Last Updated on 14 July 2020 by Herman Tan

Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia : Diskriminasi RAS

Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah dimulai semenjak masa Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1740 di bawah perintah Gubernur Jendral Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia. 10.000 orang etnis Tionghoa ditumpas habis.

Pembantaian yang dilakukan Belanda secara besar-besaran terhadap orang Tionghoa dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda. Itu sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi dari kalangan etnis Tionghoa.

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru.

A. Diskriminasi Tionghoa Pada Jaman Orde Lama

Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis. Pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada 1956.

Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan usaha milik orang-orang etnis Tionghoa.

Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa.

Alhasil, semakin mengeraslah perlakuan rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia.

Bahkan sebagai akibat dari PP No. 10/1959 itu, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan secara tipikal mereka mengalami banyak kesengsaraan. Di satu pihak karena intrik-intrik politik negara Indonesia dan Tiongkok dan di lain pihak meningkatnya teror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia sendiri.

Sebutan orang ‘Cina‘ oleh sebagian besar Rakyat Indonesia dan perlakuan aparat militer yang menjadi alat negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang punya tanah kelahiran (pribumi). Namun kenyataan menjadi paradoks ketika lobi-lobi penguasa tempo itu tidak bisa menghindar dari sebagian elit etnis Cina.

Rasa dendam terhadap etnis Cina semakin memberi kekuatan baru bagi perjuangan meminggirkan etnis Cina. Disisi yang lain, bangkitnya semangat nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang menunjukkan betapa suramnya rasialisme itu di wajah Negara Republik Indonesia.

B. Diskriminasi Tionghoa Pada Jaman Orde Baru

ganyang-cina-anti-cina-anti-tionghoa
Tampak spanduk yang bertuliskan ‘Ganyang Cina’ pada salah satu demo yang terjadi di Jakarta

Baca juga : Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa

Jatuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Nyatanya diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru.

B1. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa ditempuh pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya :

1. Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
2. Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
3. Pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan

dan masih banyak lagi pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang bersifat begitu mendiskreditkan serta mendiskriminasi. Kebijakan-kebijakan ini pun tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.

Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya.

Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI.

Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka.

B2. Proses asimilasi ini terlihat dalam :

1. Aturan penggantian nama.
2. Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina.
3. Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga.

4. Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum.
5. Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta.

Benang merah yang menjadi latar belakang terjadinya diskriminasi rasial di Indonesia sendiri adalah kepentingan politik ekonomi pemerintah di masing-masing masa. Di masa Orde Baru ini kata diskriminasi rasial nyaris tidak terdengar, dan memang tidak disebutkan, bahkan dilarang untuk diperbincangkan.

Isu-isu rasisme kemudian diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Implikasinya adalah segala sesuatu hal yang berbau rasisme dikatakan SARA, yang berarti tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa adanya tindak lanjut yang berarti dari pemerintah.

Ini merupakan suatu kesengajaan yang dibuat pemerintah sekaligus bentuk rasisme yang paling kejam.

B3. Pada masa Orde Baru pula tercatat ada 8 buah produk perundang-undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :

1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina
3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina
4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina

5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng
6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina
7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina
8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina

Dari sini bisa dilihat bahwa fenomena diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia nampaknya sudah begitu sistematis. Tak hanya masyarakat di kalangan grassroot (akar rumput) yang begitu keras dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi yang tidak setia pada Negara;

namun Pemerintahan di masa Orde Lama serta Orde Baru pun nampaknya cukup gencar menjadi pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Menjadi Kontradiksi yang begitu jelas juga ketika kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Indonesia pun telah menyatakan diri sebagai negara Demokrasi yang seharusnya mengakui dan menjaga hak asasi manusia.

Namun diskriminasi yang terjadi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru ini mau tak mau memunculkan pertanyaan tersendiri; Kenapa pemerintah seolah-olah membiarkan dan bahkan mendukung adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia?

Tidakkah mereka menyadari bahwa diskriminasi yang tejadi ini adalah wajah gelap dari serangkaian pelanggaran hak asasi manusia? Diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia ini jelas merupakan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di Indonesia.

