Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan

“Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut,” ujar terdakwa kepada tetangga seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa. Tak lama setelahnya pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana..

Begitulah perkara berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilainya terlalu keras.

Meiliana, seorang Ibu keturunan etnis Tionghoa di Tanjung Balai pun akhirnya didakwa 18 bulan penjara lantaran mengeluhkan volume pengeras suara masjid. Ia diseret ke pengadilan dengan dugaan penistaan agama.

Menyusul kerusuhan SARA di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, seorang ibu berlatar belakang etnis Tionghoa didakwa dengan pasal penistaan agama lantaran mengeluhkan volume pengeras suara masjid. Meiliana yang berusia 44 tahun itupun diancam dengan hukuman penjara selama 18 bulan oleh jaksa penuntut umum.

Jaksa penuntut umum meyakini terdakwa bersalah menghina Islam saat membuat keluhan.

“Satu, menyatakan terdakwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” kata JPU Anggia Y Kesuma.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan pembelaan alias pledoi oleh terdakwa.

Perkara berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilainya terlalu keras.

“Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut,” ujar terdakwa kepada tetangga seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa. Setelahnya pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana.

Namun tanpa diduga pertemuan tersebut malah membuat keadaan semakin meruncing. Keluhan terdakwa ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan melempari rumah dan membakar 14 vihara umat Buddha. Pihak keluarga sebelumnya sempat meminta maaf. Namun upaya rekonsiliasi itu bertepuk sebelah tangan.

MUI Sumatera Utara bahkan sudah lebih dulu menerbitkan fatwa penistaan agama kepada Meiliana. “Adzan adalah bagian dari syariat agama Islam. Ucapan yang disampaikan Meliana adalah termasuk perendahan, penodaan dan penistaan terhadap syariat Islam, Kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sumut, Irwansyah kepada media Januari 2017 silam.

Komnas HAM saat itu memastikan tindak-tanduk massa merupakan bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia terhadap kaum minoritas. Namun ketika Meiliana didakwa 18 bulan penjara dan mendekam di Rutan Tanjung Gusta sejak Mei lalu, para pelaku kerusuhan hanya mendapat rata-rata hukuman kurung selama 1 bulan 15 hari oleh PN Tanjung Balai. (sumber berita : msn.com)

Baca juga : Para Terdakwa Kasus Pembakaran Vihara Tanjung Balai Hanya Divonis 2 Bulan, Ahok “Keseleo Lidah” Divonis 2 Tahun

A. Update 21/08/2018 : Resmi! Meiliana Divonis 18 bulan Penjara oleh Hakim

Kasus Tanjung Balai akhirnya selesai. Meiliana (44) tidak berhenti menangis setelah dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara oleh hakim. Dia dihukum pidana penjara setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama Islam yang memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumut, tahun 2016 lalu.

Hukuman terhadap Meiliana dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo pada persidangan di Pengadilan Negeri Medan, Selasa 21 Agustus 2018. Majelis hakim menjerat perempuan paruh baya itu dengan pasal 156a KUHP, sama persis dengan pasal yang dikenakan kepada Gubernur Jakarta, Ahok, Mei 2017 lalu.

“Menyatakan terdakwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan,” kata Wahyu.

Meiliana yang duduk sambil menyeka air matanya, usai mendengarkan putusan hakim. Tampak beberapa orang bersorban putih ikut “mengawal” jalannya persidengan.

Mendengar putusan majelis hakim, Meiliana langsung menangis. Sambil duduk di kursi pesakitan, dia berulang kali terlihat menyeka air matanya dengan sapu tangan. Menyikapi putusan majelis hakim, Meiliana bersama timpengacaranya menyatakan akan menempuh upaya banding.

Putusan majelis hakim rupanya sama dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tanjung Balai juga meminta agar Meiliana dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.

Peristiwa kerusuhan SARA di Tanjung Balai Medan ini bermula saat Meiliana mendatangi tetangganya di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai Selatan, Tanjung Balai, pada Jumat, 22 Juli 2016 pagi. Dia berkata kepada tetangganya,

“Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut sambil menggerakkan tangan kanannya ke kuping kanan.

