Last Updated on 25 June 2023 by Herman Tan

Sebelum Presiden Soeharto berkuasa, sikap #anticina sudah ada di Indonesia. Ada perasaan samar diantara orang2 pribumi kala itu, bahwa ada masalah dengan etnis Cina yang harus diselesaikan. Serta harapan pada pemerintahanan yang baru ini (Orde Baru, 1967-1998) akan menyelesaikannya.

Sebenarnya apa yang merupakan sumber permasalahan sentimen rasial terhadap masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia? Dari hasil penelitian seorang profesor ilmu politik Amy L Freedman dari Franklin and Marshall College, USA, yang ditulis dalam artikel jurnalnya yang berjudul Political Islam in Indonesia and Malaysia.


Dalam jurnal tersebut menyebutkan bahwa kebencian terhadap masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia merupakan hasil dari politik pecah belah (Devide et impera) yang dilakukan oleh Presiden Soeharto sewaktu era Orde Baru berkuasa.

Selain itu, dalam penelitian lainnya yang dituangkan dalam artikel jurnal berjudul Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia, Amy bahkan menyebut Presiden Soeharto “memaksa” masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk melakukan asimilasi, sembari mengelompokkan mereka sebagai bukan bagian dari masyarakat pribumi.

Asimilasi sendiri adalah pembauran 2 kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli, sehingga membentuk kebudayaan baru.

Faktanya, memang terdapat beberapa pengusaha etnis Tionghoa yang pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto (1967-1998) mendapat berbagai fasilitas kemudahan dalam berinvestasi di Negeri ini, sehingga saat ini bisa berubah menjadi sangat kaya.

Sekelompok Cukong orang ini, yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia menyebutnya “9 Naga” akhirnya dianggap merupakan representasi dari seluruh masyarakat Tionghoa. Mereka dianggap sebagai kelompok yang memiliki power serta kekayaan yang melimpah dengan cara-cara curang.

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (yang telah berkuasa selama 31 tahun) pada Mei 1998, yang dianggap sebagai pemicu kesenjangan pendapatan ekonomi di masyarakat ini menjadi semakin rumit. Kerusuhan 13-15 Mei 98 yang di kota-kota di Indonesia, terutama di Jakarta dan sekitarnya jelas2 menargetkan bangunan milik masyarakat Tionghoa sebagai sasaran amuk massa.

Tampak Bank BCA menjadi salah satu target kerusuhan Mei 98, karena pemiliknya, Soedono Salim, merupakan etnis Tionghoa. Alasannya, karena mereka dekat dengan penguasa (Soeharto).

Baca juga : Tahukah Kamu? Timeline Etnis Tionghoa di Indonesia

Sebenarnya kebencian terhadap masyarakat Tionghoa bisa ditelusuri hingga 4 abad yang lalu.

Dalam buku terbitan thaun 1987 yang berjudul Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn (yang segera dicekal pemerintahan ORBA karena tidak suka dengan cara penulisnya dalam mengkaji Jakarta), tertulis bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia sudah jauh lebih dulu ada sebelum kedatangan Belanda.

Pada saat itu, relasi yang timbul antara masyarakat Tionghoa dan penduduk lokal merupakan hubungan dagang. Ketika perusahaan Hindia Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) masuk, kondisi langsung berubah.

Masyarakat Tionghoa dimanfaatkan oleh perusahaan Belanda VOC sebagai mitra dagang, sehingga mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa dibandingkan dengan masyarakat setempat.

Namun hubungan mesra antara perusahaan VOC dengan masyarakat Tionghoa sendiri tidak berlangsung langgeng. Seperti yang tertulis dalam buku Jakarta : Sejarah 400 Tahun karya Susan diatas, pada tahun 1740, tepatnya di bulan Oktober wilayah-wilayah yang berada di sekitar Batavia menjadi saksi bisu pemberontakan para petani dan kuli Cina (Tionghoa).

Awal pemberontakan disebabkan karena jatuhnya harga gula di pasaran, sehingga membuat pabrik2 VOC menderita kerugian dan bangkrut. Karena bangkrut, banyak kuli Cina yang akhirnya menjadi pengangguran. Pengangguran semakin tak terbendung, sehingga VOC membuat aturan yang membatasi kedatangan orang2 Tionghoa dari daratan.