Padahal salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum pada pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Para etnis Tionghoa ini merupakan warga negara Indonesia.

Walaupun mereka orang keturunan (bukan asli indonesia) tapi mereka telah berasimilasi dan mereka merasa diri mereka adalah orang Indonesia.

Bukannya  seperti perlakuan sentimen yang dilakukan oleh para orang pribumi. Maka sudah selayaknya mereka mendapat perlakuan yang sama, dilindungi seperti warga negara Indonesia yang lain (pribumi); karena mereka juga bagian dari Bangsa Indonesia, Warga Negara Indonesia.

C. Lampiran : Buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina”

Pedoman Penyelesaian Masalah Cina 1
Buku Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia terbitan Badan Koordinasi Masalah Cina (BAKIN) terbitan 1979

Baca juga : G30S/PKI 1965; Apa Efeknya Bagi Tionghoa di Indonesia?

Buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” setebal 1500 halaman. Buku ini terdiri dari 3 jilid mengenai Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara tahun 1979.

Di halaman dalam bukunya, bagian kanan atas tertulis “Terbatas Hanya Untuk Pejabat”. Mengamati buku ini, hanya bisa menarik nafas panjang, bahwa Negara ini pernah bertindak “RASIS dan MENERAPKAN STANDAR GANDA” terhadap sekelompok warga negaranya yang kebetulan berkulit kuning dan bermata sipit.

Catatan : Artikel dibuat dengan pengeditan dan penyesuaian kalimat seperlunya dari naskah sumber asli; disertai penambahan lampiran.
Oleh : Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari – Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Udayana (2012)
Lampiran : Cover Buku Pedoman Penyelesaian Masalah Cina

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

23 thoughts on “Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa Orde Lama dan Orde Baru”
  1. Mantap! Sangat banyak membantu. Harapan saya semoga tidak ada lagi bentuk2 diskriminasi di Indonesia. Baik melalui bentuk formal, maupun informal. Semoga birokrasi dan kehidupan sosial mampu menciptakan suasana adil dan sejahtera.

  2. Waddduuhh sy juga keturunan etnis tionghoa, dan dulu marganya Tan…tapi sudah membaur dgn pribumi dn sudah nikah sm pribumi dr generasi le generasi,,,paling cuma ada 10% kali,,,emank klo ngmgin asli penduduk indonesia itu ya ga ada,,,krn penduduk indonesia itu ya campur2,,ada yg keturunan tionghoa, jepun, spanyol, belanda, dll. Jd ya saran sih ya klo bisa jgn bawa2 SARA. Toh kita jg gatau kan nenek2 moyang kita dlua bneran asli indonesia bingit atau bukan

  3. Dulu banyak etnis tionghoa yg jdi penghianat antek belanda dan jepang ,salah satunya laskar po an tui ,,,cina dulu itu licik berambisi ingin menguasai pribumi

    1. Tentu, setiap suku bangsa pasti ada penghianatnya; dan ini bisa disebut oknum atau golongan. Namun bandingkan dengan kaum pribumi, yakni terdapat tentara sipil pribumi bentukan BELANDA; NICA (Netherlands-Indies Civil Administration).

      Bataljon paling brutal dalam perang perang bersenjata. Bataljon ini resminya bernama Bataljon V KNIL, tapi di badge-nya ada code “Andjing NICA” sehingga julukan Andjing NICA ini terjadi. Sebutan anjing KNIL dipakai Belanda untuk merendahkan sekelompok orang yang siap menggertak bangsanya sendiri; sekaligus membenturkan mereka dengan bangsanya sendiri.

      Sebagian tentara NICA ini berasal dari daerah Indonesia Timur dan Jawa. Orang-orang waktu itu menyebut mereka “Belanda Hitam”; pribumi namun menindas sesamanya (menjadi antek Belanda). Mereka inilah yang menghasut agar Maluku Selatan dan Papua bisa merdeka, lepas dari wilayah kesatuan Indonesia.

    2. Itu cuma alasan yg buruk sekali. Kalau ada Tionghoa pengkhianat, sudah pasti di penjara ataw di hukum mati! Ini seperti kalau ada beberapa pribumi yang berpihak Belanda (banyak lho) jadi semua pribumi itu licik dan pengkhianat! Kamu dasar rasialist!