Permintaan dari Meiliana pun sampai ke BKM Masjid Al Maksum sekitar pukul 7 malam. Tidak berselang lama, beberapa pengurus masjid langsung mendatangi kediamannya dan mempertanyakan kembali permintaan perempuan beretnis Tionghoa itu.

“Ya lah, kecilkanlah suara masjid itu ya, bising telinga saya, pekak mendengar itu,” jawab Meiliana waktu itu.

Mendengar jawaban dari Meiliana, sempat terjadi adu argumen beberapa saat. Namun setelah itu, pengurus masjid memutuskan kembali karena sudah waktunya melaksanakan salat isya. Merasa tidak enak karena sudah terjadi adu mulut di rumah, suami Meiliana, Lian Tui, mendatangi/menyusul masjid dengan maksud untuk meminta maaf.

Namun kejadian itu sudah terlanjur menjadi perbincangan warga masyarakat sekitar, sehingga situasi berubah menjadi ramai dan memanas.

Sekitar pukul 9 malam, kepala lingkungan menjemput Meiliana untuk memberikan keterangan di kantor kelurahan setempat. Sekitar pukul 11 malam, massa sudah semakin ramai terkumpul mulai berteriak, dan berjalan ke arah kediaman Meiliana untuk melempari rumahnya.

Kejadian tengah malam itu pun meluas dan berubah menjadi tidak terkontrol. Massa pun mengamuk dengan merusak serta membakar sejumlah Wihara dan Kelenteng yang ada di daerah sekitar (lihat ilustrasi diatas). Tak luput, beberapa kendaraan bermotor milik umat yang sedang terparkir di halaman tempat ibadah pun ikut menjadi korban.

Peristiwa kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai itu pun akhirnya masuk ke ranah hukum. Meiliana dilaporkan ke polisi, setelah Komisi Fatwa MUI Provinsi Sumatera Utara membuat fatwa tentang penistaan agama Islam yang dilakukan Meiliana.

2 tahun berselang, penyidik kepolisian akhirnya menaikkan status Meiliana sebagai tersangka. Tak lama, JPU memerintahkan kepolisian untuk menahan perempuan itu di Rutan Tanjung Gusta Medan sejak 30 Mei 2018.

Namun dalam persidangan, Meiliana sejatinya telah membantah dirinya melakukan sebagaimana dituduhkan oleh JPU.

“Saya merasa tidak bersalah pak hakim,” jawab Meiliana dengan nada tinggi, menanggapi pertanyaan Majelis Hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo.

“Gara-gara kasus ini keluarga dan anak-anak saya menjadi trauma pak hakim,” lanjutnya.

Meiliana menjelaskan kepada perangkat persidangan bahwa dirinya tidak pernah meminta volume adzan di masjid dikecilkan. Ia hanya menyatakan bahwa suara adzan terdengar lebih keras dari biasanya.

“Tidak ada saya menyebutkan bilangkan sama pak Makmur kecilkan suara toa di Masjid, karena telinga saya bising. Saya hanya bilang kepada kak Uwo bahwa suara adzan sekarang di masjid deras, tidak seperti biasanya,” terang Meiliana saat menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Anggia Kesuma dari Kejari Asahan.

Kepada Majelis Hakim, Meiliana juga mengatakan bahwa dirinya mengetahui nilai-nilai toleransi di Indonesia. Dia juga menyebutkan soal kedekatan dengan pembantunya yang beragama Islam.

“Pembantu saya beragama Muslim. Dia sudah kerja sama saya, sampai saya pindah ke Medan ini. Pas kejadian itu bahkan dia yang membantu memberesi kaca-kaca yang pecah dan berserakan (akibat dilempar massa),” ujar Meiliana dengan sesekali mengusap air matanya di ruang sidang Cakra Utama.

Kasus ini belum berkekuatan hukum tetap, karena sdri. Meiliana beserta kuasa hukumnya memutuskan untuk BANDING. Namun ybs masih harus mendekam di penjara, sampai persidangan lanjutan/bandingnya digelar.

