Last Updated on 17 October 2022 by Herman Tan

Saya beberapa bulan yang lalu mengelilingi kota2 besar di Indonesia, seperti Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, sampai Manado karena tuntukan pekerjaan.

Sekalian saya ambil waktu sedikit buat jalan2 mengelilingi setiap kota yang saya kunjungi; tentu saja yang tidak akan saya lewatkan adalah berkunjung ke beberapa Kelenteng lokal.

Karena tidak menguasai lokasi, saya menggunakan jasa taksi. Miris memang, saya malah menemukan banyak Kelenteng yang sudah tidak berpenghuni. Bahkan biokong (penjaga kelenteng) pun tidak ada, dan kadang hanya ditunggui oleh warga setempat.

Ini berbanding terbalik dengan kondisi tempat ibadah umat Nasrani yang penuh sesak oleh etnis Tionghoa. Saya sendiri tinggal di Jakarta, sering mengamati banyak orang Tionghoa yang berbondong2 datang ke Gereja untuk sekedar mendengar khotbah/doktrin dari pendetanya.

Saya sering berpikir, apa alasan mereka untuk pindah Agama?

Lah, masa sih “Bapak” orang lain mau dianggap sebagai “Bapak” sendiri?

Populasi etnis Tionghoa yang masih memeluk kepercayaan asli leluhurnya terus menurun dari tahun ke tahun. Kalaupun ada penambahan, hanya karena ikatan perkawinan yang mengharuskan untuk pindah kepercayaan, bukan keiklasan atau kesadaran.

Boleh dibilang masuk 1 keluar 10. Kalau begini, lama2 akan habis juga cepat atau lambat.

Salah satu penyebab utama yang dapat saya tangkap, adalah karena begitu banyaknya mitos, tahayul, tradisi, kebiasaan, dan lain sebagainya tentang budaya Tionghoa sendiri yang sulit dicerna oleh akal sehat.

Hal ini yang dimanfaatkan oleh Agama lain untuk menarik domba gemuk yang siap disembelih umat2 berduit dari etnis Tionghoa, untuk membangun tempat ibadah mereka sampai besar, bertingkat2, dan bercabang2!

Mereka memberikan doktrin, bahwa kepercayaan dan agama Tionghoa itu penyembah berhala/setan, tidak logika, musyrik, sesat, dan lainnya. Hasilnya bisa di lihat, pemuda/i Tionghoa sekarang rata2 sudah pindah Agama bukan?

Sisa petua-petui yang sudah bau tanah berumur saja yang kebanyakan masih menjalankan tradisi/kebisaan leluhur secara penuh.

Tampak ornamen2 khas Tionghoa dalam sebuah gereja. Anda tahu maksudnya buat apa kan?

Baca juga : Akuilah Bapakmu Sebagai Bapakmu, Bukan Bapak Orang Lain Sebagai Bapakmu!

Kalaupun mereka (muda/i) masih ikutan, itu karena terpaksa, atau karena tradisi itu dianggap masih menguntungkan mereka, seperti :

1. Tradisi Imlek : Bisa dapat angpao! Tentu harus ikut ini. Kalau engga, ya tidak dapat duit. Tapi hanya di sesi makan2 bersama saja. Sesi sembahyang H-1 sebelum Imlek engga ikut, karena harus sembahyang pegang dupa.

2. Tradisi Tea Pai : Sama kayak angpao. Engga mau ikut pai tea, jangan harap mau dapat angpao atau emas tebal2 dari keluarga! Tapi masih saja dikadalin. Mereka tidak mau malakukan soja (kui, berlutut) dengan alasan berhala (menyembah selain Tuhan).

3. Pernikahan ala Tionghoa : Yup. Biar dapat angpao banyak dari tamu, tinggal pasang karakter 囍 di pelaminan. Karena Tionghoa identik dengan orang kaya dan eksklusif. Ini fakta di lapangan. Saya banyak menjumpai dan mendegar hal demikian. Jadi istilahnya pakai label Tionghoa gitu.

4. Makan Kue Bulan : Lumayan dapat makanan enak, kue bulan (kue pia) sekotak harganya 100-200 ribu (brand tertentu bahkan bisa diatas sejuta). Lumayan buat dipamerin ke teman.

Kalaupun mesti ke kelenteng, lumayan buat cuci mata, karena biasanya hari itu banyak cewek2 cantik atau cowok2 cakep Tionghoa yang memang kebetulan sembahyang ke kelenteng untuk minta/cari jodoh (referensi : baca cerita Dewa Yue Lao).

Sementara tradisi2 yang “merugikan” mereka, seperti :

1. Ziarah Ceng Beng : Capek mesti ke kubur. Mesti siapin makanan lagi, keluar duit kan? Sudah gitu harus pegang dupa lagi (karena menurut doktrin pendetanya agama barat, PANTANG memegang dupa! Mereka lupa kalau ada bule2 saja ada yang memegang dupa).

2. Sembahyang bulan 7 tanggal 15 : Sama! Mesti keluar duit juga, mending ikut doktrin agama, bahwa itu termasuk penyembahan berhala/setan. Padahal orang2 barat juga merayakan festival Hallowen setiap tanggal 31 Oktober.

3. Pergi sembahyang ke Kelenteng setiap hari sejid Dewa/Dewi : Ke tempat yang penuh asap, kusam, suasana mencekam, panas, mana mau? Belum lagi harus lihat potongan kepala babi di tengah altar kalau ada sembahyang besar?

Idih, jijik deh. Mana cuma datang, pai, pulang lagi (umat cung cung cep). Tidak ada ceramah, suntuk, mending bobok, atau mending ke gereja, adem, wangi. Atau ke mall2, ramai, penuh dengan teman2 sebaya. Siapa tahu dapat gabetan?

4.  Sembahyang Ce It dan Cap Go : Waduh harus nyiapin segala keperluan sembahyang di rumah. Keluar duit sih gapapa, tapi kan capek juga. Kalau ke kelenteng, sisa ketemu tua-tui semua, jadi malas duluan. Mending tiap minggu ke Gereja dengar khotbah pendeta, lokasi strategis, ramai, tinggal duduk, dapat bonus cuci mata lagi.

“Jadi jangan kira Mereka patut dipuji karena masih menjalankan “sebagian” dari tradisi Tionghoa. Sebenarnya Mereka hanya mau menjalankan tradisi yang ENAK-ENAK dan yang MENGUNTUNGKAN saja”.

Saya barusan terpikir, kenapa salah satu manusia etnis Tionghoa yang bernama Cristofus Sindunata pada tahun 1967 mendukung Inpres Nomor 14 Tahun 1967? Tentu tak lain agar orang2 Tionghoa terpaksa untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah2 swasta, yang rata2 memang dikelola oleh Nasrani.

