I Ching (Hanzi : 易经; pinyin : Yìjīng) merupakan salah satu kitab terpenting, dan kitab paling awal dalam peradaban Tiongkok kuno. I Ching dikenal juga sebagai Kitab Perubahan dan salah satu dari 5 Karya Klasik. Awalnya I Ching digunakan untuk memprediksi dan menggambarkan masa depan.

Tapi lambat laun penggunaan I Ching meluas hingga menjadi sumber filosofi, dan menjadi bagian penting dari kebudayaan serta kebijaksanaan Tiongkok Kuno itu sendiri. Seperti yang diajarkan Konfusius (孔子, Kongzi), yang menganggap I Ching adalah kitab tentang kebijaksanaan moral. Filsafat Dao De Jing (道德经), Laozi (老子) juga terinspirasi dari isi kitab perubahan ini.

Demikian juga, praktek ilmu Fengshui sampai ahli strategi perang Sun Tzu (孙子; Sunzi) yang terkenal itu, semuanya didasarkan dari Kitab Perubahan I Ching ini.

Sejarah I Ching

Menurut Handjojo dalam bukunya yang berjudul “Mengenal Kitab I-Ching; Sebuah Kebenaran Tak Berubah tentang Perubahan“, Kitab I Ching awalnya mengandung simbol yang berupa garis putus dan garis lurus yang tidak putus. Garis ini, nantinya dikombinasikan dan membentuk apa yang disebut trigram.

Lalu seiring perkembangannya, bentuk trigram tadi digabungkan untuk membentuk 64 simbol, yang terbentuk dari 6 garis putus-putus dan garis lurus yang tidak putus, yang disebut hexagram.

3 garis lurus yang tidak putus disebut sebagai garis Yang, disimbolkan sebagai sosok ayah dan figur maskulin; sedangkan 3 garis patah disebut garis Yin, disimbolkan sebagai sosok ibu dan figur feminin. Dari sinilah nanti praktisi I Ching meng-interpretasikan maknanya untuk memberi penjelasan dalam memandu seseorang.

Jika ada yang penasaran bagaimana bentuk sederhananya, silahkan terlebih dahulu anda mengkonsentrasikan pikiran anda mengenai sesuatu yang anda ingin tanyakan, lalu coba klik halaman ini, dan ikutilah petunjuk berikutnya untuk mendapatkan interpretasi sederhana.

Secara tradisional, Raja Wen (1100 SM) dipercaya sebagai penulis kitab I Ching, atau yang disebut juga Kitab Perubahan. Raja Wen atau dikenal sebagai Ji Chang, adalah salah satu Raja sekaligus founding father Dinasti Zhou (1046-256 SM).

Meskipun pendapat ini masih menjadi kontroversi di kalangan sejarawan modern, tapi menurut S.J Marshall dalam bukunya, “The Mandate of Heaven“, para praktisi traditional I Ching merasa tidak perlu repot2 mempermasalahkan hal itu; dan hasilnya sekarang terdapat perbedaan pendapat mengenai sejarah I Ching, yaitu pendapat dari akademisi modern dan pendapat dari kalangan praktisi tradisional.

Tapi sejauh apapun perbedaan pandangan mereka, ternyata selain perbedaan sudut pandang, makin ke sini ternyata pengaplikasian dari filosofi I Ching makin banyak diakui kegunaannya oleh para ilmuwan modern.

Ini sesuai dengan anggapan para praktisi tradisional I Ching, bahwa I Ching adalah rangkuman filosofi yang mencakup alam semesta, dan karenanya kegunaannya bisa diaplikasikan dalam bidang apapun. Hal ini menegaskan, bahwa I Ching memang adalah salah satu filosofi yang tidak lekang oleh zaman, karena I Ching tetap mampu memberikan kontribusinya bagi kepentingan umat manusia hingga saat ini.

Berikut beberapa kegunaan I Ching di era masa kini, yang telah diakui ilmuwan modern :

1. I Ching dan Psikoanalisa

Carl Jung (1875-1961) adalah nama besar di bidang psikologi. Beliau bersama koleganya, Sigmund Freud, yang adalah peletak dasar teori psikoanalisa, salah satu cabang ilmu Psikologi yang berusaha mengungkap alam bawah sadar.

