Last Updated on 1 July 2021 by Herman Tan

Perang Opium atau dalam bahasa Mandarin disebut 鴉片戰爭 (Ya Pian Zhanzheng) adalah salah satu poin terpenting dalam sejarah Tiongkok. Disini menandakan betapa tertutupnya Tiongkok pada waktu tersebut dari dunia luar dan menunjukan bahwa korupsi dapat menghancurkan diri sendiri bahkan dapat menghancurkan negara.

Perang Opium dibagi menjadi 2 bagian. Pada bagian kali ini akan dibahas pada bagian pertama dan awal mulanya terjadi perang opium yang juga bisa dikaitkan dengan berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC) atau juga disebut 中華人民共和國.

Sebelum dekade keempat abad 19, Inggris Raya adalah salah satu negara kapitalis yang sangat berkembang.

Setelah menaklukan India, Inggris Raya segera merencanakan invasi ke Tiongkok yang pada waktu itu masih dikuasai oleh Dinasti Qing (大清) dan pada jaman dulu masi belum disebut Negara Tiongkok belum disebut dengan “Tiongkok” tapi ”大清“ dibaca ” Da Qing” yang merujuk pada Dinasti Qing.

Awalnya Inggris Raya mendagangkan katun dan bahan tekstil lainnya. Pada waktu itu, Tiongkok dapat menghasilkan kepentingan utama seperti makanan, pakaian dan lainnya. Masyarakat Tiongkok pun tidak terlalu menerima bahan tekstil dan katun yang dijual oleh Inggris. Perdagangan dengan Tiongkok pun gagal.

Untuk membalikan perdagangan, Inggris mulai menyelundupkan opium dalam jumlah besar ke Tiongkok.

Tentunya untuk mempermudah penyelundupan, mereka melakukan penyuapan pada pejabat Qing. Opium tidak hanya menghancurkan kesehatan tapi juga mengakibatkan perak, yang pada waktu itu digunakan sebagai mata uang perdagangan, mengalir keluar dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan krisis finansial terhadap Dinasti Qing.

Pada tahun 1820, Inggris berhasil menyelundupkan 4.000 peti berisi opium (1 peti diperkirakan seberat 59 kg atau 130 pon) dan terus bertambah menjadi 40.000 peti pada tahun 1838. Sementara itu, pengguna opium terus meningkat dengan pesat dan para pejabat pun semakin korup.

Dari pihak Dinasti Qing, perdagangan opium harus dihentikan sedangkan di pihak Inggris berminat untuk terus menyelundupkan opium karena keuntungan yang cukup besar. Pada tahun 1838, Kaisar Qing, Daoguang, mengutus komisaris kekaisaran yang bernama Lin ZeXu (林則徐) dengan misi khusus untuk menghentikan perdagangan.

Bulan maret tahun 1838, Lin ZeXu memerintahkan agar menyerahkan semua opium dengan ancaman hukuman mati. Inggris dan Amerika pun setuju menyerahkan semua opium dengan total 20.000 peti seberat 1.5 juta kilogram.

Pada bulan Juni, Lin ZeXu memerintahkan agar semua opium untuk dibakar di Pantai Humen, dekat Guangzhou. Butuh waktu lebih dari sebulan untuk membakar habis semua opium yang ada.

Setelah membakar habis opium, dinasti Qing memerintahkan agar perdagangan dapat berjalan kembali dengan normal tetapi dengan syarat bahwa opium tidak boleh diperdagangkan.

Kejadian ini mencetus kemarahan orang Inggris dan mereka pun mendeklarasikan perang dengan Dinasti Qing pada tahun 1839. Inggris pun mulai menyerang daerah pesisir Guangzhou atau Kanton.

Karena pada waktu itu Pemerintah Qing melemah, mereka pun tidak mampu untuk berperang melawan Inggris dan mengakibatkan kekalahan fatal dalam sejarah Tiongkok.

Kekalahan ini menyebabkan Dinasti Qing dengan terpaksa menandatangani Perjanjian Nanking atau Nanking Treaty (南京條約) pada bulan Agustus tahun 1842 di atas kapal Inggris, HMS Cornwallis di kota Nanjing.

Perjanjian ini menandakan akhir dari perang opium dengan Inggris dan juga ini adalah pertama kali dari perjanjian tidak setara terhadap Dinasti Qing karena Inggris tidak memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan balik.

Perjanjian ini memaksa Dinasti Qing untuk membuka 5 kota sebagai kota untuk berdagang. 5 kota ini adalah ; Guangzhou (Kanton), Amoy (Xiamen), Fuzhou, Ningbo, dan Shanghai. Di dalam perjanjian, Inggris diperbolehkan berdagang dengan siapa saja dalam tarif yang ditetapkan oleh pihak Inggris.

Pemerintah Dinasti Qing juga diwajibkan untuk membayar total 6 juta perak untuk opium yang telah dibakar habis, 3 juta perak untuk menutup hutang pedagang Hong di Kanton, dan 12 juta untuk membiayai kerusakan yang diakibatkan dari perang.

Salah satu bagian terpenting dari perjanjian Nanjing adalah pemerintah Dinasti Qing harus menyerahkan pulau Hongkong kepada ratu Inggris pada waktu itu yaitu Ratu Victoria.

Wilayah Hongkong sendiri diperkirakan sudah mulai ditinggali manusia sejak jaman Neolitikum, namun baru dikenal secara luas saat Hongkong diserahkan kepada Britania Raya setelah Perang Opium pada abad ke-19. Menurut catatan, pada tahun 1513, pelaut Portugis Jorge Alvares adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi Hongkong.

Dalam Konvensi Peking tahun 1860 (setelah Perang Opium ke-2), Kowloon dan Stonecutters Island diserahkan kepada Britania Raya. Sedangkan New Territories, termasuk Lantau Island, disewakan kepada Britania selama 99 tahun, dimulai sejak 1 Juli 1898 s/d 30 Juni 1997. Pada tanggal 1 Juli 1997, Hongkong diserahkan Inggris ke Tiongkok.

By Kisko Poluan

Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional @LSPR, Chinese Language and Literature @Xiamen University. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?