Ribuan orang yang mengganggur itu akhirnya ditangkap, lalu dikirim menjadi buruh di Sri Lanka, yang waktu itu sudah menjadi daerah jajahan Belanda.

Tapi tidak lama setelah proses migrasi buruh berjalan, dikalangan orang Cina tersiar isu bahwa kawan2 mereka banyak yang tidak sampai ke wilayah Sri Lanka karena dibuang ke tengah laut ditengah perjalanan mereka. Maka gegerlah warga Cina di Batavia dan sekitarnya.

Sebagai bentuk balas dendam, sekitar 100-an orang Cina berencana untuk melawan Belanda. Sambil menenteng senjata yang dibuat sendiri, para petani dan kuli Cina  ini berbaris menuju kota, tempat dimana ratusan kawan sebangsanya berlindung dibalik dinding kota.

Meskipun orang Cina yang tinggal di dalam kota berjumlah sedikit dan sama sekali tidak berhubungan dengan orang Cina di luar kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu sesama kawannya ini.

Kecurigaan orang2 Eropa dan penduduk lokal membuat kondisi semakin memburuk. Mereka secara spontan menyerang balik kaum borjuis elit Tionghoa ini. Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai VOC untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap seluruh masyarakat etnis Cina.

Adrian Volckanier (1737-1741), Gubenur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat Batavia pada waktu itu mengeluarkan surat perintah yang isinya bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Jam malam pun diberlakukan.

Menurut catatan, sebanyak 500 orang etnis Tionghoa yang di tahan dalam penjara balai kota satu per satu dikeluarkan untuk dieksekusi. Bahkan, para pasien yang berada di rumah sakit Cina (kira-kira di depan Stasion KA Beos) juga dibunuh.

Selain membunuh, mereka juga menjarah harta serta membakar sedikitnya 7.000 rumah milik orang Tionghoa. Dalam seminggu, banyak bangunan dalam kota Batavia yang terbakar hebat, kanal-kanal sungai berubah menjadi warna merah karena tercampur darah. Total korban diperkirakan mencapai 10.000 orang.

Ilustrasi geger Pecinan/pembantaian Glodok yang terjadi pada tahun 1740.

Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan tahun 1740 atau Pembantaian Glodok tahun 1740.

Tapi, peristiwa Geger Pecinan ternyata bukan satu2 nya momen berdarah bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dalam buku terbitan 2003 yang berjudul Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G Setiono disebutkan, pembantaian etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830).

Pada bulan September tahun 1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil yang terletak di tepi Bengawan Solo. Daerah Ngawi sendiri merupakan wilayah perdagangan yang dihuni oleh masyarakat Tionghoa yang berprofesi sebagai kuli, pedagang kecil, bandar beras, hingga ahli tukang.

Di sepanjang perjalanan dalam penyerbuan itu, banyak orang Tionghoa yang dibunuh, dan mayatnya dibiarkan di muka pintu rumah, atau terserak di jalanan. Bahkan jeritan anak-anak dan perempuan pun tak diindahkan, semua habis dibunuh.

Penyebabnya adalah kebencian masyarakat Jawa terhadap sekelompok kecil masyarakat Tionghoa, yang diberikan kepercayaan oleh para Sultan Jawa menjadi pengungut pajak di bandar/pelabuhan, jembatan penghubung, jalan2 kota utama, dan pasar.

Orang2 Jawa menganggap orang Tionghoa sebagai cukong, kaum mata duitan dan pemeras harta masyarakat lokal. Disini, mulailah ide primordial pribumi melawan pendatang menjadi legitimasi/pembenaran untuk melakukan kejahatan.

Terkesan dengan kepiawaian orang-orang Tionghoa dalam memungut pajak, pemerintah Hindia Belanda dan Inggris melakukan hal yang sama di wilayah-wilayah kekuasaannya. Kebencian terhadap masyarakat etnis Tionghoa secara tidak langsung sebenarnya dibuat oleh para penguasa, baik pemerintah Hindia Belanda maupun para Sultan Jawa.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Hendri F. Isnaeni yang berjudul Duka Warga Tionghoa di majalah Historia, menyebutkan bahwa dalam sejarah sudah beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amukan massa pribumi, yakni mulai semenjak peristiwa Geger Pecinan tahun 1740 hingga kerusuhan Mei 1998.