  4. Kenapa jaman belanda, orde lama, orde baru sangat kelihatan diskriminasi..?? Karena kita tau turunan tiongha itu sangat licik dan menghalalkan segala cara utk menguasai per-ekonomian. Mereka itu lbh suka bermain imperalisme secara ekonomi utk menaklukan etnik atau RAS lain. Integritas dan nasionalisme mereka sangat diragukan.

    Kita ketahui bahwa pengusaha-2/konglomerat turunan cina di Indonesia lbh aman nyimpan duitnya di singapore, hongkong dan tiongkok. Seperti di kutip dr nara sumber business singapore bahwa ada 296 miliar USD di simpan di negara itu. Nah…, apakah itu ngga cukup membuktikan mereka itu imperialisme terhadap ekonomi Indonesia dan tidak ada rasa keinginan integritasnya terhadap pembangunan.

    Salah satu kelicikan bisnisman org turunan cina : Ada pribumi yg mempunyai lahan 10 hektar di kaltim. Di kampung itu rata-2 masyarakat nelayan dan penambak. Datanglah cukong cina yg menawarkan kerja sama penambakan udang di atas tanah 10 hektar dgn perjanjian pembagian 60% si punya lahan dan 40% si penawar. Singkat kata terjadilah perjanjian kontrak. Dibuatlah tambak udang dgn biaya 3,5 milyar hingga beberapa selang 9 bln terjadi kegagalan krn udangnya mati semua. Akhirnya ditanamkan lg benih udg baru dgn tambahan modal 50 jt rupiah dan mengalami kegagalan juga. Akhirnya si cukong ini menuntut si penambak krn kegagalan usaha. Akhirnya si cukong cina ini minta ganti rugi dan menarik semua peralatan penambak berikut penyerahan tanah 50:50. Si cukong mengklaim, dia msh rugi 700 jt namun tidak apa-2 asal tanah tambak udh di bagi rata (cincai-2 katanya).

    Dari pelajaran diatas ternyata ada permainan penguasaan lahan secara licik namun halus mainnya. Si cukong pancing dgn kerja sama usaha namun itu jebakan batman utk mendapatkan lahan nya buat dia olah sendiri. Ternyata selama kegagalan si penambak mengembangkan tambaknya selalu di sabotase si cukong cina itu secara diam-2 dgn bahan kimia tertentu utk merusak pertumbuhan si udang sehingga sakit dan mati. Susah utk pembuktiannya krn kejadiannya sdh terlalu lama. Setelah si cukong punya lahan tambak udang 5 hektar, dia tdk ada masalah dan bnyk memproduksi udang. Sementara si penambak pribumi ini hanya menjalankan tambak ikan patin dan gurame krn tidak ada modal. Bahkan si cukong cina itu menawarkan agar tanah si penambak pribumi itu menjualkan tanahnya ke dia dgn harga tinggi. Itulah salah satu yg saya paparkan kelicikan dunia usaha dr kaum tiongha.

    Terserah percaya apa tidak…, bnyk lg trik-2 licik mereka.

    1. ok saya mau berpikir secara logis.

      di gedung DPR hampir semua anggotanya pribumi karena orang keturunan tionghoa tidak diperbolehkan untuk menjabat serta berurusan tentang masalah politik di indonesia, tapi bisa dilihat sendiri anggota-anggota DPR sering sekali melakukan korupsi demi mengkayakan diri sendiri bahkan bukan hanya anggota DPR pekerja pemerintah lainnya pun sering sekali korupsi dan mengandalkan jabatannya untuk hal yang buruk. Jadi apakah mereka tidak licik?

      Dan berdasarkan pernyataan anda yang menyatakan semua orang keturunan tionghoa itu licik karena hanya disebabkan oleh beberapa orang. Jadi apakah sekarang bisa menyatakan bahwa orang pribumi itu licik juga?

