Last Updated on 3 February 2022 by Herman Tan Manado
Kalender Tionghoa yang kita pakai dalam penanggalan, dikenal sebagai kalender Imlek. Kata “Imlek” sendiri berasal dari dialek Hokkian, yang artinya “kalender lunar” (im = lunar, bulan; dan lek = kalender).
Dalam dialek Mandarin, Imlek disebut YINLI (阴历). Dengan demikian, tahun baru Imlek artinya tahun baru yang dihitung berdasarkan peredaran bulan dalam mengelilingi bumi.
Jadi, sesungguhnya adalah TIDAK TEPAT apabila ucapan “Selamat Tahun Baru Imlek” disingkat menjadi “Selamat Imlek” saja, sebab “Selamat Imlek” artinya = “Selamat Kalender Lunar”.
Di luar negeri, kalender ini juga dikenal dengan kalender Xia (夏历; XIALI), sebab sistem penanggalannya sudah ada semenjak Dinasti Xia (2100-1600 SM). Kalender Tionghoa dikenal juga dengan istilah Kalender Agrikultur, atau Kalender Pertanian, atau NONGLI (农历).
Selain itu, kalender ini juga lazim disebut Huangdi (黃帝; atau Kalender Huangdi), di singkat Huangli saja, sebab kalender ini diyakini diciptakan oleh Kaisar Kuning (黃帝; Huang Di) pada era/masa kepemimpinannya ±2697-2597 SM. Perhitungan ini disebut Huangdi Era (HE).
Dihitung berdasarkan kelahiran Huangdi, sebab Huangdi dianggap sebagai LELUHUR BANGSA HAN, atau orang2 Tiongkok (mayoritas) pada umumnya.
Jadi, penanggalan kalender Imlek seharusnya dimulai sejak tahun 2697 SM, ketika Kaisar Huangdi berusia 14 tahun (lahir tahun 2711 SM).
Dengan demikian, perhitungannya dapat dicontohkan bahwa misalnya sekarang tahun 2012, berarti 2012 + 2697 = 4709 HE. Jadi kalender ini sudah ada pada Dinasti Xia (2100-1600 SM), jauh sebelum Kong Zi (孔子) yang lahir pada tahun 551 SM, pada jaman Dinasti Zhou (1046-256 SM).
Namun hanya di INDONESIA, yang perhitungan Kalender Tionghoa (yang disebut Penanggalan Imlek) didasarkan pada kelahiran Kong Zi, yakni sejak berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (中華會館) di Batavia pada 17 Maret 1900.
Organisasi Tionghoa (terbesar pada waktu itu) inilah yang mengadopsi ajaran Kongzi, yakni Rujiao (儒教) sebagai agama masyarakat Tionghoa, dan menetapkan bahwa awal kalender Tionghoa dihitung berdasarkan kelahiran Kongzi sendiri, yakni pada tahun 551 SM. Demikianlah perhitungan kalender ini disebut Kongzi Era (KE).
Alasannya, penganut Konfusianisme begitu berterima kasih kepada nabi Kongzi, yang telah mengajarkan mereka etika dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal inilah yang menjadikan tahun kelahiran beliau (551 SM) dipakai sebagai tahun Imlek yang ke-1, walau sesungguhnya masyarakat di Tiongkok saat itu sudah merayakan Imlek selama 2147 tahun sebelumnya!
Referensi dari umat Konghucu sendiri (Feb’2019) : Imlek, Hari Raya Keagamaan atau Kebudayaan?
Sekali lagi, hanya di INDONESIA, yang perhitungan tahun penanggalan Imleknya didasarkan pada TAHUN KELAHIAN KONGZI (Confusius)!
Jadi, perhitungan tahun 2012 adalah 2012 + 551 = 2563 (berdasarkan Kongzi Era). Penetapan ini ternyata baru berumur seratus tahunan, yang dimulai sekitar awal tahun 1900-an.
Di luar negeri pun, orang2 akan menyebutnya Chinese New Year (Tahun Baru China), bukan Confusianist, Taoist, atau Buddhist new year.
Meski ada sebagian orang yang menganggap Sin Cia atau tahun baru Imlek adalah hari raya agama, namun sebenarnya Tahun Baru Imlek adalah tahun barunya semua orang Tionghoa, terlepas dari agama apa pun yang dianutnya!
Orang Tionghoa yang sudah berpindah agama apa pun tetap merayakannya, tanpa terkecuali, sejauh dia masih merasa dirinya adalah keturunan Tionghoa.