Tidak mungkin orang Tionghoa memasukkan anaknya ke sekolah “pribumi”, alias sekolah negeri, yang kala itu kebanyakan berbasis Agama Islam. Bahkan sebagian menerapkan aturan berjilbab adalah hal wajib bagi wanita.

Saya salut, karena ini bisa dibilang investasi jangka panjang beliau. Beliau tidak mengincar generasi BAU TANAH yang se-usianya, karena sadar sebentar lagi sudah mau waktunya 🙂 Ini adalah upaya “kristenisasi massal” kala itu.

Beliau mengincar generasi muda, agar kelak bisa maju pesat dan berkembang di tanah air, seperti halnya agama mayoritas. Jadi semenjak kecil anak sudah dikenalkan dengan firman Tuhan, lama2 pasti pindah agama kecuali takdirnya keras wkwk.

Apalagi teman2 se-usia mereka juga sudah pindah agama. Mana mau ditinggal sendiri? Karena 80% manusia itu bermental pengikut, 15?% provokator, dan 5% adalah pemimpin, yang berani tampil beda menyandang status double/triple minority.

Seorang pembantu Muslim yang menyembahyangi majikannya saat meninggal, di Rembang, Jawa Tengah.

Ketika mereka mencapai usia dewasa, mereka bahkan bisa “lebih militan” daripada yang non Tionghoa. Yap! Mereka tidak segan untuk mengajak orang tua, kakak, adik, keponakan, sepupu, dan saudara2 jauhnya untuk ikut. Banyak contoh kasus menyedihkan yang pernah saya dengar.

Misalnya, ketika orang tua mereka sudah sekarat, sudah tidak sadar, cepat2 mereka ajak pendetanya untuk membaptis. Atau seperti foto diatas. Dimana anak2nya sudah pada pindah agama. Akhirnya malah pembantu dari majikan tersebutlah yang menyembahyangi beliau.

“Konsep Surga dan Neraka itu dibuat untuk menakut-nakuti domba2 gemuk. Nanti kalau sudah pintar semua, dombanya sukar digembalakan 🙂

Agama itu untuk mengatur biar umat tidak kacau. Kalau Agama sampai membuat kita malas menggunakan otak untuk berpikir, mungkin sebaiknya otaknya dikembalikan saja. Jangan sampai agama hanya diperuntukan bagi mereka yang berhenti berpikir”

Saat ini tradisi dan kebudayaan Tionghoa, meski sudah bebas berkembang di tanah air, tapi makin sedikit saja umatnya. Seperti catatan perjalanan singkat saya di awal paragraf, banyak kota besar yang Kelentengnya sudah kosong melompong pada saat sembahyang.

Gereja Santa Maria de Fatima
Tampak interior dalam Gereja Santa Maria de Fatima yang bertema oriental.

Baca juga : Alasan Makin Menurunnya Pemeluk Agama Tionghoa di Indonesia (Bagian II)

Ini harusnya menjadi tantangan bagi pengurus Kelenteng dan bagi generasi penerus Tionghoa yang masih bertahan, agar bagaimana melestarikan tradisi, kebudayaaan dan agama Tionghoa agar tidak makin terpuruk.

Satu lagi, seperti soal bahasa, dimana kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia sekarang (generasi awal 60-an s/d awal 90-an) malah tidak bisa berbahasa Mandarin. Juga tidak bisa memegang sumpit. Sementara orang2 pribumi sekarang malah fasih berbahasa Mandarin dan pintar2 pakai sumpit di restoran chinese food.

Ini fakta yang saya temukan sewaktu makan di beberapa restoran. Lucu memang, tapi itulah kenyataannya.

Catatan : Merupakan pandangan pribadi penulis yang bersifat subjektif (2) Yang dimaksud Agama Tionghoa disini adalah Taoisme, Konghucu, dan Buddha (meski sebenarnya Buddha berasal dari India, namun tumbuh berkembang pesat di Tiongkok). Penggunaan kata Agama Tionghoa hanya untuk mempersingkat judul. So, don’t be stupid.

By Stevany

Saat ini berstatus sebagai seorang mahasiswi jurusan IT di Medan. Aku seorang penyayang binatang dan tumbuh-tumbuhan ^^. Quote : A journey of a thousand miles begins with a single step.

250 thoughts on “Alasan Makin Menurunnya Pemeluk Agama Tionghoa di Indonesia”
  1. Permisi, cuma mau urun rembug saja,

    inti semuanya ini cuma satu, DUIT

    di K ada istilah namanya perpuluhan, sesuai namanya tiap bulan ya diwajibkan menyumbang sepuluh persen dari total pendapatannya. Namun sayangnya “sumbangan wajib” ini entah bagaimana sering kali “salah masuk kantong”, coba deh googling dengan keyword city harvest atau “kong hee” atau kasus “pen**** Alex Beth***” atau di agama lain misal I ada zakat wajib 2,5%, dan zakat lain-lain yang kebanyakan juga tidak menyentuh kaum yang semestinya membutuhkan.

    Kalo di agama Tionghwa sendiri kan nggak ada macam beginian, jadi pemuka agama khonghucu, tao, Buddha itu nggak menghasilkan duit, BO CUAN, bandingkan dengan agama sebelah dengan insentif “sumbangan wajib” yang alokasinya tidak jelas itu, sehingga banyak yang tertarik mengembangkan, akhirnya masuk, kepengen jadi pen**** dan mendirikan ger*** sendiri. abis dpt bawahan kan diminta perpuluhan tuh, dpt duit buat marketing biar dpt pengikut lebih banyak lagi biar puterannya makin gede, makin makmur lah itu pen****

    Makanya ada banyak temen agama lain yg godain gue, “Ton, lu orang kan pinter ngomong, masuk agama gue aja, gampang cari duitnya, wo men bisa co ger*** buka disini nih bisa dpt jemaat banyak”

  2. mau imlek lagi all broo.. huat arghhh.. bagi yg kristen klo mau imlek belajar pai thi kong ya.. biar 1 keluarga ping an ping an.. seng li sun sun li.. tat kei tua huat..klo u lang pai yesus.. jgn lupa kasi ang pao ke yesus biar dia ikutan imlek… huat arghh

  3. Jujur saya termasuk yang ikut masuk agama kristen karena saya awalnya ingin dianggap keren, saya menyukai budaya barat dan juga festival-festival seperti natal dan paskah. Tetapi semakin didalami saya juga semakin paham kalau ajaran itu juga sangat tidak masuk akal.
    Saya mulai mempelajari budaya tionghoa, dari bahasa, kepercayaan, dan sejarah.
    Semakin saya pelajari, saya semakin paham bahwa budaya-budaya kita sangat kaya.
    Saya miris kalau melihat anak-anak tionghoa yang menyukai budaya jepang dan korea, padahal budaya-budaya itu impor dari budaya nenek moyang kita.
    Sedangkan budaya orang manchuria (yang pernah menguasai tiongkok 300 tahun) malah dianggap budaya orang tionghoa.
    Dan terakhir saya ingin mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Bukan berbeda-beda tetapi disamakan menjadi satu.