      Tentu saja tidak karena kita tidak bisa menilai satu butir pasir dari sebuah pantai dan memberikan penilaian tersebut ke seluruh pasir yang ada dipantai tersebut.

      apalagi jika membicarakan tentang kelicikan dan dalam hal ini mengenai kekayaan yaitu serakah. sifat manusia memang tidak terlepas dari serakah, perasaan ingin yang tidak terpuaskan. dan apakah anda pernah melihat orang yang licik untuk kepentingan bangsanya ataupun RASnya?
      Tentu saja tidak disaat seseorang licik ia hanya mementingkan diri sendiri.

      Tapi terserah mau dibaca dan disimak tulisan saya ini serta maaf jika kata-kata saya kurang berkenan.

  5. Saya mengajak semua rakyat Indonesia, mau etnis Cina, Batak, Jawa, India, Bule, Arab, Papua, dan semuanya, untuk bersatu dan tidak lagi memusingkan permasalahan etnis-etnisan seperti ini. Jaman sudah maju, mending mikirin bagaimana cara membantu saudara-saudara kita yang lapar, tidak sekolah, tidak punya pekerjaan. Saya rasa hal itu yang perlu dibahas di blog-blog serupa.

    Salam.

  6. Saya WNI KETURUNAN, menurut pandangan saya Problem2 yg tepat utk menjadi WNI di nesara ini sbb
    -HIDUP SEDERHANA gaya Mr JOKOWI
    -PILIH saja Agama spt: BUDDHA/KATOLIK/PROTESTAN/ISLAM
    – DORONG anak 2 kita ke TNI/POLRI
    -jangan bangun RUMAH2 MEWAH dan pake mobil2MEWAH
    -Jangan nonjol2kan KESUKUAN TIONGHUA tapi INDONESIA
    -mari kawin campur dgn suku2 lain
    -bergaullah dgn suku2lain secara NORMAL
    Mudah2an bermanfa’at

    1. klu menurut saya ga perlu sampai segitunya, mewah boleh ,punya budaya, boleh cuma membaur dalam pergaulan masyarakat. misalnya ikut arisan, kerja bakti, dsb. udah, itu saja.

  7. Sayangnya rasialis jg d alami org pribumi yg kerja d perusahaan milik tionghoa, jabatan sama gaji beda.

    1. mungkin gaji itu tergantung tingkat kinerja pegawainya, klu lebih produktif otomatis lebih besar, klu cuma jabatan sama, gaji sama tapi yang satu ga produktif ya efisiensinya mana? ini lah yang sedang digagas pak ahok untuk pns jakarta, yakni pns meski jabatan sama tapi gaji tergantung prestasi dan produktifitasnya.

  8. Herman, Kebetulan kita punya nama marga yang sama.
    Setelah 1965, keluarga kita satu persatu keluar dari Indonesia.
    Meskipun kita anak2 dari salah satu pemimpin agama dan pendiri sekolah K-12 sampai ke Universitas yang ternama, tapi ayah pikir masa depan kita di Indonesia suram. Padahal kita sudah empat generasi lahir di Indonesia, juga tidak ngomong bahasa Mandarin. Juga ribuan anak2 muda teman saya sejak anak2 keluar negeri semua sehingga my home town kosong. Sekarang kita berkumpul di internet lagi. Semua paling sedikit sarjana sampai ke professors, bicara paling sedikit 5 languages, excell dan berkedudukan penting (sekarang pensiun) di masyarakat EU, US dan AU. Saya sendiri sekolah di EU dan hidup di US.
    Kita ini sebenarnya hanya pion kecil saja, saya kira pindah ke US akan tenang. Tidak taunya yang main dengan Orde Baru itu US juga. Anti Chinese itu hanya permainan politik, kita semua tau bahwa Indonesian Chinese bukan Communist. Malah banyak yang beragama dan kebanyakan punya duit. Tidak ada yang goblok ikut jadi Communist, jadi ini hanya alasan yang dibuat2. Juga setelah saya teliti, asal usul penduduk Indonesia, kecuali Papua/Negritos, asalnya dari South China, jadi turunan Chinese semua. Agama Islam datang ke Indonesia sebagian dibawa oleh orang Chinese. Dari Cheng He sampai Wali songo (8 Chinese), Raden Patah, Kyai Hasyim Ashari (kepala NU dengan 40 juta pengikut) itu turunan Chinese. Tapi yang Islam, ganti nama Arab, kemudian membaur tidak kelihatan, seperti Gus Dur. Lihat mesjid yang pakai Bedug, mana ada di Middle East? Jangan kita dipisahkan gara2 politik saja.