B. Update 28/08/2018 : Sepekan Usai Menjatuhkan Vonis Meiliana Kasus Penista Agama, Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo Diciduk KPK

Foto kiri : Hakim Pengadilan Negeri Medan Wahyu Prasetyo Wibowo. Foto kanan : Terpidana kasus penistaan agama, Meiliana .

Mungkin ini yang namanya HUKUM KARMA …

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menangkap 6 orang (lain sumber menyebut 8 orang) hakim Pengadilan Negeri Medan, pada Selasa, 28 Agustus 2018 pagi. Salah satunya adalah Wakil Ketua PN Wahyu Prasetyo Wibowo.

“Mereka membawa Ketua PN Medan (Marsudin Nainggolan), Wakil Ketua PN Medan (Wahyu Prasetyo Wibowo), hakim ad hoc tipikor (Meraoke Sinaga), hakim ad hoc tipikor (Merry (Purba), serta 2 orang panitera yang bernama Elpandi dan Oloan Sirait” kata Erintuah, humas PN Medan.

Wakil ketua PN Wahyu Prasetyo sendiri merupakan ketua majenis hakim yang memvonis Ibu Meiliana kasus tanjung balai selama 18 bulan. Dia dianggap melakukan penodaan agama Islam karena kritiknya pada volume suara adzan.

Jika merujuk pada pernyataan KPK, kemungkinan mereka tertangkap terkait OTT (Operasi Tangkap Tangan) karena kasus korupsi. Karena kasus ini, sejumlah meja dan ruangan hakim tersebut sudah disegel oleh KPK.

C. Update 25/10/2018 : Upaya Banding Yang Diajukan Kuasa Hukum sdri. Meiliana DITOLAK

“Jeritan” Meiliana dari balik penjara. Tampak surat yang ditulis ybs untuk diberikan kepada tim kuasa hukumnya, sebagai lampiran berkas dalam tingkat kasasi.

Upaya banding yang diajukan sdri Meiliana DITOLAK hakim. Putusan itu diketok pada Kamis, 25 Oktober 2018 kemarin dengan ketua majelis Daliun Sailan serta anggota majelis Prasetyo Ibnu Asmara dan Ahmad Ardiana Patria. Majelis Hakim tetap memutuskan agar ybs dihukum 18 bulan penjara.

3 hari berselang setelah upaya bandingnya ditolak, (minggu, 28/10/2018), beliau mengajukan upaya kasasi (naik banding) ke MA (Mahkamah Agung), yang intinya meminta agar dibebaskan karena tidak pernah melakukan “penistaan agama” sebagaimana dakwaan jaksa dalam sidang.

jika masih belum bisa, maka upaya hukum yang terakhir adalah melakukan permohonan PK (Peninjauan Kembali) di tingkat MA; namun itupun hanya bisa dilakukan apabila ditemukan bukti2 baru. Jika tidak/kurang bukti baru, maka berkas permohonan terdakwa akan ditolak sebelum disidangkan.

Upaya GRASI tidak bisa dilakukan, kecuali ybs mengaku bersalah. Tentu ini akan bertolak belakang, karena ybs bersikeras bahwa tidak pernah melakukan tindakan penistaan agama, seperti yang dituduhkan padanya. Permohonan grasi juga biasanya diajukan pada kasus2 kejahatan serius, seperti penyeludupan narkoba.

Apapun itu, tidaklah dibenarkan aksi anarkis masyarakat yang membakar 11 vihara dan kelenteng sekitar; dimana para pelakunya hanya di bui selama 2 bulan. Apa itu seimbang, pak Hakim?

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

2 thoughts on “Kasus Tanjung Balai Medan : Meiliana Dituntut Pidana 18 Bulan Dengan Tuduhan Penistaan Agama!”
  1. Update.

    Detik.com. selsa. 28 Agustus 2018. “Hakim Yang ditangkap KPK Wakan PN Medan yang Vonis Meliana”.

    Tribun-Medan.com. 28 Agustus 2018. “Sepekan usai vonis Meliana. Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo diciduk KPK.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?