    1. Sebenarnya klo cuma menyukai budaya barat, jepang, korea atau manchu tidak masalah.
      Menjadi masalah kalau kemudian akhirnya mengagungkan budaya barat dan meninggalkan/anti pati sama sekali dengan budaya sendiri.
      Akibatnya yaitu keturunan tionghoa tapi yang tinggal cuma sepasang mata sipit dan kulit putih doang.

      1. Penduduk RRC sekarang memang lebih 90 % bangsa Han, tapi apakah budaya tionghoa harus budaya bangsa Han murni ? karena adaptasi dengan budaya lain seperti Manchu, Barat dll malah memperkaya budaya sendiri(Manchu sendiri sekarang adalah bagian dari negara Tiongkok).
        Hitler yang mengagungkan kemurnian ras sendiri akhirnya juga jadi nggak bener, tapi mengagungkan budaya orang lain apalagi sampai meninggalkan budaya sendiri yang sebenarnya kaya juga sama nggak benernya dan buat apa juga.

        1. Untuk kemurnian budaya, saya juga sadar kalau budaya bangas Han juga banyak dipengaruhi dari budaya luar misalnya India.
          Menurut saya pengaruh kebudayaan itu proses yang alami dan terjadi dimana-mana. Yang tidak benar adalah pemaksaan atau pelarangan budaya, dan kalau kamu baca buku sejarah, budaya Manchuria tidak mempengaruhi budaya Han, tapi mereka memaksakan budaya mereka. Seperti harus memakai baju manchuria, padahal baju tradisional orang Tionghoa itu Hanfu, terus rambutnya harus dikuncir. Kalau tidak diikuti sanksi nya bisa dihukum mati.

      2. Saya setuju sama anda kok, saya tidak mengagungkan kemurnian ras.
        Yang saya ingin jaga adalah budaya. Saya miris ketika budaya-budaya nenek moyang kita dari dinasti Tang malah dianggap budaya jepang (mulai dari kimono, ramen, ikebana, bonsai, arsitektur bangunan, legenda, dll), sedangkan kita sendiri malah dianggap seperti gak punya budaya.

        Orang-orang yang menghancurkan kebudayaan Tionghoa justru banyak yang berasal dari orang Tionghoa sendiri.
        Misalnya Wu San Gui, dia berkhianat pada dinasti Ming sehingga orang-orang manchuria berhasil menguasai Tiongkok dan memaksakan budaya mereka.
        Waktu Tiongkok dikuasai Republik Rakyat China, mereka juga banyak menghilangkan kebudayaan Tionghoa melalui Cultural Revolution-nya.
        Di Indonesia sendiri, salah satu orang yang mempunyai andil dalam pelarangan budaya Tionghoa adalah orang Tionghoa, inisial namanya K.S.
        Presiden Soekarno dan Gus Dur termasuk orang-orang non-Tionghoa yang menghargai budaya Tionghoa.

  4. Betul Aan, jalanilah sesuai hati nurani, supaya di Indonesia keturunan Tionghoa seperti kata Fei, warisannya tidak tinggal sepasang mata sipit dan kulit putih doang.
    Tapi kelihatannya tidak akan kejadian karena Agama Tridarma / Samkaw seperti Vihara Buddha dan Lithang Khong Hu Cu sudah berkembang baik, saya saya yakin Tao akan bisa meramaikan Klentengnya nggak cuma kalau ada perayaan seperti Imlek, Sejit Kwan Im dll.

  5. Agama, Manusia, Budaya ……3 unsur yang menarik dijagat bumi ini. Keterbatasan mahluk manusia memahami dimensi ini menyebabkan kesesatan dalam pemahaman agama dan budaya. Semuanya menjadi rancu menunjukkan kesejatian diri Manusia dalam rentang waktu yang disebut sejarah. Sejarah menunjukkan perubahan : timbul tenggelamnya peradaban manusia, muncul hilangnya agama sebagaimana terrekam dalam prasasti sejarah.
    Lebih bijak bagi kita manusia sebagai mahluk yang dikatakan diciptakan paling sempurna dan berakal budi lebih dalam lagi menelaah ke dalam diri pribadi masing-masing ketimbang menurut katanya / pengalaman si A / menurut kitab suci / menurut tetua karena semuanya balik ke diri sendiri…………jalanilah sesuai hati nurani kita(maaf bukan bermaksud promosi parpol tertentu) Semoga para senior/sesepuh/ saudara-i/bapak ibu/kakak adik senantiasa maju di dalam pemahaman kesejatian manusia. Om Shanti Shanti Shanti

  6. Kita sebagai keturunan Tionghoa, memang sudah seharusnya untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan kita sendiri, sama seperti orang-orang pribumi. Untuk masalah agama/kepercayaan kepada Tuhan, itu bukan termasuk lingkup kebudayaan. Kita bebas memilih agama apapun yang kita yakini benar, entah kita terlahir dari etnis Tionghoa, Jawa, Banjar, Arab, Sunda, dan lain-lain. Yang penting, kita tidak melupakan kebudayaan nenek moyang kita yang tidak bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut. Contohnya Islam (mohon maaf saya memberikan contoh Islam karena agama yang saya anut adalah Islam), Islam tidak pernah melarang umatnya menjaga kebudayaan dan bahasa aslinya selama tidak bertentangan dengan ajaran tauhid (ajaran bahwa Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah SWT.), tidak ada sedikitpun ajaran Islam yang berusaha menghapus identitas penganutnya.

    Hal yang sangat saya sayangkan adalah bahwa kakek buyut saya telah meninggalkan kebudayaan Tionghoa secara total setelah menikah dengan seorang pribumi (etnis Jawa). Sehingga, anak dan cucunya tidak bisa berbahasa mandarin dan tidak mengenal budaya-budaya nenek moyangnya lagi.

    Jujur, saya malu mengaku keturunan Tionghoa karena saya sendiri sama sekali tidak bisa berbahasa mandarin dan tidak tahu-menahu tentang budaya Tionghoa. Yang diwariskan oleh kakek buyut saya kepada saya hanyalah sepasang mata sipit dan kulit putih. Yang ada, saya cuma dapet perlakuan gak enak dari orang-orang pribumi.