Apapun itu, seorang Tionghoa yang tidak lagi mengakui dirinya keturunan Tionghoa, sama saja tidak mengakui nenek moyang/leluhurnya sendiri! Karena ini sifatnya melekat sampai ke DNA, meskipun mereka melakukan transfusi darah 100%.
Baca juga : Sistem Penanggalan Dalam Taoisme (Nongli, Huangdi Era)
A. Apa perbedaan antara Budaya, Tradisi, Adat, dan Agama?
Kata “budaya” sendiri berasal dari bahasa sansekerta, yang berhubungan dengan akal dan budi manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya ini juga saling dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi politik, agama, lingkungan, dan tataan sosial di kelompok tersebut.
Sementara “Tradisi” adalah yang membentuk budaya tersebut. Tradisi adalah suatu bentuk adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang/leluhur yang TERUS BERULANG, sehingga masih dijalankan dalam kelompok masyarakat tersebut. Adanya kesamaan dari beberapa kelompok masyarakat inilah yang membentuk budaya.
Kata “Adat” sendiri berasal dari bahasa arab, yang menurut catatan baru muncul di sekitar abad ke-19 (1800-an). Penjelasan dan maknanya pun hampir sama dengan kata budaya diatas, dimana Adat adalah kebiasaan2 dan norma2 yang diwariskan secara turun-temurun dari jaman dulu.
Jadi, kata “budaya” lebih dulu digunakan daripada kata “adat”.
Sementara “Agama” adalah sistem yang mengatur kepercayaan kepada Tuhan, serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya dan tatanan kehidupan manusia. Jadi, terbentuknya suatu agama inipun sebenarnya berhubungan dengan lingkungan dan budaya setempat.
Misalnya Imlek yang diperdebatkan, apakah tergolong sebagai Budaya atau Agama?
Dari sisi budaya (perayaannya), Imlek dianggap sebagai hari pergantian tahun atau pergantian musim (musim dingin ke musim semi).
Pada saat Imlek orang2 biasanya akan menyalakan petasan, menggunakan baju berwarna merah, menggantung segala pernak-perniknya, saling mengunjungi sanak famili, memberikan angpao kepada anak2 dan kepada yang belum menikah, dsb.
Sementara dari sisi agama, pada hari Imlek orang2 Tionghoa akan bersembahyang ke kuil/kelenteng untuk memohon perlindungan, kesehatan, dan berkah untuk tahun yang baru kepada Thian dan Dewa-Dewi. Hal ini dianggap sebagai suatu agama, karena mempercayai adanya keyakinan tentang hal tersebut, serta melaksanakan kegiatan persembahyangannya.
Jadi, orang2 barat yang beragama Taoist atau Buddhist pun, belum tentu merayakan Imlek. Mereka malah tetap merayakan tradisi/budayanya sendiri, seperti Hallowen atau festival hantunya orang barat (setiap 31 oktober), dan Thanksgiving atau hari pengucapan syukurnya (minggu ke-4 setiap bulan November).
B. Dengan demikian, Tahun Baru IMLEK sebenarnya adalah hari raya BUDAYA, bukan Agama!
Baca juga : Tahun Baru Imlek : Perayaan Hari Raya Agama atau Budaya? (Konghucu Ver.)
Di jaman pemerintahan Presiden Soekarno, Tahun Baru Imlek Imlek sudah menjadi libur fakultatif, artinya mereka yang merayakannya boleh saja mengambil libur. Namun di jaman penindasan orde baru, hal ini dicabut setelah peristiwa G30/SPKI tahun 1965 meletus.
Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid lah yang membebaskan orang Tionghoa dari penindasan dan penjajahan, dimana pada tanggal 17 Januari 2000 Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6/2000 yang isinya mencabut Instruksi presiden No. 14/1967. Hal ini membuat Imlek kembali menjadi hari libur fakultatif bagi yang merayakan.
Tidak berselang lama, pada tahun 2003 Presiden ke 5 RI Megawati Soekarnoputri kembali menguatkan keputusan Gusdur, yang menjadikan Imlek (Sincia) sebagai hari libur Nasional (tanggal merah) berdasarkan Agama Khonghucu.
Lantas Mengapa Presiden Megawati menetapkan Imlek (Sin Cia) sebagai HARI RAYA AGAMA, dalam hal ini adalah hari raya Agama Khonghucu?
Sebenarnya, pengambilan keputusan mengenai Imlek ini sedikit berbau perpolitikan juga.
