Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado
Yap Thiam Hien, merupakan seorang pengacara keturunan Tionghoa-Indonesia yang meraih popularitasnya di era Orde Baru. Lahir di Aceh, 25 Mei 1913, Beliau merupakan anak sulung dari 3 bersaudara, yang lahir dari pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio.
Karena kakeknya Yap Hun Han dulunya merupakan seorang kapitan Cina¹, tak heran sejak kecil Yap Thiam Hien memiliki sifat pemberontak dan membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan penindasan dan semena-mena.
Biografi Yap Thiam Hien
Nama Lengkap : Yap Thiam Hien (ejaan Hokkian)
Nama Mandarin : 叶添兴 (Ye Tianxing)
Tempat/Tanggal Lahir : Kuturaja, 25 Mei 1913
Meninggal : Brussel, Belgia, 29 April 1989 (usia 75)
Almamater : Universitas Leiden
Pekerjaan : Pengacara
Pasangan : Tan Gien Khing Nio
Anak : Yap Hong Gie (putra sulung), Ya Hong Ay (putri bungsu)
A. Kehidupan Awal Yap Thiam Hien
Di usia 9 tahun, ibu Yap Thiam Hien meninggal dunia. Lalu ia dan kedua adiknya dibesarkan oleh Sato Nakashima, perempuan asal Jepang yang merupakan gundik kakeknya.
Sato berperan besar dalam hidup Yap Thiam Hien, karena Sato memiliki hati yang lembut, juga mengajarkan sikap etis dan menjunjung tinggi moral, yang kelak akan menjiwai kehidupan Yap Thiam Hien di masa depan.
Sedangkan ayah Yap Thiam Hien, Yap Sin Eng, merupakan figur yang lemah. Namun ia tetap ikut berperan membentuk kehidupan anak-anaknya. Ayah Yap Thiam Hien memohon status hukum ke pemerintah kolonial di Indonesia, agar disamakan dengan masyarakat bangsa Eropa.
Dengan ini, maka kemungkinan besar anak-anaknya akan memperoleh pendidikan dan jaminan kehidupan di Eropa, meski kelak mereka telah kehilangan statusnya sebagai tokoh masyarakat.
Yap Thiam Hien menjalani pendidikan di sekolah kolonial Belanda, Europesche Lagere School, Aceh. Ayahnya membawa Yap Thiam Hien beserta adik-adiknya untuk pindah ke Batavia, untuk melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan Sekolah Menengah Pertama pada jaman kolonial Belanda di Indonesia.
Setelah itu, Yap Thiam Hien meneruskan ke AMS A-II (Algemene Middelbare School), yang merupakan sekolah pendidikan menengah umum (setingkat SMA), dengan program Bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta.
Beliau sangat tertarik pada sejarah dan fasih dalam beberapa bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Prancis, dan sebagainya.
Yap Thiam Hien lulus sekolah di tahun 1933; dan karena pengaruh unsur sekolah barat, beliau berganti kepercayaan memeluk Agama Kristen di tahun 1938.
Dunia pada saat itu sedang dilanda krisis ekonomi, dan sedang menuju perang dunia ke 2. Saat Yap Thiam Hien selesai dari pendidikan setara SMA nya di AMS, ia tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Karena itu beliau kembali melanjutkan ke sekolah tinggi pendidikan guru di Hollands Chineesche Kweekschool (HCK), yang terletak di Meester Cornelis, Batavia.
Yap Thiam Hien menjalankan pendidikan tersebut selama satu tahun. Sekolah tinggi Hollands Chineesche Kweekschool (HCK) ini memberikan kesempatan pada para pemuda Tionghoa yang ingin melanjutkan pendidikan professional nya, tetapi tidak memiliki biaya/terkendala dana untuk masuk universitas.
B. Saat Yap Thiam Hien Menjadi Guru dan Berangkat ke Negeri Kincir Angin
Setelah lulus dari HCK, Beliau menjadi guru selama 4 tahun di sekolah lokal yang tidak pernah diakui pemerintah kolonial Belanda, atau disebut dengan “Wilde Scholen” di Chinese Zendingschool, di Cirebon Jawa Barat.
Setelah 4 tahun berlalu, beliau pindah ke Tionghwa Hwee Kwan Hool, China School di Rembang ,Jawa Barat. Selain itu, beliau juga pernah menjadi guru di Christelijke School,Batavia.