Rasa kebencian di masyarakat ini dibiarkan semakin berkembang dan menyebar luas di Indonesia, tanpa adanya upaya rekonsiliasi atau penjelasan dari pihak2 yang berwenang. Pada awal abad ke 20 hingga sekarang, terdapat beberapa catatan peristiwa rasial dan gerakan anti Tionghoa, yakni :

• Kerusuhan di Solo, Jawa Tengah pada 1912
• Kerusuhan di Kudus, Jawa Tengah pada 1918
• Gerakan anti Tionghoa di Tangerang pada Mei s/d Juli 1946, Bagan Siapi-api, Riau pada September 1946, dan di Palembang, Sumatera Selatan pada Januari 1947

Tragedi pembantaian terhadap masyarakat Tionghoa berikutnya terjadi pada tahun 1965, dimana terjadi pembunuhan terhadap 7 Jenderal.

Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berhubungan dengan Negara kiblat komunis, seperti Rusia (Uni Soviet) dan Tiongkok  (RRC) dituduh/dianggap sebagai dalang utama dalam Gerakan 30 September 1965 (atau disebut juga Gestok).

Tampak sejumlah penduduk sipil yang dicegat pihak militer dan paramiliter islam pasca terjadinya G30S.

Banyak masyarakat Tionghoa yang pada saat itu menjadi korban karena dianggap sebagai mata-mata Tiongkok. Padahal, menurut laporan badan intelijen Amerika (CIA) menulis bahwa orang2 yang terlibat sebagai anggota PKI sebelumnya dilepas ke masyarakat pada akhir tahun 1965 s/d awal 1966, untuk kemudian ditangkapi kembali.

Tujuannya supaya mereka (pihak militer) mempunyai alasan supaya bisa menangkap dan mengeksekusi lebih banyak orang. Mereka ditangkap, dipenjarakan, dicecar berbagai pertanyaan, untuk kemudian segera dieksekusi tanpa lewat pengadilan yang layak.

Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja. Dalam konteks yang lebih modern, ada 2 peristiwa diskriminasi dan kekerasan yang sangat keji terjadi terhadap tenis Tionghoa. Pertama adalah pembantaian terhadap 30.000 orang Tionghoa di Kalimantan Barat pada tahun 1967 atas nama PGRS/PARAKU.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyebut terjadi pembersihan etnis dalam peristiwa ini. Sementara dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng yang diterbitkan tahun 1977, menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 orang mengungsi di Pontianak, dan 43.425 orang lainnya direlokasi ke Kabupaten Pontianak.

Selanjutnya tentu saja peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta pada tahun 1998. Pada waktu itu, masyarakat Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan dan diskriminasi.

Gejala Xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang asing) atau Sinofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang Tionghoa) ini merupakan buntut dari kesenjangan pendapatan dan kebencian terhadap etnis Tionghoa yang dianggap sebagai penguasa ekonomi di Indonesia.

Menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah Indonesia (atas tekanan Negara-Negara sahabat) sebagai tim penyelidik independen untuk mengusut tuntas kasus kerusuhan tersebut.

Saat peristiwa terjadi pada 13-15 Mei 1998, dilaporkan banyak perempuan Tionghoa yang diperkosa dalam rumah/rukonya, lalu tempat tinggal/usahanya dijarah, dirusak, lantas dibakar. Kejelasan dari kasus ini tak pernah selesai hingga saat ini, dan pelaku utamanya tidak pernah diusut.

Baca : Laporan Resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998/Temuan

Tampak isi toko milik orang Tionghoa yang dijarah massa pada kerusuhan 13-15 mei 1998 di Jakarta.

Kebencian rasialis yang terjadi akhir-akhir ini yang coba dikobarkan oleh beberapa oknum sebenarnya bermula dari politik pemisahan identitas. Bahwa orang Tionghoa di Indonesia selamanya dianggap sebagai pendatang. Mereka kerap menjadi kambing hitam dari sekian banyak kekerasan dan masalah sosial.

Media cetak dan elektronik dalam hal ini semakin memupuk prasangka itu tanpa ada upaya rekonsiliasi. Semestinya perlu ada upaya pendidikan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari Warga Negara Indonesia, terlepas dari RAS yang disandangnya.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?