    Intinya, apapun agama kita, kita tetap harus menjaga dan melestarikan budaya nenek moyang kita karena itulah identitas kita. Belajarlah bahasa mandarin apabila kita tidak bisa berbahasa mandarin. Berkenalanlah dengan kebudayaan adat-istiadat etnik kita. Apabila beragama Islam, contohnya, boleh merayakan imlek, tea pai,dan merayakan pernikahan ala tionghoa, asalkan menyediakan makanan yang halal-halal saja. Tinggal kita sesuaikan saja dengan aturan-aturan agama yang kita anut masing-masing. Kalau masalah Tuhan, tidak bisa kita sama semua, karena kita masing-masing mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak.

    Mohon maaf apabila saya mempunyai kesalahan dalam tulisan saya ini. Terima kasih.

    1. Teorinya kebudayaan dan agama memang dua hal yang berbeda, tapi kenyataan di lapangan berkata jika sudah beragama diluar Buddha, Khong Hu Chu dan Tao perilakunya kearah meninggalkan kebudayaan Tionghoa. Contoh kakek buyut Fei bukan satu-satunya tapi buanyak. Lebih ekstreem lagi malah banyak yang akhirnya anti pati dan bahkan lebih jauh lagi aktiv menganjurkan rekannya meninggalkan banyak dari ritual tradisi.

      1. Secara pribadi, tanpa melihat :

        (1) konteks artikel, dan
        (2) ratusan komentar lainnya diatas;

        saya setuju dengan PERNYATAAN sdr Julianto. Fakta yang terjadi dilapangan, memang lebih banyak sisi buruknya ketimbang positifnya.

      2. Setuju berat sama komentar ini.
        Sejujurnya saya tidak ambil pusing teman saya Tionghoa mau agama apa. Yang saya tidak senangi adalah ketika mereka ngajak pindah sambil menjelek-jelekkan agama yang kita anut. Mirisnya lagi, banyak yang tidak kuasa menghadapinya dan jadi korban. Heran, agama kok jadi komoditas dagang sih?

  7. Kalau ngambil acara sekarang ada nonton bareng (nobar) pertandingan bola.
    Kalau ada acara ce it dan cap go sembayang bareng di kelenteng kayaknya boleh juga.
    Buat yang peduli dengan kemajuan Kelenteng misalnya yang kenal dengan pengurus Kelenteng bisa dibantu disampaikan, karena kalau cuma ngomong doang nggak ada kemajuan.

  8. Alasan makin menurunnya umat yang sembayang di Klenteng karena format ibadah di Klenteng habis bakar hio/puja lalu pulang.
    Coba lihat Buddha dengan Viharanya semakin hari semakin banyak umatnya, begitu juga Khonghucu dengan Lithang nya juga semakin ramai.
    Kalau umat Tao sepertinya harus mencari cara bagaimana umat bisa saling ketemu pada waktu ibadat misalnya apakah pada waktu ce it dan cap go ada kebaktian, jadi setelah bakar hio/puja terus kumpul mendengarkan dharma dari pendeta Tao, dengan demikian bisa saling kenal dan kelenteng bisa ramai pada waktu ibadat pagi atau sore.
    Kalau sekarang habis sembahyang pulang nggak ada sosialisasi lama-lama yang datang bisa bosan.

  9. Agama itu hubungan manusia dengan Tuhan, budaya adat itu hubungan manusia dengan lingkungan. Agama tidak bisa memaksa manusia, karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan kepintaran dan pengetahuan tentang yg baik dan jahat. Jadi jika ada seorang yg bersuku tionghoa memeluk agama Kristen atau Khatolik maka orang itu sudah mengetahui kebenaran. Begitu juga ketika seorang yg bersuku tionghoa masuk islam maka pengetahuannya yg diyakininya itu adalah pilihannya. Jangan menyalahkan tempat, orang buta pun tahu sekolah Kristen pasti mengajarkan ajaran Kristen, Madrasah pasti mengajarkan tentang islam. Alasan terpaksa bukan jawaban, manusia punya banyak pilihan. Soal komentar yg katakan Kristen agama barat, asal ajaran Kristen itu dari Yerusalem Israel, coba cek di peta apakah itu barat. Tentang pecahnya Kristen karena Martin Luther, dulu Kristen itu sudah ada, Kristen adalah pengikut Kristus. Bukan dari roma atau jerman. Sama seperti Budha apakah berasal dari China, tidak tapi dari India yg dibawa ke China. Ada pepatah Tionghoa yg berkata jangan menulis pesan ketika marah, menurut saya orang-orang diatas lagi emosi ketika membuat komentar. Tentang masalah Kristenisasi, ini bukan hal yg tabu. Semua agama melakukannya, Islam di amerika berkembang, padahal disana sudah ada agama Kristen dan Khatolik, atau kasus pengungsi ronghiyang yg terpaksa keluar akibat konflik dengan umat Budha, karena agama itu konfliknya, coba etnis Ronghiyang beragama Budha pasti damai, itu bentuk Budhanisasi. Islam lihat boko haram, berapa ribu sandera disuruh masuk Islam atau dibunuh, dijadikan sandera. Setiap agama punya kasus, ingat pribahasa gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tapi pasir di ujung bumi kelihatan. Ini Indonesia, kita harus saling menghormati. Sadis kalilah komentar kalian tentang Kristen, padahal manusia punya pilihan, just do it, kalau gak suka pergi, jangan jelekkan Kristen. Kristen agama kasih, jangan fitnah terus, ikat rapat biar gak menurun pemeluk agama lain, kalau kata pedagang, untung sikit asal rame loe, tunjukkan kualitas biar kembali naik, jangan salahkan Kristen. Tuhan Yesus Memberkati

    1. Dan, klo ngomong proporsional dong, karena kenyataannya konflik Rohingnya terjadi cuma di negara tersebut, oleh pemerintahan tersebut, oleh oknum tertentu dan dengan tidak hanya etnis tersebut, jadi sepertinya gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.

      1. Dan, kasus Rohingnya juga bukan Budhanisasi, jangan samakan dengan yang telah dilakukan secara masif dan terencana selama berabad-abad sejak jaman kolonial.