Karena di Indonesia, hari2 libur nasional selain yang berlaku umum, semua ditetapkan berdasarkan hari raya agama, termasuk Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriah, Wafat Isa Almasih, Kenaikan Isa Almasih, Natal, Waisak, Nyepi (Tahun Baru Saka), dsb. Tidak satu pun hari raya budaya berdasarkan kelompok etnis tertentu.
Berdasarkan pertimbangan ini, ditetapkanlah Tahun Baru Imlek sebagai hari raya Agama Khonghucu. Sebab, seandainya tidak demikian, apa jadinya bila setiap kelompok etnis meminta hari raya budayanya ditetapkan sebagai hari libur nasional?
Atau, bisa dikatakan hampir setiap hari kita akan berlibur nasional, sebab jumlah kelompok etnis di Indonesia bukan sedikit jumlahnya. Bisa kacau bukan?
Mengenai mengapa banyak orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang setelah beralih memeluk kepercayaan lain, termasuk yang penganut Buddhist sekalipun tidak mau lagi merayakan Imlek, sebenarnya selain karena tuntutan (doktrin) dalam agamanya, faktanya juga karena mereka takut dipalaki/dimintai angpau, atau takut dikunjungi orang2 sekitar, atau rekan2 sekantor/bisnisnya.
P*tong kepala mimin kalau mereka tidak ngadain syukuran di rumah/restoran secara diam2, meski hanya dengan keluarga inti/keluarga dekat saja 🙂
Di masa lalu, di jaman Orde Baru, Imlek “dimusuhi” oleh agama lainnya, termasuk Buddha. Menjelang Imlek, sekolah2 berbasis Buddhis dikirimi surat oleh WALUBI, yang isinya adalah larangan merayakan Imlek.
Tapi sekarang, hampir semua agama merayakan Imlek, bahkan Katolik mengadakan misa Imlek. Mengapa sekarang agama2 itu melakukannya? Apakah ini suatu strategi jualan agama, untuk menarik umat dari kalangan Tionghoa?
Baca juga : Sistem Penanggalan Dalam Taoisme (Nongli, Huangdi Era)
Dalam lingkungan umat agama Khonghucu khususnya atau lebih luas di dalam sebagian terbesar masyarakat etnis Tionghoa atau keturunan Tionghoa yang masih menghayati tradisi Khonghucu, pemakaian penanggalan Imlek sering dipergunakan dalam pelbagai hal di kehidupan sehari – hari disamping penanggalan Yanglik.
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) ketika merayakan Tahun Baru Imlek secara nasional di Jakarta pada tanggal 6 Cia Gwee (17 Februari 2002), saat menyampaikan sambutan Presiden RI Megawati Soekarnoputri sekaligus telah memberikan “angpao” dengan menyatakan bahwa pemerintah menetapkan Tahun Baru Imlek Hari Nasional.
Tahun Baru Imlek ini sudah lama dikenal orang tapi masih banyak yang tidak tahu dari mana asalnya, apa maknanya dan upacara-upacara apa yang ada disekitar perayaan Tahun Baru Imlek. Seringkali Tahun Baru ini disebut orang sebagai Tahun Baru Cina padahal Tahun Baru ini bukan hanya dirayakan oleh orang-orang Tionghoa atau keturunannya saja tapi juga di dalam lingkungan bangsa-bangsa di Asia Timur meskipun ada dengan sebutan yang berbeda tapi sama dalam sistim penanggalannya yaitu pada tanggal 1 bulan 1 Imlek yang selalu jatuh pada bulan baru antara tanggal 21 Januari sampai 19 Februari.
Imlek artinya penanggalan yang berdasarkan peredaran rembulan sedangkan Yanglik adalah penanggalan yang berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari yang lebih sering disebut peredaran matahari. Penanggalan Imlek tiap bulan tanggal 1 selalu jatuh pada bulan baru dan tanggal 15 adalah bulan purnama. Bulan mengelilingi bumi lebih kurang 29½ hari maka tiap bulan Imlek terdiri atas 29 atau 30 hari. Penanggalan Yanglik mengutamakan pembagian bulannya untuk disesuaikan dengan peredaran musim yang dalam masa satu tahun lebih kurang 365¼ hari. Penanggalan Imlek benar disesuaikan dengan peredaran rembulan tapi dicocokkan pula dengan peredaran bumi mengelilingi matahari. Maka selain cocok untuk menentukan bulan baru dan purnama juga cocok untuk menentukan peredaran musim. Karena itu sesungguhnya kurang lengkap bila hanya dinamai Imlek dan kiranya lebih tepat dinamai Im-Yanglik. Untuk mencocokkan peredaran rembulan (Imlek) dengan peredaran bumi mengelilingi matahari (Yanglik) tiap 5 tahun Imlek diadakan 2 kali bulan kabisat (Lun Gwee) yang setahunnya berisi 13 bulan.
