Last Updated on 1 June 2021 by Herman Tan

Berdasarkan apa yang diterbitkan oleh sebuah artikel di Tiongkok, yang ditulis oleh 2 orang akademisi, dimana ia mengajukan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan pemungutan pajak bagi masyarakat Tiongkok yang telah berusia 40 tahun yang mereka tidak mempunyai dua anak.

Artikel tersebut dipublikasikan pertama kali oleh Xinhua Daily, yang merupakan sebuah koran di bawah pimpinan PKT (Partai Komunis Tiongkok) cabang Jiangsu pada tanggal 14 Agustus yang lalu. 2 akademisi yang mencetuskan ide mengenai kebijakan ini bernama Zhang Ye dan juga Liu Zhibiao.

Apa yang mereka ajukan tersebut diberi nama “Maternity Found System” (生育基金制度), atau berarti “sistem persalinan”, yang bertujuan sebagai upaya untuk mengatasi demografi yang ada di Tiongkok.

Dalam artikel tersebut, kedua akademisi tersebut mengatakan bahwa jika dalam 1 keluarga memiliki anak lebih dari 1, maka keluarga tersebut memiliki hak untuk menerapkan maternity fund;

yang mana mereka akan mendapatkan subsidi dan kompensasi ketika seorang ibu kehilangan penghasilannya dalam jangka waktu pendek, atau mengalami permasalahan lainnya dalam ranah keluarga.

Namun, jika ternyata dalam 1 keluarga tersebut hanya memiliki anak 1, maka uang akan tetap berada di dalam bank, dan nanti baru bisa diambil ketika sudah pensiun.

Adapun maternity fund ini merupakan sebuah sistem yang diadopsi dari penerapan Pay as You Go, yang mana uang deposit yang belum diambil oleh pemilik bisa digunakan oleh pemerintah untuk memberikan subsidi bagi keluarga2 lain.

Jika dana tersebut dirasa masih kurang, barulah pemerintah yang akan menambahnya.

Kontroversi inilah yang bisa dikatakan sebagai kontroversi ke-2, dimana sebelumnya pada tanggal 6 Agustus 2018 lalu, media resmi PKC, People’s Daily, menerbitkan artikel berjudul “Having a baby is  a family matter, as well as a state affair” (生娃是家事也是国事).

Artinya kira-kira “Memiliki bayi adalah urusan keluarga, dan juga urusan Negara”.

Artikel tersebut mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak, khususnya para ibu dan calon ibu (disini lagi populer dengan sebutan “emak-emak”).

Para ibu berpendapat, jika kebijakan yang berlaku ini menunjukkan sikap pemerintah Tiongkok yang tidak memperlakukan wanita seperti layaknya manusia, dan lebih memperlakukan wanita sebagai “sumber kesuburan”.

Kebijakan 2 anak di Tiongkok, sejatinya hanya bisa di implementasikan bagi pasangan yang sudah mapan.

Seperti yang diketahui, pemerintah Tiongkok saat ini mengalami permasalahan di bidang demografi, dimana total kelahiran di tahun 2017 mencapai kurang lebih 17,3 juta jiwa. Angka ini sebenarnya turun sebanyak 630.000 ribu jiwa dibandingkan tahun sebelumnya (2016).

Jika terus berlanjut (kelahiran makin turun), maka nasib Tiongkok ditakutkan akan sama dengan Jepang, dimana penduduk usia tuanya sudah lebih banyak dari penduduk usia muda (usia produktif), dan ini tentu akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi Negara.

Sekedar informasi, bahwa kebijakan sebelumnya adalah dengan menurunkan usia minimal yang berlaku bagi pasangan yang ingin menikah di Tiongkok. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kontroversi, dimana para anak muda yang sudah siap menikah, namun mereka justru menolak untuk menikah, dan memiliki anak.

Kemudian, pemerintah Tiongkok mencetuskan sebuah kebijakan bernama Two Child Policy (两孩政策) yang akan berlaku secara nasional. Namun, ternyata kebijakan tersebut juga tidak dapat menjadi solusi, dan malah hanya memberikan efek yang kurang baik.