Di tahun 1938 Yap Thiam Hien juga pernah menjadi sales langganan telepon. Beliau juga pernah bekerja sebagai staff biasa di kantor asuransi yang terdapat di Jakarta. Pada tahun 1943, beliau pernah bekerja di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman, dan mendaftar di Sekolah Tinggi Hukum (Rechsthogeschool) .
Suatu hari, Yap Thiam Hien mendapat tawaran, yang merupakan kesempatan langka untuk bekerja di kapal yang akan mengantarkan pemulangan orang2 Belanda yang telah selesai bertugas.
Setibanya di Belanda, ia tertarik untuk melanjutkan pendidikannya lagi dengan mencari universitas setempat, dan menjatuhkan pilihannya di Leiden University, yang merupakan Universitas tertua di Belanda (dibangun 1575), dimana program jurusan ilmu Filsafat dan ilmu Hukum merupakan spesialisnya.
Berbekal kemampuan berbahasa asingnya yang baik, beliau mencari pekerjaan/bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya dan membiayai perkuliahannya.
Selama menimba ilmu hukum di Leiden, ia tinggal di pusat Gereja Revormasi Belanda (Zendingshuis) di kota Oegstgeest. Setelah 2 tahun, beliau akhirnya menyelesaikan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Den Haag, Belanda.
Beliau lalu mendapat gelar Meester in de Rechten, sebuah gelar S2 untuk peraih sarjana hukum. Tak lama berselang, beliau kembali mendapat tawaran beasiswa untuk belajar di Selly Oak College, Inggris; dengan syarat ia harus mengabdikan hidupnya bagi pelayanan Gereja di Indonesia. Yap pun setuju.
C. Kembali dari Tanah Eropa dan Jalan Menuju Pengacara
Beliau kembali dari Eropa pada akhir tahun 1948, setelah perang dunia ke-2 berakhir. Karena perjanjian dengan pemberi beasiswa sebelumnya, beliau menjadi pemimpin di Organisasi pemuda Kristen Tionghoa, Tjeng Lian Hwee di Jakarta.
Pada Tahun 1948, dalam usianya yang ke-35, Yap Thiam Hien menikah dengan Tan Gien Khing Nio, gadis pujaannya yang berprofesi menjadi seorang Guru. Beliau dikaruniai 2 orang anak dan 4 cucu.
Tak lama kemudian, Ayahnya, Yap Sin Eng meninggal dunia pada 1949. Yap kemudian mulai bekerja di gereja. Dalam kesehariannya, beliau berkiprah sebagai pengacara untuk warga2 keturunan Tionghoa di Jakarta.
Karena dedikasinya dalam dunia hukum, beliau mendapat penghargaan Doctor Honoris Causa, dan dikenal sebagai Pengabdi Hukum Sejati.
Pada Tahun 1950, Yap Thiam Hien bersama beberapa rekannya membuka Kantor Pengacara. Karena mulai berselisih pandang, pada tahun 1970-an beliau kemudian membuka Kantor Pengacara sendiri.
Sebelumnya, Yap Thiam Hien juga ikut mendirikan Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) di Gedung Sin Ming Hui, di Jakarta pada 13 Maret 1954. Baperki adalah Organisasi Massa dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan2 Diskriminasi yang di alami kaum Tionghoa.
Pada Pemilu Tahun 1955, beliau sempat menjadi anggota Konstituante. Namun tidak lama kemudian ia keluar dari organisasi tersebut karna berbeda paham Politik yang cenderung kekiri-kirian.
Dalam suatu perdebatan di Konstituante pada Tahun 1959, nama Yap Thiam Hien muncul ke permukan sebagai anggota Konstituante dan DPR dari keturunan Tionghoa.
Ia menolak kebijakan fraksinya yang saat itu mendapat tekanan dari Pemerintah. Ia merupakan satu2nya yang menentang UUD 1945, karena adanya pasal 6 yang diskiriminatif, dimana isinya berbunyi :
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya, dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,…”
Praktis, dengan diresmikannya pasal 6 UUD 1945 tersebut, orang2 Tionghoa yang tinggal di Indonesia sudah pasti tidak akan bisa diusung, karena sebelumnya merupakan warga Tiongkok.
Hal inipun kelak menimbulkan persoalan dan multi tafsir, karena Ahok, tokoh Tionghoa yang saat ini lagi naik daun tidak bisa menjadi presiden karena dianggap pernah menjadi Warga Negara Tiongkok.
