Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Secara rasial, orang Tionghoa dan mayoritas Pribumi Indonesia “Deutero Melayu” adalah sama-sama Mongoloid. Belwood menyebut Pribumi Indonesia sebagai Southern Mongoloid type, kecuali sebagian penduduk Indonesia bagian timur yang tergolong ke dalam type Melanesian dan Proto-Melayu, dan campuran Melayu-Melanesia.

Dengan kenyataan seperti ini maka bukan hanya Skinner, seorang peneliti Barat asing, yang ragu dalam menentukan apakah seseorang Indonesia yang ditemuinya di jalanan di kota besar Jakarta adalah Pribumi atau keturunan Tionghoa.

Bahkan orang Indonesia sendiri dapat terperangkap ke dalam teka-teki yang sama, bila pihak yang dihadapinya itu tidak cukup kental ciri-ciri rasnya.

Keadaan ini akan semakin membingungkan kalau berhadapan dengan orang Tionghoa Peranakan yang merupakan porsi terbesar kelompok etnik Tionghoa di Indonesia. Mana yang Tionghoa, mana Manado, dan mana yang Dayak?

Singkatnya, kata Skinner, batasan yang memadai apakah seseorang itu adalah warga keturunan Tionghoa, tidaklah dapat ditentukan melalui ciri-ciri ras (fisik), tapi adalah melalui identifikasi sosio-kultural.

Pada masa Skinner, sebelum tahun 1960 an, satu-satunya ciri kultural yang bisa dipercaya tentang jati diri orang Tionghoa dan keterikatannya dengan kelompok keturunan Tionghoa adalah penggunaan nama keluarga Tionghoa, atau nama “tiga suku kata“.

Namun penggunaan nama Tionghoa ini tidak digalakkan lagi di Indonesia sejak pergantian pimpinan Indonesia dari Ir. Soekarno kepada Jenderal Angkatan Darat Soeharto tahun 1967.

Seterusnya, sebelum periode Orde Baru 1967, di beberapa tempat tertentu di Indonesia semisal Bagan Siapi-api (Riau), atau Singkawang (Kalimantan Barat), orang dengan mudah mengenali warga kelompok etnik Tionghoa (KET) melalui bahasa percakapan yang diucapkan.

Ketika berbicara dengan sesama warga keturunan Tionghoa, mereka akan menggunakan salah satu dialek Tionghoa, dan bila berhadapan dengan orang Pribumi mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan intonasi dan artikulasi bahasa etnik Tionghoa.

Sejak 1967 semua orang(apalagi warga keturunan Tionghoa) digalakkan untuk berbicara dalam bahasa Indonesia, maka ciri-ciri pengenalan melalui bahasa percakapan ini pun makin sukar dikenali.

Dari segi keagamaan (kepercayaan), sebelum Orde Baru, sebagian besar warga keturunan Tionghoa adalah pengikut kepercayaan Sam kauw (Tridharma), yaitu kombinasi tiga ajaran Konghucu, Tao, Buddha, dengan upacara-upacara yang khas warisan budaya Tionghoa.

Tapi setelah tahun 1967, di mana setiap orang Indonesia diwajibkan untuk mengikuti salah satu dari 5 agama resmi : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha maka sebagian besar warga keturunan Tionghoa mengaku sebagai penganut Buddha, atau berpindah agama yang pada umumnya ke agama Nasrani.

Setelah itu mereka mengubah namanya sesuai dengan nama yang umum di kalangan pengikut agama Nasrani tersebut. Begitu juga halnya dengan upacara-upacara tradisional Tionghoa yang sebagian dilaksanakan secara besar-besaran dan terbuka, telah dilarang oleh Pemerintah Orde Baru.

Dari segi kewarganegaraan, menurut undang-undang Republik Indonesia, Pribumi Indonesia jelas berwarganegara Indonesia sejak semula, sementara itu warga keturunan Tionghoa tidak jelas kedudukannya sampai akhir tahun 1950an.

Antara tahun 1955 sampai tahun 1960 terjadi perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tionghoa untuk menentukan kedudukan kewarganegaraan keturunan Tionghoa di Indonesia.

Dari perundingan itu muncul secara garis besar tiga jenis kelompok etnik Tionghoa menurut status kewarganegaraannya, yaitu warganegera Indonesia, warganegara Republik Rakyat Tiongkok, dan stateless*.

Nampaknya semakin berkembang masyarakat Indonesia, semakin berubah pula kehidupan sosio-kultural kelompok etnik Tionghoa di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan makin ditinggalkan nya adat, nilai, dan kepercayaan lama Tionghoa oleh keturunan Tionghoa tersebut. Pola kebiasaan menarik garis keturunan menurut prinsip patrilineal, pola menetap yang patrilokal, dan sistem perkawinan poligami makin berubah masing-masing menjadi bilateral, neolokal, dan monogami.

Nilai penghormatan terhadap orang tua yang sangat berlebihan, solidaritas klan, penghormatan terhadap arwah leluhur, dan money mindedness mulai berganti menuju kepada kecenderungan sikap individualistis, sekuler, dan demokratis.

Arwah leluhur, meski masih tetap dihormati tapi tidak lagi menduduki kedudukan yang sangat penting seperti dulu.

Dengan adanya situasi seperti yang diuraikan di atas, muncul pertanyaan : Bagaimana seseorang dapat mengenali warga keturunan Tionghoa di Indonesia? Nampaknya seperti sukar, tapi nyatanya kelompok etnik Tionghoa sendiri tetap dapat mempertahankan sifat-sifat eksklusif dan endogami mereka.

Namun secara umum, seseorang bisa dianggap sebagai bagian dari etnis Tionghoa apabila terdapat 1 atau lebih dari unsur2 dibawah ini :

1. Memiliki leluhur, kakek/nenek, atau ayah/ibu yang berasal dari Tiongkok (lahir disana, untuk kemudian merantau ke Indonesia).

2. Menganut salah satu dari Agama tradisional Tiongkok : Konghucu, Taoisme, Buddha (meski Buddha aslinya berasal dari India, namun sejak abad ke 8 tumbuh subur dan diterima baik oleh masyarakat Tiongkok. Sama seperti Islam yang aslinya berasal dari Timur Tengah, yang tumbuh subur di Indonesia pada abad ke 14).

3. Memiliki ciri-ciri fisik yang mudah dikenali, antara lain bermata sipit, berkulit putih atau kuning, berwajah bulat dan berambut lurus (tidak bergelombang). Sama seperti orang barat atau orang negro, yang mudah dikenali dari segi ciri fisiknya.

4. Bisa berbahasa daerah/dialek Tiongkok, antara lain Hokkian, Kanton, Khek, Tiochiu, dsb. Bahasa Mandarin tidak lagi dimasukkan sebagai salah satu point, karena saat ini bahasa mandarin sudah bisa dipelajari oleh masyarakat umum, sama seperti bahasa inggris.

Bahkan banyak pemuda/i propinsi Aceh yang diberikan beasiswa  oleh pemerintah ke Tiongkok, khusus untuk mempelajari bahasanya.

5. Memiliki nama keluarga Tionghoa (nama chinese); yakni nama yang terdiri dari 3 suku kata, seperti Xi Jinping (习近平), Li Guangyao (李光耀), dsb.

Namun saat pemerintah Indonesia mewajibkan warga keturunannya untuk meng-indonesiakan (meromanisasi) nama dan marganya, membuat banyak warga etnis Tionghoa yang kini  tidak lagi memiliki nama keluarga tersebut.

Namun dari marganya sebenarnya masih bisa dikenali, seperti menggunakan marga-marga Tionghoa; yakni marga Tanoto, Wijaya, Halim, Tjandra, Tanoewijaya, Hartono, dsb (Ciri fisik etnis Tionghoa, tambahan by Admin, 17 April 2017).

Dari 5 point ciri-ciri diatas, juga masih tidak mutlak seseorang bisa dikatakan sebagai Tionghoa, namun paling tidak sudah mewakili sebagian besar dari etnis Tionghoa kebanyakan. Jika ada tambahan dari pembaca, dipersilahkan lewat kolom komentar dibawah.

Catatan * : Nampaknya mereka yang stateless inginnya menjadi warga negara Taiwan, tapi karena Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan maka mereka menjadi tidak jelas kewarganegaraannya.

Oleh : Amri Marzali, University of Malaya, Malaysia
Jurnal : MASYARAKAT INDONESIA, edisi XXXVII, No. 2, 2011. Jakarta: LIPI
Judul Makalah : Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

One thought on “Siapakah Orang Tionghoa Indonesia?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?