Saat ini, banyak masyarakat disana yang menentang kebijakan baru tersebut. Atas kebijakan yang diterapkan tersebut, para warganet berbondong-bondong memberikan komentar dan respon mereka.

Salah satu yang paling menarik dari kebijakan baru ini adalah, jika dulunya orang-orang dipaksa untuk menggugurkan anak keduanya, maka sekarang mereka dipaksa harus mengeluarkan uang untuk membayar pajak, jika mereka memiliki anak kedua.

Tampak calon bayi yang digugurkan ibunya di tempat tidur. Menyedihkan, karena sang ibu tidak mampu membayar “pajak kelahiran” anak ke-2.

Jika anda perhatikan, foto yang beredar diatas merupakan sebuah foto aborsi yang dilakukan oleh Feng Jianmei, seorang ibu muda. Kejadian tersebut terjadi di pertengahan tahun 2012, yang mana kala itu langsung membuat gempar media sosial.

Bayi tersebut masih berusia 7 bulan, dimana kebijakan One Child Policy (一孩政策) yang dicetuskan oleh pemerintah Tiongkok kala itu masih berlaku.

Feng beserta suaminya mau tidak mau harus membayar sekitar 40.000 Yuan (±Rp.84.000.000,- untuk kurs saat ini) jika anak keduanya lahir. Namun karena masalah ekonomi, akhirnya keluarga tersebut mau tidak mau harus menggugurkan kandungannya.

Kebijakan yang diterapkan tersebut hanya akan menimbulkan permasalahan bagi anak muda, atau bagi keluarga yang berkeinginan untuk menambah anak.

Di sisi yang lain, permasalahan demografi di Tiongkok saat ini dikarenakan biaya untuk membesarkan seorang anak, didukung juga dengan faktor perubahan kultur masyakarat disana, dimana partisipasi wanita dalam dunia kerja mulai meningkat.

Kantor berita SINA NEWS juga ikut bagian untuk memberikan pendapatnya mengenai kebijakan tersebut. Mereka berpendapat, jika nanti kebijakan tersebut benar-benar diterapkan, maka hanya akan menimbulkan masalah finansial bagi masyarakat kelas bawah, atau bagi pasangan muda disana.

Bagaimana tidak, dimana biaya persalinan di rumah sakit saja sudah mahal (apalagi lewat operasi cesar), kini harus ditambah “pajak anak ke-2”, yang harus dibayar ketika anak lahir, yang nilainya hampir mencapai 100 juta. Padahal uang tersebut bisa dipergunakan untuk keperluan si bayi kelak.

Padahal, biaya untuk membersarkan seorang bayi hingga menjadi dewasa (berusia 18 tahun) juga tidak sedikit, rata-rata minimal 276 ribu Yuan, atau sekitar 580 juta rupiah.

Itu diluar biaya hidup suami-istri, dan calon anak ke-2. Paling tidak, seorang ayah di Tiongkok harus memiliki penghasilan diatas 5000 Yuan, atau sekitar 10 jutaan untuk hidup.

Meskipun nantinya pemerintah akan memberikan subsidi, akan tetapi kebijakan tersebut dirasa masih kurang membantu, karena nilainya kecil.

Meski rata-rata penduduk modern di perkotaan Tiongkok memiliki kehidupan yang mapan, namun sebagian yg tinggal di pesisir kota, atau kota kecil, atau di wilayah pedesaan, masih belum sepenuhnya sejahtera.

Dengan kewajiban harus membayar pajak, sementara kebutuhan hidup di Tiongkok yang mahal, maka hanya akan membuat pasangan untuk melakukan tindakan yang melawan arah,  yakni dengan menentang kebijakan tersebut dengan cara apapun.

Bahkan tidak sedikit masyarakat yang menuduh pemerintah Tiongkok, karena mereka berencana akan mengeluarkan kebijakan baru, yakni Three Child Policy, yang tentu saja pajaknya bisa berkali-kali lipat dari kebijakan Two Child Policy.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?