Ada beberapa sebutan untuk penanggalan Imlek dan meskipun penggagas penanggalan ini adalah Raja Suci Oei Tee atau Kaisar Kuning (2698 – 2598 SM) yang dikenal sebagai salah satu Nabi dari Ji Kau / Ru Jiao (Agama Khonghucu) tapi nama aslinya di Kitab Suci ialah He Lik atau penanggalan Dinasi He karena Dinasti He (2205-1766 SM) adalah dinasti yang pertama-tama dicatat telah menggunakan penanggalan ini. Sebutan lain ialah Long Lik atau Penanggalan Petani sebab penanggalan ini Tahun Barunya dimulai saat menjelang musim semi dan perhitungan musimnya sangat cocok untuk petani. Dinamai pula Khongcu Lik atau Penanggalan Nabi Khongcu karena penggunaannya secara resmi ditetapkan oleh Raja Han Bu Tee (140-86 SM) dari Dinasti Han (206 SM-220 M) berdasarkan Sabda Nabi Khongcu; Gan Yan bertanya bagaimana mengatur pemerintahan, Nabi bersabda: “Pakailah penanggalan Dinasti He …” (Lun Gi XV:11).
Mengapa Nabi Khongcu sampai mengucapkan sabda itu dan bagaimanakah sampai Raja Han Bu Tee menetapkan sebagai penanggalan resmi? Jaman dahulu menjadi tradisi tiap dinasti menggunakan sistim penanggalan sendiri dan perbedaan penanggalan ini terutama mengenai saat hari Tahun Barunya. Dinasti He menetapkan 1 Cia Gwee (bulan 1 tanggal 1) seperti Imlek sekarang. Dinasti Ien atau Siang (1766 – 1122 SM) menetapkan sebulan lebih maju dari 1 Cia Gwee. Dinasti Ciu menetapkan Tahun Barunya pada saat hari Tangcik (Winter Solstice – Pertengahan Musim Dingin) atau 2 bulan lebih maju dari 1 Cia Gwee. Penetapan Tahun Baru pada jaman dahulu memegang peranan penting karena menjadi pedoman bagi rakyat jelata untuk menyiapkan pekerjaan di tahun mendatang. Pada jaman kuno itu tidak ada catatan penanggalan yang dimiliki rakyat. Rakyat menanti saat-saat datangnya Tahun Baru dari petugas-petugas kerajaan yang tiap tahun memberitakan maklumat-maklumat raja. Di dalam Kitab Su King (salah satu Kitab Suci Agama Khonghucu) bagian Dinasti He tertulis. “Tiap tahun pada saat datang permulaan musim semi (Bing Chun) diperintahkanlah orang-orang dengan membawa Bok Tok (Genta logam pemukul kayu) berjalan sepanjang jalan untuk menyampaikan amanat-amanat”. Demikian juga jaman dulu tiap dinasti mengirim petugas-petugas kerajaan untuk memberitahukan saat datang Tahun Barunya. Dinasti He lebih bijaksana karena berita datangnya Tahun Baru tepat sebagai perintah segera menyiapkan pekerjaan untuk tahun akan datang, sedangkan Dinasti Ien atau Siang dan Ciu rakyat masih harus menanti satu dua bulan melewatkan musim dingin.
Nabi Khongcu yang hidup pada jaman Dinasti Ciu di dalam seluruh hidupNya mencurahkan perhatian untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, merasakan bahwa sistim penanggalan Dinasti Ciu kurang sesuai dengan kepentingan rakyat yang hidup sebagai petani yang Tahun Barunya ditetapkan pada pertengahan musim dingin. Makanya dapat dipahami jawaban Nabi Khongcu kepada Gan Yan (Gan Hwee) tentang pemerintahan yang baik dianjurkan memakai Penanggalan Dinasti He. Tapi tidak ada raja atau rajamuda-rajamuda Dinasti Ciu yang mau menerimanya berhubung penanggalan adalah lambang suatu Dinasti. Setelah Dinasti Ciu runtuh berdiri Dinasti Chien (255-206 SM) yang sistim penanggalannya juga diganti dan menetapkan Tahun Barunya 3 bulan lebih maju dari 1 Cia Gwee sekarang ini. Selain itu pada jaman Dinasti Chien umat dan tokoh-tokoh Agama Khonghucu (Ji Kau) dikejar-kejar dan dianiaya, bahkan Kitab-Kitab Sucinya diperintahkan dimusnahkan atau dibakar (213 SM). Sesudah Dinasti Chien jatuh berdirilah Dinasti Han (206 SM-220 M) yang pemerintahnya membantu pengumpulan kembali Kitab-Kitab Suci tersebut dengan mendirikan jawatan-jawatan yang khusus untuk keperluan itu. Pada pemerintahan Raja Han Bu tee (140-86 SM) Agama Khonghucu ditetapkan sebagai Agama Negara. Sistim ujian negara diatur untuk menggantikan sistim keturunan bagi jabatan-jabatan penting yang sesuai dengan ajaran Nabi Khongcu, mata pelajaran dasar adalah Kitab-Kitab Suci Agama Khonghucu dan pada tahun 104 SM penanggalan yang dianjurkan oleh Nabi Khongcu yaitu penanggalan Dinasti He (Imlek) diresmikan sebagai penanggalan negara.