    1. di US yang notabene liberal itu jg ada rasis terhadap Cina? aq kira cuma rasis terhadap kaum Negro aja.

      iya, sejarah pemerintahan Indo zaman kerajaan itu juga ada yg kawin campur dg Cina.

      jadi ingat dulu waktu kecil pernah lihat film dokumenter penjajahan Indo (dari segi penjajah). aq lupa nama filmnya, yg pasti Inggrisan (& saat itu aq ga ngerti). film tsb cerita ttg perjalanan kolonel ke Indo, apa aja yg terjadi, dsb. yang heran, ada adegan yg mengilustrasikan bahwa Belanda menawan banyak orang utk dijadikan budak & dibunuh. nah, tawanan-tawanan tsb wajahnya oriental, bukan wajah orang pribumi. apa memang benar gitu ya, yg jadi korban zaman penjajahan Belanda tu ga cuma orang pribumi, tapi jg orang Cina yg ada di Indo

  9. Ada namanya jus soli (1 dan 2) pada masa orla. Pada jus soli 2 (1954), intinya etnis tionghoa diberi pilihan apakah mau ikut RRC ato Indonesia (dengan syarat). Yg ingin saya tau, pada masa itu apakah etnis tionghoa berbondong2 mengejar status WNI ?

    Kalo iya, bahwa mayoritas mau mengejar status WNI, maka peraturan larangan usaha kecil kpd etnis tionghoa merupakan diskriminasi.

    Kalo tidak, artinya mayoritas memilih untuk jadi WNA… maka peraturan larangan usaha kecil kepada etnis tionghoa bukanlah diskriminasi, namun usaha untuk mengamankan negara supaya ekonomi tidak dikontrol WNA (aturan wajar semua negara)

    1. Ius soli atau jus soli (bahasa Latin untuk “hak untuk wilayah”) adalah hak mendapatkan kewarganegaraan yang dapat diperoleh bagi individu berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara. Dia berlawanan dengan jus sanguinis (hak untuk darah).

      Pada waktu itu, pemerintah Tiongkok sendiri yang menawarkan kepada warga negara/keturunan/perantauan mereka di Indonesia untuk kembali ke tanah airnya dengan menawarkan perjalanan dengan naik kapal gratis; dan tidak sedikit yang memang memutuskan untuk pulang. Tahun-tahun setelahnya juga masih banyak warga yang pulang meski lewat biaya sendiri karena tergiur dengan janji yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok; dimana pasti akan hidup senang setelah tiba di daratan. Dari segi jumlah, tidak ada info jelas, mungkin sekira 200 ribu orang yang balik. Dari info kebanyakan yang pernah didapat, pengakuan ybs yang balik ataupun lewat keluarga ybs yang masih tinggal di Indonesia, mereka yang balik malah makin susah/sengsara di tiongkok daratan pada waktu itu. Pekerjaan susah, makan juga susah, tidak seperti yang mereka bayangkan diawal; karena pada waktu itu Tiongkok juga sedang dilanda kelaparan hebat akibat kebijakan Lompatan Jauh Kedepan.

      Informasi soal masyarakat perantauan yang balik pulang ke Tiongkok ini juga blog Tionghoa.INFO berencana melakukan penelitian mendalam dengan melibatkan beberapa saksi/pelaku pada waktu itu.

      Sebelum tahun 1965 mungkin banyak warga Tionghoa yang mau jadi WNI, tapi setelah tahun itu malah banyak yang ingin minggat ke luar; karena situasi dalam negeri yang sangat kacau (Gestok). Soal diskriminasi kepada WNA (Tionghoa), bukan hanya urusan ekonomi saja. Lihat 8 buah produk perundang-undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa diatas. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina; sangat jelas hanya dikhususkan terhadap warga Tionghoa, bukan seluruh WNA. Ini saya kira jelas WNA yang mana, yang mau DIMATIKAN sama penguasa pada waktu itu.