  10. Di bali keluarga tionghoa paling kuat megang tradisi tionghoa, nggak mudah pindah agama.org bali paling respek sama tionghoa tridharma ketimbang non tridharma

      1. Alasannya jelas,agama tionghoa banyak mempengaruhi hindu bali.hampir setiap pura besar di bali ada kelenteng tri dharma seperti di pura besakih,pura batur,dll

  11. Hm.,bru nech ngerasa ada yg respect dgan pemikiran sya hehehe..

    Ok tentang poin nmor 1
    Setau saya sech memang yg di anjurkan tentang sembyang kubur yakni 1x dlam setahun yakni pada ceng beng..tetapi kita ga bsa mengesampingkan fakta tentang sembyang kubur hnya sekedar sembhayang..di samping itu mash ada yg nama ny rasa kebersamaan..yg sangat saya sesalkan iyalah doktrin2 negatif tentang smbayang itu sendri

    Komentar 2 an 3 sebenar ny maksd penyampaisan sya yakni tentang jati diri bkan tentang pengunaan bhasa(hehe mklum smalm nulis nya sambil tengantuk2 jdi penyampaian hya ada yg salah) tp inti nya adalh tetap mempertahankan budaya/bahasa ibu setidak nya d dlam rumah ato pn di keluarga sendri..klo bicara perkawinan antar etnis hm.bkal bacak ground saya beristrikan dayak..dn kenyataannnya kami sekeluarga iuga kyak es campur koq..tp msh brusaha tetap survive dgan adat an budya dr alm.kakek nenek

    Komentar untuk nmor 4
    Iya benar tepat sekali..klo bicara kegunaan an keunggulan sumpit..
    Tapi fisolsofi tentang sumpit+mangkuk yg sering sya laht dlam budaya tionghua semakin hari semakin memudar..jgan kan tentang filosi ny cara pengunaan yg trpat aj dah bnyak yg gagal(setidaknjya berdasarkan ara pengunaan yg di ajarkannoleh kakek saya) kenyataan ny saya yakin tidak sedikit yg bisa mengunakan sumpit tp yg bnar2 paham tentang sumpit sya rasa jumlah ny ga akan sebanding(khusus etnis tionghua) ga percaya..coba jika adabyg baca komentar sya di praktekan menggunkan sumpit untuk mengapit telur yg blum di kupas cangkang nya dan coba untuk mengapit biji sahang ato biji2an.hehe..
    Maslh mangkuk eetidak hy pada zaman lau ma an akong sya ma apa aj termasuk nasi pake itu loch..kenyataan ny di film2 yg menceritakan tentang masa2 di tiongkok sblum penjajahan yg di gunkan adalh mangkok..kenyataan ny sekarng mangkok sudah bergeser ke arah piring..

    Maaf nech klo ada yg salh wkwkwkw..

    1. Halo Wandy,

      hehe tidak masalah kok. Senang rasanya anda mau mengeluarkan pendapat; masih lebih baik ketimbang diam membisu 🙂

      Salam hangat untuk anda

  12. Hm.,nilai tradisi yg semakin hilang menurut saya (tio cu)
    1.sebahyang kubur (kue cua) isu ny akan di kurangi menjadi 1x dlam 1 tahun
    2.fasih berbahasa mandrin yg semakin memudar(sisi positif nya masih ingat jati diri dgan memahami dan menggunakan bahasa ortu/kakek(3generasi) di dlam rumah)
    3.pengurutan paggilan keluarga yg smakin memudar(kebayang donk zaman dlu ada yg nama nya acek/apek/aku/atio hm..bkal tambh rumit klo pangilan ato pengurutan identitas tionghua smakin ilang dgan modernisasi kata PAMAN
    4.semakin sedikit yg mengunakan sumpit dan mangkok untuk mkan..fakta loch..
    Dll mudah2n dexh ga smakin hilang adat dan nilai2 tradisi tionghua..penulis agar tetap menulis agar nilai budaya terus bertahan dan tidak tergerus oleh modernisasi

    Klo agama kembal pada masing2 tp menurut sya selama agama budha,tao,dan konghucu tetap mash di minati setidak nya 80%nilai budaya tionghua mash tetap bisa survive karna sedikit bnyak dr ke 3 agama itu masih tersimpan nilai2 adat dan tradisi..masih menurut sya..

    Namo amitabha

    1. Halo, Wandy :
      1. Sembahyang kubur memang WAJIB nya hanya sekali setahun yakni pada saat Ceng Beng atau ziarah kubur; biasanya jatuh pada tanggal 5 atau 6 April setiap tahun. Tapi jika mau melakukan ziarah di lain waktu dan moment juga tidak masalah; sah-sah saja; tidak ada aturan khusus yang mengikat.
      2. Bahasa Mandarin saat ini semakin banyak digunakan oleh orang Tionghoa di Indonesia; terutama kalangan ANAK MUDA. Sebagian dari mereka ada yang sekolah/kuliah di Tiongkok, sebagian lagi sudah mendapat pembelajaran bahasa Mandarin di tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, sebagian lagi ada yang kuliah dengan mengambil jurusan sastra Tiongkok, sebagian lagi mengambil les private/umum yang sudah banyak ada di tempat-tempat les/kursus pendidikan swasta. Bahkan mereka tidak lagi sungkan menggunakan bahasa mandarin dalam percakapan di media sosial seperti Facebook dan Twitter dengan teman sesama orang Indonesia. Masih kurang?
      3. Ini memang rumit karena sebagian pasangan etnis Tionghoa kawin campur dengan etnis Tionghoa yang lain. Sebagai contoh, seperti etnis Hokkian (apek/tua pek) dengan Kanton (asuk/suk suk); jadi anak-anaknya kadang bingung, jika memanggil “paman” dari sisi papanya dan paman dari sisi mama nya sudah pasti berbeda sebutan karena masing2 memiliki kata panggilan yang berbeda. Belum lagi jika di sekolah mendapat pelajaran bahasa Mandarin yang menggunakan standar zhong wen – hua yu, pasti berbeda lagi (paman = gu zhang).
      4. Anda pernah berkunjung ke mall-mall yang ada restoran chinese food nya? Rata-rata standar penyajian mereka sudah menggunakan sumpit jika makanan nya berbentuk mie. Kenapa? Karena sumpit sudah dijadikan salah satu standar peralatan makan internasional untuk bahan makanan yang berbentuk mie/pasta selain penggunaan garpu. Bahkan banyak lho orang pribumi yang jago memakai sumpit, lebih jago ketimbang orang Tionghoa sendiri yang kaku. hahaha

  13. Izin semuanya saudara2 ku, aku seorang muslim dan aku tertarik untuk berkomentar di artikel ini. Aku tinggal di daerah indonesia dimana seluruh agama bergandengan yaitu provinsi Riau. Daerah saya ini banyak terdapat mesjid dan gereja bersebelahan, tentunya kami saling menghormati. Dan juga ada beberapa wilayah yang kelenteng dan masjid juga bersebelahan. Banyak teman2 saya yg beragama budha dan kristen selalu melihat saya beribadah dan mendalami kajian tentang islam. Bahkan tidak sedikit dari mereka mengatakan ingin pindah ke agama islam. Dengan keras saya melarang nya, saya berpesan kepada mereka jangan hanya tertarik sekilas saja tentang islam. Saya ingin mereka terlebih dahulu cermati apa yang akan mereka jalani, karna agama itu “the way of life” bukankah kita tidak ingin bermain2 dalam hidup kita?

