncak gunung Semeru, dan dimakamkan di Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Tahun 1975 pemakaman itu akan digusur. Jenazah Gie pun diangkat dan dikremasi. Abunya ditebar di Lembah Mandalawangi Pangrango.

Seluruh perjalanan hidup Soe Hok Gie yang pernah tinggal di kawasan Kebon Jeruk ini juga telah dibukukan oleh John Maxwell, seorang WN Australia, dengan judul “Soe Hok Gie – A Biography Of A Young Indonesian Intelectual”, yang menandakan bahwa dirinya tidak hanya dikagumi di negeri sendiri, namun juga hingga di kancah internasional.

Baca juga : 5 Peran Soe Hok Gie, Aktivis Angkatan ‘66 Berdarah Tionghoa Pembela Demokrasi

Soe Hok Gie pun akhirnya mati muda seperti keinginannya.
Dia memang berdarah keturunan Tionghoa, tetapi mungkin lebih nasionalis daripada sebagian besar pribumi disini.

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Soe Hok Gie, ‘Si China Kecil’ Yang Bahagia Mati Muda”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?