Baca juga : Yusril Ihza Mahendra : Ahok Tidak Bisa Jadi Presiden Karena Ayahnya “Pernah” WN Tiongkok
Saat perjalanan dalam tugas menghadiri Konferensi Internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia. Yap Thiam hien menderita pendarahan di bagian ususnya. Ia dirawat di rumah sakit setempat Santo Agustinus selama 2 hari. Kemudian Yap Thiam Hien meninggal pada tanggal 25 April 1989.
Jenazahnya saat itu segera diterbangkan ke Jakarta, dan dimakamkan 5 hari setelah kematiannya di Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta, yang diiringi tangis ribuan pelayat yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Selama hidup, Yap Thiam Hien juga dikenal sebagai orang yang aktif dalam kegiatan Gereja.
D. Kegiatan Yap Thiam Hien Selanjutnya : Membela Tahanan Politik PKI
Selama karir, Yap Thiam Hien menghabiskan hidupnya dengan menjadi seorang pengacara.Pada suatu ketika, Yap Thiam Hien pernah membela seorang pedagang yang saat itu berdagang di Pasar Senen Jakarta, dimana tempat usahanya saat itu digusur oleh pemilik gedung.
Yap Thiam Hien juga menjadi salah satu pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, atau disingkat (YLBHI). Di era Orde Lama, Yap Thiam Hien pernah menulis artikel yang isinya menghimbau Presiden agar dapat membebaskan sejumlah tahanan politik.
Ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, meski dikenal sebagai seorang yang antikomunis, namun beliau tetap berani membela beberapa orang yang dianggap tersangka pada kala itu, seperti Abdul Latief dan Oei Tjoe Tat,; yang sudah tentu resikonya sangat tinggi, karena bisa2 dianggap sekelompok dengan PKI.
Yap Thiam Hien dengan beberapa rekan sejawatnya pernah tergabung dalam suatu Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia yang didirikan pada tanggal 29 April 1966.
Kala itu, beliau mewakili Amnesty International di Indonesia, ia meminta kepada pemerintah agar supaya para tahanan politik ex-PKI agar dibebaskan, karena tidak memiliki bukti2 yang cukup kuat untuk ditahan, apalagi dieksekusi mati, yang sudah jelas merupakan pelanggaran HAM.
Namun saat itu di Indonesia telah terjadi kekosongan pemerintahan, dimana presiden yang masih berkuasa kala itu, Soekarno, telah menjadi tahanan politik/rumah, dan kekuasaan yang sebenarnya telah berada di tangan Jenderal Soeharto.
Baca juga : Kisah Soekarno yang menolak diselamatkan oleh korps KKO saat di Wisma Yaso
Yap Thiam Hien membuktikan bahwa Nasionalisme seseorang tak dapat dikaitkan dengan nama yang sedang disandang. Yap Thiam Hien juga pernah membela Soebandrio, yaitu bekas Perdana Menteri, yang menjadi cacian masyarakat pada awal era Orde Baru.
Dengan legal mind nya yang sangat baik, membuat para hakim di pengadilan militer bingung dan juga kesal.
Pada peristiwa Malari tahun 1974, atau lebih dikenal dengan “Malapetaka 15 Januari”, Yap Thiam Hien teguh dalam memposisikan dirinya sebagai pembela para aktivis. Kala itu, Yap Thiam Hien pun pernah ditahan tanpa proses peradilan yang layak.
Ia justru dianggap telah menghasut para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Sama pun halnya ketika terjadi peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok pada Semtember 1984, Yap Thiam Hien maju ke depan demi membela para tersangka.
Sosok Yap Thiem Hien sendiri mempunyai kesan tersendiri sebagai seorang Advokat. Ia tidak segan untuk menerima masyarakat miskin bila menjadi kliennya dan tanpa bayaran sedikit pun. Ia adalah seorang advokat yang memperjuangkan prinsip-prinsip hukum HAM. Namanya kini telah dikenang sebagai salah aktivis yang mengabadikan hidupnya untuk masyarakat kecil.
Catatan :
1. Kapitan Cina (Hanzi : 華人甲必丹; Pinyin : Huárén jiǎ bì dān) merupakan sebutan gelar untuk para petinggi di kalangan masyarakat Tionghoa, di wilayah Indonesia, Malaysia dan Borneo (Kalimantan) jaman dulu. Posisi ini ditunjuk oleh pemerintahan kerajaan pribumi, dan atau oleh pemerintahan kolonial.