    Tidak ada yang bisa memilih terlahir dari agama apapun, tapi dalam dunia inilah kita mencari kebenaran

  14. Sangat menarik sekali artikel ini. Semoga bisa dipost dg tema2 lain agar Tionghua kristen bisa sadar mereka telah dijajah keyakinannya…

  15. Halo,saya cuma mw pinjam kata2 Dalai lama, sang Buddha,raja asoka
    Jika harus memilih antara agama dan cinta kasih,maka pilihlah cinta kasih – dalai lama

    Jgn mempercayai ssuatu hanya karena tradisi,guru2,org tua,dll..tp setelah kamu menyelidiki nya dan itu baik bagimu dan bsa membuat mu menjadi pribadi yg lebih baik,ikutilah – Buddha Gotama (kalama sutta )

    Siapapun yg tidak menghormati agama org lain,berarti dia tdk hormat pada agama sendiri ( raja asoka )

    Apa si yg mw di perdebatkan ?
    Bahkan org2 bijak dri jaman dulu aja uda ajarin toleransi,masi ada quotes dri al quran,dll tp krena saya ga igt ya saya ga tulis.
    Ttg imlek memang kl bole di blg itu dri tahun lahir kongzi,di blg tradisi keagamaan ya iya jg,toh sblm imlek ada yg namanya semvayang leluhur dll,jd ga salah jg di blg itu ada unsur keagamaan,tp saya pribadi ya tserah kl mw yg lain ikut2an rayain.
    Agama buddha berasal dri india,tp bsa berasimilasi ama rujiao ( saya blg rujiao soalnya konfusianisme pun rujiao,dao pun rujiao ) apa artinya,lluhur kita tw ttg kenaekaragaman n tbuka akan itu,knp kita yg jd anak cucu lebih terbelakang dri mereka yg hidup ratusan bahkan ribuan tahun yg lalu,apa artinya ini miliki ini milikmu,ini hari ku ini harimu,kl mw ngmg gtu mw ampe kpn ?
    Mmg ga di pungkiri saya punya banyak tmn yg pindah agama dan mereka blg ajaran lama itu setan nyembah berhala,dll
    Tp saya pun banyak tmn lain yg beda tp setelah pindah ada yg ttp masi mw ke kelenteng nuang minyak,dana,dll..itu tgantung org
    Kl ada yg ungkit buddhis myanmar n rohinya,apakah anda sudah meneliti knp bsa ada bentrok,dan apakah agama yg salah,liat di agama buddha,bahkan membunuh binatang pun ada karma sndiri,so please open mind n stop bahas perbedaan,kl emang cinta ama budaya tionghoa,pikirin apa yg bsa kita kasih buat lestariin budaya kita yg uda 5000 taon..
    Thanx

  16. Hi,
    Orang tua saya konghucu. Mereka mengarahkan saya ke agama buddha karena mereka beranggapan agama buddha hampir mirip dengan agama konghucu.
    Saya SD di sekolah buddha dan selanjutnya di sekolah katolik.
    Saya dulu tidak terlalu peduli dengan urusan agama, asalkan dia baik, tidak peduli agama apapun, saya jadikan teman.
    Karena saya berpikir seperti yang orang lain pikirkan “semua agama mengajarkan kebaikan”. Naifnya saya…
    Kenaifan saya hilang ketika saya bertemu seorang gadis katolik. Jatuh cinta, lalu jadian…
    Belum berapa hari jadian dia bilang ke saya “saya tidak bisa nikah beda agama karena agama saya melarang”. Saya berpikir didalam hati “saya cocok dengan dia”, “agama apapun mengajarkan kebaikan”, ” saya akan belajar agama katolik!”, meski didalam hati kecil saya berkata “kalau ajaran agamanya baik, kenapa ajaran agamanya mengajarkan kefanatikan, kenapa hanya boleh nikah yang agamanya sama, kenapa melupakan rasa kemanusiaan, bukankah rasa kemanusiaan itu lebih penting daripada agama, kalau ajaran dan cara berpikirnya begini bagaimana mungkin manusia menjadi satu, menjadi damai, pantesan aja perang terus”.

    Lalu saya menanyai teman saya yang katolik, katanya tidak ada aturan seperti itu.

    Lalu saya bilang ke pacar saya. Pacar saya mengakui kesalahan informasinya.
    Besok2nya dia berkata kembali tentang hal ini dan sudah dikonfirmasi sama pastur “boleh nikah beda agama asal di gereja”, dan ” boleh nikah beda agama asal anaknya jadi katolik”.
    Saya tidak bisa terima karena sebagai pria, mau ditaruh kemana muka saya dan muka keluarga saya bila nikah di tempat kebaktian mempelai wanita. Saya berkata ke dia “apakah kamu tidak bisa melindungi muka calon suami mu dan lebih mementingkan ego dan agamamu…”
    Dia berkata doktrin agamanya seperti itu.
    Lalu saya berkata “doktrin agamamu tidak mementingkan rasa kemanusiaan dan bersifat fanatik”. Lagian anak masih balita sudah mau dijadikan umat katolik padahal belum tau apa2, kan bisa tunggu dia gede dia bisa milih sendiri. Saya merasa seperti hanya sebagai ” sperm donor” saja…
    Saya menjelaskan panjang lebar tapi dia bersikap menutup sebelah hatinya untuk bisa melihat saya, yang amat sangat sayang kepada dia, menderita melihat dia yang begitu fanatik terhadap agamanya sehingga melupakan rasa kemanusiaannya terhadap saya”.

    Hingga berminggu2, berbulan2 saya berusaha menjelaskan hal yang lebih penting dari doktrin agamanya… Salah satunya, saya berkata kepada dia ” jalankan apa yang yesus ajarkan, bukan yang gereja ajarkan”. Tapi semuanya sia2…

    Dalam kurun waktu itu juga saya mendalami agama nya dan agama buddha.
    Agamanya penuh dengan sejarah kekerasan, perang, penaklukan, pembodohan publik, penjajahan, menolak ilmu pengetahuan, politik dan lain2.

    Yang saya pelajari dalam agama buddha yang saya suka :
    1. Ehipassiko. Yang artinya :
    Jangan langsung percaya, pelajari dulu.
    Jangan langsung percaya, bahkan ajaran saya sekalipun jangan langsung percaya.
    Ketika kamu tahu kalau itu benar, jalankan…
    Dan ketika dipuji oleh orang bijaksana, maka jalankanlah seumur hidupmu…

    2. Kesadaran.
    Sadar akan keadaan.
    Jika sedang marah, sadar… Lalu redakan amarahmu…
    Jika sedang dipengaruhi / dibodohi / dijadikan domba, sadar…

    Karena itulah saya lebih condong ke agama buddha.
    Prinsip saya “jika dalam agama buddha ada doktrin2 menyesatkan atau ada ajarannya yang bersifat fanatik atau membuat umatnya menjadi fanatik, maka saya akan menjadi atheist…” Saya tidak bisa menjadi “humanist” karena si dia telah membuat saya menjadi skeptis terhadap manusia.