Penanggalan Imlek – He Lik atau Khongcu Lik ini dihitung tahun pertamanya dari tahun kelahiran Nabi Khongcu (551 SM) yang sejak jaman Dinasti Han meskipun dinasti yang satu runtuh digantikan dinasti yang lain, sistim penanggalan resmi ini di Tiongkok tidak berubah sampai akhir Dinasti Mancu atau Boan Ciu (1911) ketika sistim penganggalan resmi diubah menjadi Yang Lik oleh pemerintah Republik Tiongkok. Namun demikian penanggalan Imlek atau Khongcu Lik ini sampai sekarang masih dipergunakan karena dalam banyak hari raya Agama Khonghucu berdasarkan penanggalan ini.
Ajaran agama Khonghucu sesuai dengan semangatnya yang ditulis di dalam Kitab Tiong Yong (Tengah Sempurna) – XXX : 4 ; “Maka gema namanya meliputi seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban dan Bek sampai ke mana saja perahu dan kereta dapat mencapai, tenaga manusia dapat menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan, yang ditimpa salju dan embun. Semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak menjunjung dan mencintainya.” Demikianlah ajaran Agama Khonghucu kemudian tersebar sampai di Korea, Jepang, Vietnam, Myanmar, Hongkong, Malaysia, Mongolia,Taiwan, Thailand dan lain-lain termasuk Indonesia dimana penanggalan He Lik ini digunakan dalam kehidupan keagamaan diantara umatnya. Ketika berkembang agama Budha dan Tao di Tiongkok pada permulaan tarikh Masehi mereka juga menyesuaikan hari-hari besarnya dengan menggunakan penanggalan Imlek atau Khongcu Lik ini.
Tahun Baru Imlek mempunyai makna penting :
a. Bagi Umat Khonghucu menjadi lambang semangat perjuangan dan kemenangan di dalam usaha membina kehidupan agamanya.
b. Menjadi lambang persaudaraan di antara umat Khonghucu (Ji Kau), Budha (Hud Kau) dan Taois (Too kau).
Upacara-upacara yang dilaksanakan sekitar perayaan Tahun Baru ini adalah :
1) Tanggal 24 Capji Gwee (bulan 12 Imlek): Upacara sembahyang mengantar Co Kun Siang Thian (Malaikat Dapur naik ke langit) saat Cu Si (23.00-01.00). Co Kun adalah malaikat yang mempunyai peranan penting dalam keluarga, karena meskipun tempatnya di dapur tetapi yang menilik segenap isi keluarga dan wewenang untuk melaporkan kepada Thian (Tuhan) sehingga boleh menurunkan berkah atau ganjaran bagi keluarga.
Di dalam Kitab Lun Gi III : 13 tertulis : Ong Sun ke bertanya, “Apakah maksud peribahasa ‘Daripada bermuka-muka kepada Malaikat Oo (penjaga sudut rumah baratdaya) lebih baik bermuka-muka kepada Malaikat Co’?” Nabi bersabda, “Itu tidak benar, siapa berbuat dosa kepada Thian) tiada tempat lain ia meminta doa.”
Maksud Nabi di sini, kalau kita merawat altar Co Kun, hormatilah dengan keluhuran budi, jangan dipenuhi oleh hati yang sifatnya mencari keuntungan. Co Kun tidak akan berbuat tidak benar menurut keinginan nafsu-nafsu rendah kita.