Namun berbeda dengan Sigmund Freud, yang berpendapat alam bawah sadar manusia hanya berkutat pada individu dan pengalaman individu itu, Carl Jung mengembangkan analisisnya lebih jauh. Menurutnya, alam bawah sadar itu jauh lebih kompleks daripada sekedar pengalaman individu belaka.

Carl Jung berpendapat tentang adanya “alam bawah sadar kolektif”, yaitu alam bawah sadar manusia yang saling terhubung dan terkoneksi, bukan hanya dengan pengalamannya sebagai individu, namun juga terkoneksi dengan pengalaman bawah sadar individu lainnya, pengalaman masyarakat sekitarnya, juga pengalaman peradaban di masa lampau.

Itu adalah suatu terobosan yang berani, karena baru pertama kali di abad modern ini, pembahasan yang bersifat mistik seperti itu dijadikan topik pembahasan di ranah akademik.

Untuk memperkuat teorinya itu, Carl Jung mengabdikan hidupnya berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya, untuk menyelidiki simbol dan makna yang tersembunyi dari tiap peradaban serta kebudayaan, beserta kaitannya dengan individu dan alam bawah sadarnya.

Dalam halaman pengantar yang ditulis tahun 1949 untuk buku “The I Ching or Book of Changes” yang ditulis oleh Richard Wilhelm dan Cary F. Baynes, Carl Jung secara mengejutkan mengungkapkan bahwa dirinya telah menjadi praktisi I Ching selama 30 tahun lebih, dan I Ching merupakan sarana baginya untuk menjelajahi alam bawah sadar.

Selanjutnya Carl Jung juga mengkritik sistem filosofi Barat yang menurutnya kaku, dan sudah saatnya mereka membuka diri pada perspektif yang lain, salah satunya I Ching ini.

Dalam pengantar itu, Carl Jung membuka diri pada kemungkinan lain, dimana alam bawah sadar bisa saling berkaitan dengan ruang dan waktu, dan menghasilkan sebuah proses yang dia namakan “sinkronisitas” (lawan kata dari kausalitas) yang menyebabkan seseorang mengalami “suatu kebetulan yang bukan kebetulan.”

Dimana pengalaman subjektif seseorang, entah bagaimana terasa relevan dengan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.

Kita mungkin sering mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dimana nomor plat nomor yang kita lihat, entah bagaimana bisa membuat kita teringat pada tanggal ulang tahun pasangan yang nggak bisa kita ingat, atau misalnya tiba2 dihubungi oleh seseorang yang mendadak kita ingin tahu bagaimana kabarnya.

Sinkronisitas adalah salah satu pondasi penting dalam teori yang dirumuskan Carl Jung, sebagaimana alam bawah sadar kolektif. Karena menurut Carl Jung, alam bawah sadar kolektif bisa memungkinkan diakses dan ditelusuri dengan adanya proses sinkronisitas ini.
Dan itulah sebabnya I Ching mendapat tempat yang terhormat dalam psikologi Jungian.

Karena bantuannya, teori psikoanalisa Carl Jung menjadi salah satu temuan penting dalam bidang Psikologi, seperti yang diutarakan J. Goulding dalam bukunya “The forgotten Frankfurt school: Richard Wilhelm’s China Institute. Journal of Chinese Philosophy“.

2. I Ching dan Konseling (Psikoterapi)

Dalam dunia terapi psikologi dan konseling, keberhasilan dari sebuah sesi terapi adalah disaat klien berhasil membangkitkan “insight” dalam dirinya.

Insight sendiri artinya adalah pemahaman yang muncul dari diri seseorang, dan pemahaman ini dampaknya harus cukup besar untuk bisa mengubah sudut pandangnya mengenai permasalahan yang dia alami; dan dari sudut pandang yang baru ini, diharapkan akan membuatnya mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dia alami.