    Akhir kata, saya dan dia pisah…
    Meski hati sekarang masih perih (mungkin karena dia adalah mantan terindah), saya jadi sadar, tidak semua ajaran agama itu bagus… Karena saya melihat dengan mata kepala sendiri ke orang yang saya sayangi apa yang agama bisa perbuat ke dalam pikiran kita.

    Karena itu teman2, tetaplah “sadar”.

    Best regards,

    yang tersakiti…

    1. Halo, Jimmy Lin.
      Secara pribadi saya prihatin dengan cerita anda diatas yang pada akhirnya berakhir tidak sesuai dengan harapan. Saya tergelitik dengan kata “sperm donor”; namun itulah realita yang sebenarnya. Meski agama K memperbolehkan pernikahan beda agama, tetapi mereka menginvestasikan pada generasi penerus; yakni anak-anak anda yang hidupnya lebih panjang dari anda. Mereka sadar itulah aset nyata dari kelangsungan sebuah agama.

      Hal ini sedikit banyak masih dipengaruhi akibat 32 tahun kebebasan etnis Tionghoa yang dibelenggu di Indonesia, yang mengakibatkan agama-agama lain “panen raya” umat dari etnis Tionghoa sendiri. Namun saat ini agama-agama Tionghoa sekarang mulai berbenah. Mereka (pengurus) sadar bahwa bibit-bibit generasi muda harus “dijaga” dengan baik. Generasi muda Konghucu dan Tao mulai banyak, aktivitas kepemudaan meningkat, sekolah-sekolah berbasis Tionghoa/Tridharma mulai ada, hal ini memberikan opsi pada orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang mayoritas berbasis agama K.

      Ada satu kejadian, Seorang teman saya yang berada di Taiwan, yang anak laki-lakinya menikah dengan wanita etnis Tionghoa, namun sudah pindah kepercayaan. Saat akan melakukan pai kepada leluhur sesaat sebelum prosesi tea pai, menantunya menolak untuk memegang dupa karena hal itu dilarang oleh agamanya. Teman saya kesalnya bukan main pada waktu itu. Inilah pribahasa yang disebut “Minum air lupa sumbernya; bapak orang lain diakui sebagai bapak sendiri, sementara bapak sendiri (leluhur) sudah tidak diakui lagi”. Ternyata bukan hanya di Indonesia saja terjadi peristiwa demikian.

      1. @Herman Tan:
        Anda benar mengenai hal “…mereka menginvestasikan pada generasi penerus;…”.

        Masalah perbedaan suku, agama, ras, adat-istiadat/budaya tidak akan pernah ada solusinya.

        Kedepannya memang akan menjadi sumber masalah besar saat anak-anaknya akan dipaksa memilih “ikut” kata papahnya atau mamahnya!

        Pada saat itulah mereka yang dulunya bangga karena bisa kawin campur dengan beda etnis, beda agama, beda suku, & beda adat-istiadat/budaya, akan menyesalinya di kemudian hari.

        Puncak penyesalan tiada tara akan dirasakan saat memasuki usia tua dan menjelang ajal menjemput!

        Bagi generasi tua yang sudah mengalami sendiri kawin campur dengan beda etnis, beda agama, beda suku, & beda adat-istiadat/budaya, dipersilahkan untuk menceritakannya kepada generasi muda.

        Kisah pengalaman hidup perlu disampaikan secara terbuka agar dapat dimengerti oleh generasi muda. Hanya dengan cara inilah generasi muda dapat memilih jalan yang benar.

        =Tan=

  17. Ingat ketika ada hal semacam ini kita harus ingat tokoh yang bernama sun yet san orang china yang rela kembali ke tanah moyangnya untuk menjatuhkan kekaisaran maksud saya bahwa terkadang adat kebudayaan membuat kita terkekang dalama kebodohan tetapi bila melupakan adat dan budaya sama juga melupakan moyang Sun yet san menurut biografinya tidak menyukai penyembahan patung tetapi ia tetap tidak melupakan budayanya sehingga ia mau kembali hanya untuk mendirikan republik sehingga china tidak terjebak dalam kebodohan dan penindasan

  18. Materi yang di berikan di atas benar adanya,,,kejadian yang sekarang terjadi secara gencar di indonesia memang seperti itu,,,kadang miris melihatnya,,,masuk / pindah agama hanya karena pasangan atau di ajak teman, tapi kebanyakan orang tionghoa yang pindah agama kebanyakan karena ada kepentingan saja, dan saat pelaksanaan ibadahnya kebanyakan saat waktu2 tertentu saja, sedangkan kalo imlek kok masih saja melaksanakan imlek dan menerima angpao,,,saya ngelihatnya,,,munafik sekali, sudah pindah agama tapi ajaran budaya tionghoa yang menguntungkan atau menyenangkan untuk pribadinya sendiri malah di jalankan,,,

    1. Sebenarnya Agama dan Tradisi kebudayaan pada titik tertentu nyatanya tidak dapat dipisahkan; saling mendukung satu sama lain; karena beberapa tradisi dan kebudayaan justru berkembang dari ritual keagamaan sendiri. Contoh simplenya adalah pai kepada leluhur. Pada moment Perayaan Imlek atau Pernikahan, sembahyang kepada leluhur adalah sebuah kewajiban yang tidak dapat diabaikan/diwakilkan.

      Namun pada kenyataannya sebagian orang justru menghindari hal ini (tidak lagi dilakukan; di skip saja) karena dianggap sebagai bentuk penyembahan berhala; namun pada moment acara makan bersama keluarga dan tea pai nya tetap dilakukan. Ini adalah contoh bentuk pengkerdilan/penyederhanaan nilai dari sebuah tradisi dan budaya akibat pengaruh luar. Dulu sewaktu hari Imlek dijadikan hari raya agama Konghucu, sebagian orang yang telah pindah keyakinan mulai ragu untuk merayakan momen tersebut; namun berkat himbauan dari petinggi MATAKIN sendiri yang menganggap Imlek adalah hari raya milik bersama seluruh orang Tionghoa, maka sebagian orang yang telah pindah keyakinan ini dapat terus merayakan momen Imlek; namun dengan pengkerdilan/penyederhanaan makna yang terkandung di dalamnya. Bagi mereka, Imlek hanya sebuah momen jamuan makan malam/makan bersama keluarga; tidak lebih. Mereka tidak akan ikut dalam momen sembahyang leluhur yang dilaksanakan sehari sebelumnya.