Hari ini juga dikenal sebagai ”Hari Persaudaraan” dimana umat yang mau merayakan Tahun Baru Imlek dan mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih, wajib mendermakan sebagian hartanya untuk membantu saudara – saudaranya
yang berkekurangan agar bisa bersama – sama menyambut datangnya tahun baru ini atau dapat memberikan uluran tangan juga bagi saudara – saudara lain yang menderita. Disebut juga sebagai ’Hari Sosial”.
2) Sehari menjelang Tahun Baru Imlek ada dua upacara penting :
– Siang hari Sembahyang Besar kepada leluhur. Ini bukan perbuatan klenik tapi upacara sembahyang sebagai kelanjutan Laku Bakti kepada orang tua yang telah mendahului kita kembali ke Pangkuan Kebajikan Tuhan. Budi mereka tidak dapat kita balas maka pelayanan pemeliharaan kepada mereka semasa hidupnya tidak cukup sehingga dilakukan upacara sembahyang seperti ini sebagai kelanjutan bakti kepada beliau-beliau.
– Malam hari adalah Sembahyang Besar sujud dan mengucap syukur kepada Thian YME. Merenungkan segala apa yang kita alami, bersujud, bersyukur dan memohon ampun atas segala kesalahan kita.
3) Hari Sin Cia (Tahun Baru) tanggal 1 Cia Gwee kalau ada yang memelihara altar leluhur harus didahului dengan sembahyang penghormatan kepada leluhur baru kemudian mengucap selamat, hormat dan memohon maaf kepada orangtua atau sanak keluarga yang lebih tua. Memberi selamat antara teman dan saling memaafkan. Suasana ini dilakukan sampai tanggal 15 Imlek (Capgomeh).
4) Tanggal 2 Cia Gwee; sembahyang Thau Gee. Biasanya dilaksanakan pagi hari sebelum matahari terbit, untuk memohon tuntunan dan perlindungan Thian dalam melaksanakan usaha pekerjaan di sepanjang tahun baru.
5) Tanggal 4 Cia Gwee menyambut Malaikat Co Kun turun dari langit atau Co Kun He Kang.
6) Tanggal 8 menjelang 9 Cia Gwee, Sembahyang Besar kepada Thian YME atau King Thi Kong. Upacara ini dilakukan tengah malam saat Cu Si (pukul 23.00 -01.00) untuk meneguhkan iman dan tekad kita, berprasatya kepada Thian YME untuk melaksanakan FirmanNya.
7) Tanggal 13 Cia Gwee, hari suci Kwan Kong, sebagai panglima perang yang sesudah wafat disucikan karena memiliki tingkat Kesusilaan, Kejujuran dan Kesetiaan yang tinggi sebagai sebagai pengikut Ajaran Nabi Khongcu. Altar Kwan Kong selain terdapat di kelenteng-kelenteng, banyak juga umat Khonghucu merawatnya di rumah.
8) Tanggal 15 Cia Gwee adalah hari raya Siang Gwan / Gwan Siau atau lebih dikenal dengan Capgomeh biasanya dilakukan upacara-upacara penutupan hari raya Sin Cia. Acaranya lebih meriah, besar dan bebas. Sesudah tanggal ini mulailah tugas-tugas yang wajib kita laksanakan di dalam kehidupan kita di tahun ini.
Tahun Baru Imlek memiliki makna agamais; makna agama yang mendalam dengan berbagai ritual atau upacara keagamaan dan bukan perayaan yang sifatnya hura – hura. Karena itu di masa lalu ketika Agama Khonghucu dipinggirkan dan perayaan Tahun Baru ini ”dilarang” secara terbuka hanya umat Khonghucu dan mereka yang masih memegang tradisi Khonghucu yang tetap setia merayakannya meskipun tertekan sedangkan yang lainnya tidak merayakan bahkan ada yang mengabaikan sekalipun kenyataan mereka itu adalah etnis Tionghoa.
Tahun Baru Imlek adalah Hari Raya Keagamaan bagi umat Khonghucu (Ji Kau / Ru Jiao) karena disamping aspek spritual, penggunaan kembali penanggalan Imlek (He Lik) didasari pada sabda Nabi Khongcu. Namun demikian penanggalan Imlek bukan milik umat Agama Khonghucu dan mereka yang masih melaksanakan tradisi Khonghucu semata tapi adalah milik bangsa Indonesia bahkan milik seluruh bangsa di dunia.
Lebih lanjut lg, tahun ini imlek 2567. Jika digunakan 2567, maka sama dgn mengakui tahun 2567 adalah tahun nya kongzi era (kong hu cu). Jika mengakui tahun ini imlek 4713, berarti sama dgn mengakui huangti era. Huang ti adl salah satu founder agama tao.