      1. Terima kasih Pak Herman 🙂

        Kalo masa orba, memang 100% penindasan, yang sampe sekarang menimbulkan efek nyata meskipun secara aturan sudah clear tidak SARA. Seperti halnya KKN yg berkembang biak begitu lama saat orba, sehingga skrg terlanjur mengakar / menjadi kearifan lokal yg susah diubah.

        Tapi tentang orla yg tertulis di artikel ini kurang tepat menurut saya. Jika membaca artikel ini saja maka persepsi yg terbentuk adalah; tionghoa tidak diterima di sini. Dan, itu bisa memunculkan kebencian turun temurun.

        Tahun 46 ada UU atau apalah, yg intinya sangat-sangat menghargai etnis tionghoa : hari lahir dan hari wafat konghucu dijadikan hari libur.

        Lebih lagi Sukarno banyak mengambil orang kepercayaannya dari etnis Tionghoa.

        Bahkan Sukarno menjadikan RRC sebagai inspirasi utk membangun Indonesia.

        Jika sikap Sukarno yang seperti itu kepada etnis Tionghoa, apakah UU tahun 59 itu bentuk ketidaksukaan (diskriminasi) Sukarno kepada etnis Tionghoa ?… atau bentuk ketidaksukaan Sukarno jika ekonomi mikro dikuasai WNA (yg kebetulan saat itu, etnis tionghoa banyak menjalankan ekonomi mikro) ?

        Itu sejarah umum yang saya tahu.

        1. O iya. Semoga rencana untuk meneliti kehidupan orang yang pergi ke Tiongkok segera terlaksana 🙂

          Salam,
          Setio.

      2. Maaf terlewat lagi.
        Tentang politik anti cina 56. Perlu dilengkapi juga. Pelopornya, kabinet sastroamijoyo via Asaat (masyumi), menjadi pemberontak sesudah kabinet dibubarkan oleh Sukarno. Jadi jelas, bahwa politik anti cina itu hanya keinginan segelintir orang yang sudah memprovokasi banyak orang di Indonesia. Bukan merupakan semangat orde lama (Sukarno).

        Menurut saya, maklum kalo banyak yang terprovokasi, krn saat itu rakyat memang masih kurang informasi.

        Sekarang semua orang sudah pintar (gampang akses informasi)… jadi sebenarnya saya hanya ingin artikel-artikel yang berimbang, yang bisa meluruskan masalah dan mengembalikan kepada semangat Sukarno untuk membentuk persatuan dan persaudaraan yang benar-benar utuh.

        Maaf kalo ada kata yang tidak berkenan,
        Setio 🙂

        1. Ternyata pengetahuan pak Setio Widianto luas. Begini, pak Setio dapat mengulas sisi sejarah ini lewat sebuah artikel kalau mau, dan akan kita tayangkan dan hargai sebagai sebuah pandangan penulis. Sayang kalau hanya lewat form komentar. Gimana pak?

          1. Masukan yg bagus Pak Herman. Kalau dikira perlu saya akan mencoba menuliskan pandangan saya. Sebelum itu saya ingin belajar terlebih dulu hubungan Belanda dan etnis Tionghoa pada masa penjajahan.

            Saya perkenalkan diri. Saya Setio,usia 25 tahun. Ambil jurusan Sastra Jepang saat kuliah.

        2. wow, dalem banget ya infonya. dapet dari mana? aq juga mau baca 🙂

          setuju, waktu baca artikel ini jd ngerasa aneh klo Bung Karno anti Cina @@ secara zaman itu kerjasama dg negara Cina erat gitu. plus dia juga orang yg bikin & menyetujui Pancasila.

          mungkin, akar dari anti Cina itu mirip-mirip kisahnya Hitler. ada oknum tertentu & dia punya kuasa, yang mana dia kepahitan secara pribadi dg orang Cina. mungkin. menurut aq pribadi sih. jadi si Hittler itu punya kepahitan yg sangat dalam (secara pribadi lho) ama orang Yahudi. makanya dia berusaha utk memusnahkan orang Yahudi, plus provokasi orang-orang supaya anti Yahudi. padahal ga semua orang Yahudi berperilaku buruk kan ya. sama halnya dengan orang Cina di Indo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?