      Sementara ada juga tradisi kebudayaan yang tidak terikat pada ritual keagamaan, seperti Festival musim gugur Zhongqiu Jie, Festival musim dingin Dong Zhi, dsb. INTINYA, mereka tidak lagi akan menjalankan sebagian atau sepenuhnya sebuah tradisi kebudayaan, jika tradisi kebudayaan tersebut mengandung acara sembahyang-sembahyangan,sujud-sujutan, dan bau-bauan dupa.

  19. “Agama melahirkan budaya, dan budaya tidak pernah meninggalkan inti ajaran agama”
    Kitab Yi Jing-salah satu ayat dalam kitab agama Khonghucu.

    Maka jelaslah bahwa apa yg selama ini “hanya” kita anggap sebagai tradisi atau budaya bersumber drpd agama. Terima kasih kepada saudara(i) yg masih tetap menjalankan ritual atau yg mnrt anda “hanya sekedar” tradisi. Karena berarti anda TETAP MENGIMANI Ru Jiao agama nenek moyang yg telah berusia 5000 tahun. Dan yg memilih untuk masuk ke kristen katolik hindu ataupun islam spy anda benar2 menjadi umat yg taat dan tulen silahkan semua tradisi anda dihilangkan karena semua itu bersumber dr kitab suci Ru Jiao. Terima kasih. Salam hormat. Hanya pada kebajikan Thian berkenan, wei de dong tian..!

  20. Salam, (OOT) saya pengen pnya partner hidup dr wanita keturunan, tp yg membuat saya minder adalah saya dr keluarga sederhana, paling hanya pnya kebun & sawah +/- 2 hektar,yang saya pikirkan ongkos nikah, budaya oriental kan mewah ya u/ acara pernikahan,CMIIW… sedang budaya daerah asal saya cenderung sederhana, apa yang ada asal bahagia & komitmen jalankan berdua, lagipula rejeki tdk harus dihabiskan dlm 1 hari saja, kbutuhan di kemudian hari kan msh byk. Jadi itu yang membuat mengurungkan saya u/ dapat berbagi hidup dgn wanita keturunan. Tanggapannya saya ucapkan trima kasih.

    Btw, berdiskusilah yg bijak, ‘Pelangi indah bukan karena satu warna saja’

    1. Pengen sih boleh2 aja,,,kalo gak ada niat yang kuat dan usaha,,,apa gunanya,,,? Ibaratnya kata, semua orang pengen masuk surga,,,tp jika tidak berbuat baik dan beramal dan menjalankan perintah agama yang ada di kitab suci apa bisa masuk surga,,,?

  21. memang agama seharusnya tidak usah ada.karena tidak diperlukan dalam menjalankan hidup yang damai.menurut saya agama hanya bikin sesama manusia saling menghina,saling bunuh,bahkan adakalanya memaksa kita menyangkal orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita.agama kelihatannya saja mengajarkan kebaikan tp di dalamnya justru ingin manusia saling membinasakan.

    1. Menurut saya di luar agama tao, budha, konghucu, agama lain memasukkan peperangan dan kebencian di dalam kitab sucinya. Harap di koreksi jika saya salah. Terima kasih.

  22. Kakak semua jalankan apa yang kalian yakini baik utk kalian pribadi, yang bisa membawa kebaikan, kedamaian, kasih utk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Kita masing masing mempunyai prinsip dan keyakinan berbeda, yang akan kita perjuangkan karena kita meyakini’nya. Bagi saya sama saja semua agama, karena mengajarkan kebaikan utk semua makhluk di dunia ini. Tergantung perilaku individu masing masing untuk melihat, memahami, dan menjalankan apa yang baik untuk di lakukan dan bisa bermanfaat utk semua makhluk di dunia ini.

  23. Agama apa yg paling baik?

    Seorang ahli dari kelompok “The Theology Of Freedom” dari Brazil bernama Leonardo Boff bertanya pd Dalai Lama pemimpin umat Buddha dari Tibet, “Yang Mulia, apakah agama terbaik?”
    Leonardo Boff menduga bahwa Dalai Lama akan menjawab,
    “Agama Buddha dari Tibet ato agama Oriental yg lebih tua dari agama Kristen.”
    Ternyata sambil tersenyum, Dalai Lama menjawab,
    “Agama terbaik adalah agama yg lebih mendekatkan anda pada TUHAN, yaitu agama yg membuat anda mjd org yg lebih baik.”
    Sambil menutupi rasa malu karna punya dugaan kurang baik tentang Dalai Lama,
    Leonardo Boff bertanya lagi,
    “Apakah tanda agama yg membuat kita mjd lbh baik?”
    Jawaban Dalai Lama,
    “Agama apapun yg bisa membuat anda
    Lebih welas asih,
    Lebih berpikiran sehat,
    Lebih objektif & adil,
    Lebih menyayangi,
    Lebih manusiawi,
    Lebih punya rasa tanggung jawab,
    Lebih ber-etika.
    Agama yg punya kualitas seperti di atas adalah agama terbaik.”
    Leonardo Boff terdiam sejenak & ter-kagum² atas jawaban Dalai Lama yg bijaksana & tdk dpt di bantah.
    Selanjutnya, Dalai Lama berkata,
    “Tidak penting bagiku kawan, Apa agamamu, Tidak peduli anda beragama atau tidak.
    Yg betul² penting bagi saya adalah perilaku anda di depan kawan² anda, di depan keluarga, lingkungan kerja & dunia.”
    Akhirnya, Dalai Lama berkata:
    “Jagalah pikiranmu, Karena akan menjadi perkataanmu.
    Jagalah perkataanmu, Karena akan menjadi perbuatanmu.
    Jagalah perbuatanmu, Karena akan menjadi kebiasaanmu.
    Jagalah kebiasaanmu, Karena akan membentuk karaktermu.
    Jagalah karaktermu, Karna akan membentuk nasibmu,
    Jadi nasib mu berawal dari pikiran mu..:)

  24. Perkenalkan saya Acin..
    Umur 16 thn..
    Saya ini Chinese..tpi di ajak ikut kristen.. tpi skrg sya lebih memilih Buddha karena daru nenk moyg memang org thiong hoa..
    Artikel ini fakta…tpi ada yg sya mengrti dri ini artikel…kalau klian chinese..coba klian ingat imlek.. thun baru cina itu sudah 2500 thun..dan budaya thiong hoa sudh lebih lama dri semua budaya..kalau udh kristen klian jngn anggap diri sebagai chineee…Sry tpi ini anggapan saya.. jngan di masukkan ke hati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?