Jadi, apa mau dipaksakan bikin tahun sendiri saja utk yg tidak mengakui imlek sbg hari raya agama kong hu cu, dan untuk yg tidak mengakui sbg hari raya agama tao.
Tentu, selain org kong hu cu dan tao, akan mengatakan bgini bgitu. Akan mengklaim imlek sbg hari raya budaya sepihak. Apa bedanya dgn cibiran terhadap kong hu cu yg “disebut” mengklaim imlek sbg hari raya umat kong hu cu. Sama sama klaim maksa krn ingin menang sendiri tapi tidak bisa merubah sejarah, tradisi dan budaya yg sdh ada. Emang dianggapnya yg baca bodoh apa?
Jika disebut hari raya budaya, bukankah berarti budayanya yg ditonjolkan shg bentuk budaya itulah yg di laksanakan oleh org yg merayakan hari raya budaya, imlek. Lantas, bagaimana budayanya? Yah budayanya adl seperti yg dilakukan leluhur jaman dulu, ada sembayang pai hio ke leluhur, ada sembayang dewa dapur dst. Lah, sy mau rayakan imlek tapi gak mau sembayang dewa dapur! Loh! Katanya, hari raya budaya…….ikuti dong budayanya! Jgn pengen enak nya doang.
Jika disebut, hari raya tradisi, tradisi nya, malam imlek sebelum makan malam bersama, itu seluruh keluarga, cucu anak buyut, pai hio depan altar engkong ema, dan atau kongco (leluhur) nya. Itu tradisi. Diikutin gak?
Jika disebut hari raya agama kong hu cu, yah dlm ajaran agama kong hu cu, memang ada bakti kepada orang tua,bakti kepada leluhur, bakti kepada dewa yg di tunjukan dgn cara sembayang pai hio.
Jadi membuka wawasan dan pandangan yang baru…
Tradisi dan agama itu erat kaitannya, karena agama itu membentuk tradisi dan budaya kelompok yg menjalankan sesuai ajaran agamanya, imlek adalah hari besar agama konghucu.
Sebelum imlek tgl 24 bln 12 itu ada sembayang, h-1 imlek itu juga ada sembayang, keluarga tertentu termasuk sembayang dewa dapur dan dewi kamar, dan dari hari H sd H+3 itu wajib sembayang pagi dan sore, dan wajib pake kue keranjang, Imlek bagi umat konghucu itu sangat berarti, bukan cuma sekedar kumpul keluarga.
Kadang Kala Ketidak tahuan akan menjadi sifat Anti Pati terutama bagi yang Radikal, Semoga Tulisan ini bisa sedikit memberi Pencerahaan … 🙂
Hari raya imlek merupakan hari raya agama Tionghoa.
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Suharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Namun, Presiden Suharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan, dan tetap mengijinkan perayaan imlek, adat istiadat, dan budaya tinghoa namun diselengarakan di rumah keluarga tionghoa dan di tempat tertutup, hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres 14/1967.
Surat dari Dirjen Bimas Hindhu dan Budha Depag No H/BA.00/29/1/1993 menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Kemudian Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mengeluarkan surat edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Budha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong, Barongsai.
Murdaya Widyawimarta Poo (Poo Tjie Guan)merupakan suami dari Dra. Siti Hartati Tjakra Murdaya (Chow li ing)Pemimpin Central Cakra Murdaya / Berca Group yang juga Ketua umum WALUBI.
Per tanggal 4 Februari 2013, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara kepada pengusaha Siti Hartati Murdaya karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah.
Saudara David Kwa dari Bogor merupakan seorang penganut agama Kristen yang taat. Maka sangat wajar apabila ybs menggangap tahun baru imlek sebagai hari raya budaya, karena agama ybs tidak memiliki tradisi dan identitas ke-tionghoa-an. Pada perayaan Cap Go Meh “2013” kemarin yang disiarkan metro tv, jelas terlihat kekacauan arti makna perayaan itu sendiri, mulai dari tahun yang digunakan “2013”, acara berdoa cap go meh secara agama islam di acara Imlek (Cap Go Meh merupakan hari ke-15 setelah imlek), para pemuka agama yang di undang hanya dari 5 agama (islam, kristen, katholik, hindu, dan Budha)sementara dari Kong Hu Cu dan Tao sendiri tidak di undang datang. Salah satu panitianya perayaan imleh “2013” adalah Murdaya Widyawimarta Poo (Poo Tjie Guan),pimpinan WALUBI. Rupanya ybs juga pura-pura lupa atau hilang ingatan atas surat dari WALUBI tahun 1990-an mengenai larangan merayakan imlek bagi umat Budha. Surat larangan tsb juga di dukung oleh Menteri Agama RI, dan sampai sekarang masih berlaku.