Namun sebelum mencapai “insight”, salah satu syarat yang harus dipenuhi sang klien adalah dia harus mau terbuka pada konselornya, dan menceritakan permasalahan yang dia hadapi dengan apa adanya. Dari kendala yang dialami di lapangan, seringkali para klien kesulitan untuk membuka diri, akibatnya sesi konseling seringkali berjalan dengan tidak efektif.

Untuk mengatasinya, Susan Rako, seorang doktor praktisi kejiwaan lulusan Albert Einstein College Medicine dalam artikelnya di Psychologytoday, dia menyatakan tidak keberatan menggunakan metode I Ching guna membantu dalam proses terapinya.

Susan menyatakan, memasukkan sesi peramalan I Ching seringkali membantunya untuk menciptakan dorongan pada diri klien untuk lebih terbuka pada sesi konseling. Selain itu, dia jadi bisa dengan bebas menciptakan stimulus tertentu guna memahami alam bawah sadar kliennya.

Meskipun Susan Rako tidak menggunakan I Ching secara spesifik dalam kaitan ramal-meramal, tapi dia berpendapat bahwa apa yang diutarakan I Ching cukup memberi respon positif pada diri kliennya. selanjutnya, dia tinggal memberi motivasi dan penjelasan, bahwa semua pilihan kliennya haruslah didasarkan pada tanggung jawab dan pikiran yang rasional.

Sebenarnya hal itu juga diperbolehkan oleh Carl Jung sendiri. Bahkan faktanya, jenis terapi asosiasi bebas, pada prakteknya prinsipnya sama persis dengan yang diterapkan Susan Rako diatas, yaitu mendorong klien untuk terus bersikap terbuka.

Carl Jung menyatakan,

“I Ching tidak menawarkan dirinya tentang bukti dan hasil yang nyata; dia tidak perlu itu untuk membuktikan dirinya sendiri, dia juga tidak perlu untuk dimengerti. Seperti halnya bagian dari alam, dia hanya menunggu sampai dirinya diketemukan maknanya secara alami.

Dia tidak menawarkan fakta atau kekuatan (jikapun ada hal seperti itu), meski tampaknya dia adalah kitab yang tepat untuk hal seperti itu. Bagi seseorang, ruh semangatnya terlihat cerah bagaikan di siang hari, bagi yang lain agak temaram seperti senja, bagi yang lain mungkin akan terlihat gelap bagaikan malam.

Mereka yang tidak setuju dengan hal itu tidak perlu menggunakannya, dan mereka yang menentangnya tidak diperbolehkan menemukan kebenarannya. Biarkan I Ching selanjutnya pergi ke dunia untuk memberi manfaat bagi mereka yang bisa memahami maknanya.”

Ya, bukankah lebih baik I Ching dimanfaatkan bagi mereka yang memahami maknanya?

3. I Ching dan Interpretasi Mimpi

Mimpi adalah salah satu topik menarik untuk dibahas sepanjang masa. Banyak kisah, legenda, sampai mitos yang menceritakan tentang peran sebuah mimpi. Mimpi sendiri dalam ilmu psikologi mempunyai banyak tafsir dan makna.

Ada yang menganggap mimpi tidak lain hanyalah proyeksi dari kehidupan sehari-hari. Ada juga yang menganggap mimpi adalah bagian dari alam bawah sadar yang ingin direpres oleh alam sadar; dan ada pula yang menganggap mimpi adalah sebuah pesan yang disampaikan guna refleksi diri.

Banyak para peneliti yang mengabdikan diri mereka untuk memahami mimpi, dan mengembangkan teori mereka berdasarkan pendapat para ahli. Namun ada juga beberapa peneliti yang mencoba menerapkan analisis mimpi berdasarkan filosofi kuno, termasuk I Ching tentunya.

Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan International Journal of Dream Research Volume 5, No. 2 (2012), yang ditulis oleh José Henrique Rocha Dias Correia, yang berjudul, “One Hypnagogic Dream And The I Ching: A Plausible Interpretation“.

Sang penulis menggunakan I Ching dalam menginterpretasikan mimpinya yang dianggapnya tidak biasa, karena sang penulis mengalami suatu gejala yang disebut Hypnagogic, yang juga dikenal sebagai Sleep Paralysis, yaitu salah satu bentuk halusinasi normal yang biasa terjadi saat tertidur, dimana subjek melihat, mencium, mendengar, menyentuh atau merasakan sensasi tertentu (terasa nyata) ketika tidur.

Sang penulis, jika dia mengalami gangguan itu, dia menginterpretasikannya dengan komentar dalam buku yang ditulis oleh Richard Wilhelm, “The I Ching or Book of Changes.” Dan sebagai kesimpulan penelitiannya, dia menuliskan :

“Hal itu memungkinkan untuk memperkuat interpretasi makna (hermeneutika) melalui cara yang sederhana, dan ringkas, meski benar-benar membingungkan jika diterapkan dalam kasus mimpi hipnagogis ini, untuk memilih metode instrumental yang cocok untuk eksplorasi makna.

Metode instrumen dalam kasus ini adalah I Ching. Fungsinya sesuai dengan semacam variasi eidetik yang digunakan dalam Fenomenologi Hermeneutik. Isi laporan singkat ini menunjukkan dengan jelas bagaimana potensi hermeneutika, atau beragam makna yang terkait dengan mimpi tertentu bisa terungkap. Metafora adalah inti dari hermeneutika.

Mimpi yang dilaporkan dapat dianggap sebagai satu metafora; dan I Ching membuka banyak metafor lain yang terhubung secara koheren dengan metafora yang terkandung dalam mimpi itu. Semua metafora yang dianggap bertentangan dengan referensi atau konteks yang sama, pada intinya akan saling memperkuat pengertian arti setiap metafora.”

Jadi intinya, dengan menggunakan metode yang terkandung dalam I Ching, subjek akan bisa menginterpretasikan mimpinya dengan baik. Karena setiap mimpi, meski terlihat sama, namun akan menunjukkan metafora yang berbeda, dan nantinya setiap metafora yang terungkap akan memberikan arti yang berbeda, sekaligus mempertegas makna dari mimpi yang lain.

Tertarik untuk mencoba?

4. I Ching dan DNA

DNA, atau kependekan dari Asam deoksiribonukleat (DeoxyriboNucleic Acid) adalah sejenis biomolekul yang didalamnya tersimpan dan mengkodekan instruksi genetik setiap organisme dan banyak virus. Instruksi genetik ini berperan penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi organisme, dan juga virus.

DNA pertama kali diamati oleh seorang ahli biokimia asal Jerman, Frederich Miescher, pada tahun 1869. Tetapi waktu itu, para peneliti belum menyadari betapa pentingnya molekul-molekul DNA ini.

Barulah pada tahun 1953, James Watson, Francis Crick, Maurice Wilkins, dan Rosalind Franklin, menyadari bahwa struktur DNA (double helix) dapat membawa informasi biologis bagi setiap makhluk hidup.

Penemuan struktur DNA itu digadang menjadi salah satu pencapaian terbesar di dunia sains yang membuka kemungkinan tak terbatas. Kini kita tahu cetak biru (blueprint) kehidupan. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membuat makhluk hidup? Seperti itu adanya.

Dengan mengetahui struktur DNA, kita bisa tahu ‘kode’ tiap organisme yang ada di muka bumi ini. Manusia bisa sangat mungkin memodifikasi kode genetik organisme apapun.

Tapi ternyata kode yang terkandung dalam DNA, entah bagaimana memiliki kemiripan dengan apa yang terkandung dalam I Ching yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu.

Dalam hampir setiap filosofi kuno, disebutkan bahwa manusia adalah bagian terkecil dari alam semesta. Ibaratnya, manusia adalah miniatur alam semesta. Apa yang terkandung dalam diri manusia, akan bisa kita lihat juga di alam semesta.

Seorang peneliti asal Inggris, Michael Hayes menganggap serius filosofi ini. Dalam bukunya, “The Hermetic Code in DNA: The Sacred Principles in the Ordering of the Universe“, dia memutuskan untuk menelitinya lebih jauh; dan sebagai hasilnya dia menemukan sebuah hubungan yang menakjubkan antara kode yang terkandung dalam geometri suci, I Ching dengan DNA manusia.

Michael Hayes menuliskan,

“Saya menyadari bahwa faktanya, semua diagram yang saya susun mengingatkan saya persis sekali dengan format dari karya terkenal Tiongkok yang dikenal sebagai I Ching, yang dimana 64 teks dasar dari tiap terbentuknya DNA, bisa diidentikkan dengan simbol 6 garis pada Hexagram.” (Michael Hayes, The Hermetic Code in DNA: The Sacred Principles in the Ordering of the Universe, hal 15).

Selanjutnya Michael Hayes menemukan sesuatu yang tidak kalah mencengangkan. Dalam penelitiannya itu dia menemukan suatu pola angka yang berulang-ulang, yaitu 4, 3, 64, 8 dan 22 , yang disadarinya adalah komponen penting bagi kode Hermetik dan geometri suci dari Barat, dan lebih khusus lagi, memiliki koneksi langsung ke musik.

Angka 22 adalah angka kunci dari sistem Pythagoras “terutama karena aspek musiknya.” Apa yang diwakilinya sebenarnya adalah “tiga oktaf getaran, atau notasi, tiga set delapan – dua puluh-empat komponen. Tapi di manakah angka 22 masuk?

Jawabannya sangat sederhana. Jika seseorang duduk di instrumen keyboard, dan mulai dengan notasi “C,” lalu naik 8 notasi hanya menggunakan tombol putih, orang akan kembali pada “C” 1 oktaf lebih tinggi, tepat 8 not kemudian.

Ulangi proses ini lagi, dan pada notasi ke-16 di atas aslinya, seseorang kembali pada “C,” dan lagi untuk ke-3 kalinya, dan 1 kembali pada nada ke-24, yang sekali lagi “C.” Tapi karena 2 dari “C” ini hanyalah pengulangan dari “C” asli, orang mungkin menganggap 3 oktaf sebagai perwujudan angka 22, serta 24.499 (Michael Hayes, The Hermetic Code in DNA, hal 18 – 19.)

Implikasinya sangat besar, dan Hayes cepat memahami apa itu :

“Sejak saat itu dan seterusnya, mulai musim panas 1984, saya menghabiskan beberapa tahun berikutnya menjelajahi sejarah, seperti menjelajahi labirin. Saya secara otomatis berasumsi bahwa, jika orang-orang China dan Yunani “mencocokkan” ke dalam ilmu kuno ini … maka mungkin juga beberapa tradisi dan peradaban lain … Ternyata, buktinya sangat banyak.

Di mana2 saya melihat melihat simbol2 musik mengarahkan diri di belakang saya: setiap agama besar yang diketahui dan tradisi esoteris dalam sejarah yang tercatat, telah lama menganut ilmu ini … Di sini sebenarnya adalah faktor penting yang hilang, yang kurasakan telah lama ada; unsur magis telah memberi gerakan keagamaan kekuatan untuk mempengaruhi pikiran dan hati miliaran orang dengan cara yang begitu mendalam dan luar biasa.

Mereka semua dengan tepat didasarkan pada prinsip harmoni, harmoni yang digaungkannya, secara harfiah, di setiap sel tubuh kita, dalam DNA kita, dan dalam kode genetik kita. Karena itu, ini adalah harmoni alam …” (Michael Heyes, The Hermetic Code in DNA: The Sacred Principles in the Ordering of the Universe, hal 19-20)

Ya, sebuah harmoni alam yang notasinya telah tertulis dalam banyak ajaran kuno, termasuk diantaranya I Ching. Namun maukah kita menerimanya? Pilihan ada di tangan kita.

Karena seperti yang dikatakan Carl Jung, “Mereka yang tidak setuju dengan hal itu tidak perlu menggunakannya, dan mereka yang menentangnya tidak diperbolehkan menemukan kebenarannya. Biarkan I Ching selanjutnya pergi ke dunia untuk memberi manfaat bagi mereka yang bisa memahami maknanya.”

Penulis : David I Nainggolan

By Penulis Lepas Tionghoa

Kumpulan artikel yang berasal dari Penulis Lepas blog Tionghoa.INFO. Klik halaman 'Authors' untuk bergabung bersama kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?