Terlepas dari pandangan penulis, saya sebenarnya sependapat, bahwa Imlek sebenarnya bisa dirayakan oleh siapa saja; yang dimana dalam hal ini adalah masyarakat KETURUNAN Tionghoa. Lihat di negara China sendiri, Imlek dirayakan secara besar-besaran, tidak hanya yang agama B, KHC, atau T saja; tetapi masyarakat suku Hui di bagian timur china yang mayoritasnya Islam, atau masyarakat modern di kota (Guangzhou, KH, Macao, Shanghai) yang umumnya sudah beralih ke agama K juga tetap merayakan Imlek.
Imlek sendiri sejatinya adalah hari berkumpul bersama keluarga. Diluar itu, seperti sembahyang ke leluhur, atau ke dewa/i, itu sebagai bentuk ucapan syukur saja. Yang sudah tidak percaya Dewa/i pun, mereka tetap mengucap syukur ke Thian Kung, yang dimana dalam hal ini adalah TYME/Allah yang mereka percayai. Sedangkan sembahyang ke leluhur itu, hanya sebagai sebuah tanda bakti saja kepada leluhur/orang tua. Mereka bisa ikut, sungkem saja cukup.
Yang tidak pegang dupa, belum tentu baktinya kalah dengan yang setiap hari pegang dupa, pakai samseng, dsb.
Kira2 demikian..
Sampai hari ini, masih saja ada orang yang menganggap bahwa Imlek itu adalah perayaan suatu agama. Orang2 ini biasanya sudah terhasut penuh oleh para pendeta (K) dan ulama (I) yang mengatakan imlek itu milik orang China saja.
Ya, betul, Imlek memang punya orang China. Tapi sangat disesalkan, yang mengatakan anti China itu justru adalah dari orang keturunan China sendiri. Mereka sudah lupa, bahwa kegantengan dan kecantikan mereka itu karena mereka keturunan China (Tionghoa), maka bersyukurlah.
Ini juga penyebabnya, karena tradisi dan budaya Tionghoa di Indonesia sempat dibelenggu lama hampir 32 tahun lamanya sejak pemerintahan Soeharto. Jadilah semua yang berbau Tionghoa, dihasut, difitnah, dicaci tanpa ada pembelaan.
Wahai kalian orang Tionghoa yang mencaci agama leluhur kalian sendiri, bertobatlah Jangan nanti kalian nanti ditakdirkan jadi orang Afrika (negro, hitam), baru tau rasa.
IMLEK dianggap Perayaan dan Ritual Agama karena KLAIM EKSKLUSIF orang-orang Agama Konghucu sendiri….. JANGAN buruk muka, cermin tetangga dilempar batu, Bang Budiman 😉
Chinese New Year (CNY) is a cultural festival. It’s not a religious festival. People in China had celebrated Spring festival before Confucius was born. It’s weird when I heard that Chinese New Year was claimed as religious celebration.
In China and Singapore, people from different faiths go to the place of worships on Lunar New Year as a thanks giving day.But, people who are atheist just celebrate CNY as a family day.
Ada yg mau saya tanyakan.
1. Apakah ada agama Khonghucu? krn dlm ajaran Khonghucu sendiri tdk pernah menyebutkan ttg Thian/Langit, ajaran Khonghucu cuma menyebutkan ttg politik, sastra, budaya dan hubungan antar sesama manusia.
2. Bukankah klenteng itu agama Tao bkn agama Khonghucu?
Dear nick_carter,
Untuk pertanyaan nomor 1 : Agama Kong Hu Cu jelas adalah agama yang sah diakui di Indonesia, juga di Tiongkok/RRC.
Untuk pertanyaan nomor 2 : Betul, kelenteng = TAO karena di dalam kelenteng yang disembah adalah patung dewa/i dari agama TAO sendiri. Ada juga patung dari nabi Kong Zi sendiri, tapi umumnya hanya sebagai simbol pertalian tridharma saja bersama patung Buddha.
Demikian penjelasannya
Salam hangat
Menurut data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia, 1128 suku bangsa. Banyak banget ya? Tapi itu salah satu identitas Indonesia (negara majemuk). 🙂
Betul, mari kita menjaga kemajemukan bangsa ini dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada.