Last Updated on 1 June 2021 by Herman Tan

Kebijakan satu keluarga satu anak yang diterapkan di Tiongkok telah dihapus sejak 28 Oktober 2015, dan warga Tiongkok dapat memiliki hingga 2 anak. lalu. Kini Pemerintah Tiongkok mempertimbangkan untuk menggelontorkan subsidi bagi pasangan yang mau memiliki anak kedua untuk mendongkrak angka kelahiran di Negeri Panda itu.

Berdasarkan laporan China Daily yang mengutip Wang Peian, vice minister of the National Health and Family Planning Commission, pemerintah mempertimbangkan reward dan subsidi atas kelahiran bayi. Kebijakan ini bertujuan mendorong pasangan di Tiongkok untuk memiliki anak lagi.

Insentif tersebut akan menunjukkan perubahan fundamental yang signifikan dari Partai Komunis dalam pendekatan terhadap perencanaan keluarga; yakni dari membatasi angka kelahiran, menjadi mendorong angka kelahiran.

Menurut Wang, kebijakan “bonus bayi” tidak akan mudah karena harus diterapkan di seluruh daratan Tiongkok. Otoritas pemerintah yang menangani populasi tidak bisa menangani kebijakan itu sendirian, karena membutuhkan konsensus dan kerjasama dengan seluruh otoritas berwenang.

Di sisi lain, subsidi dari pemerintah ini bisa jadi tidak efektif. Pasalnya, di Singapura, tingkat kesuksesannya sangat kecil. Menurut Chen Xingdong, chief China Economist di Beijing, hal ini dikarenakan masyarakat cenderung ingin memiliki anak yang lebih sedikit karena mereka nantinya :

(1) akan lebih kaya (satu-satunya pewaris warisan),
(2) lebih berpendidikan (anak tunggal, pasti akan disekolahkan dengan baik).

Jajak pendapat yang dilakukan komisi tersebut pada 2015 menemukan, 60 persen keluarga yang disurvei enggan memiliki anak kedua karena sebagian besar disebabkan kendala keuangan.

Angka kelahiran di Tiongkok merupakan salah satu yang terendah di dunia, secara cepat menjadi kekhawatiran pihak berwenang, meski tujuan kebijakan itu telah tercapai.

Sekilas Mengenai Kebijakan Satu Anak Tiongkok

Papan pengumuman di Nanchang: “Untuk negara yang makmur, berkuasa, dan keluarga yang bahagia, silahkan lakukan kelahiran berencana.”

Kebijakan ini dikeluarkan oleh Presiden Tiongkok Deng Xiaoping pada tahun 1979 dengan tujuan untuk mengurangi populasi penduduk Tiongkok yang pada saat itu sedang tumbuh pesat.

Kebijakan ini sebenarnya bertentangan dengan kebijakan Mao Zedong pada tahun 1949 : “Dari semua benda di dunia, manusia adalah yang paling utama. Lebih banyak penduduk, berarti lebih banyak tenaga kerja.”

Setelah beberapa dekade memberikan pinalti kepada keluarga yang memiliki anak lebih dari satu, sekarang Tiongkok harus menuai masalah dari kebijakan satu anak yang diterapkan mereka pada akhir 1970-an.

Setelah kebijakan satu anak diberlakukan, rata-rata kelahiran di Tiongkok turun dari 2,63 kelahiran per wanita pada tahun 1980 (terjadi penurunan tajam lebih dari 5 kelahiran per wanita pada awal tahun 1970) menjadi 1,61 pada tahun 2009. Namun, kebijakan itu sendiri kemungkinan berpengaruh pada keseluruhan rata-rata kelahiran.

Sejak jaman Konfusianisme, Tiongkok memiliki tradisi turun-temurun dimana umumnya mereka lebih mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan.

Anak laki-laki lebih disukai karena mereka memberikan kebutuhan keuangan utama bagi orang tua saat masa pensiun, dan orang tua laki-laki biasanya lebih baik dalam merawat anak daripada isterinya.

Selain itu, kelahiran seorang bayi perempuan tidak pernah disambut dengan gembira. Garis keturunan keluarga adalah melalui garis laki-laki, sehingga perempuan tidak mempunyai kedudukan penting di keluarga. Mereka hanya dianggap orang yang “menumpang” dalam keluarga sampai kelak menikah.

Dalam kitab Shijing (詩經; buku yang berisi kumpulan lagu rakyat Tiongkok kuno) ditemukan sebuah kidung sebagai berikut :

Kalau anak laki-laki dilahirkan,
Taruhlah ia tidur di tempat tidur,
Kenakanlah padanya pakaian indah,
Dan berilah dia mainan terbut dari batu giok,
Oh betapa mulia tangisnya!
Semoga ia tumbuh besar mengenakan pakaian warna merah tua,
Dan semoga ia menjadi kepala dari klan dan sukunya.

Kalau anak perempuan dilahirkan,
Taruhlah dia tidur di atas lantai,
Bungkuslah ia dengan pembungkus biasa,
Dan beri dia mainan dari keping potongan ubin,
Semoga ia tidak berbuat salah, juga tidak berbuat jasa,
Semoga ia pandai menyediakan masakan dan anggur,
Dan tidak membawa aib bagi orang tuanya.

Kutipan ini jelas mengungkapkan bagaimana anak perempuan dipandang amat rendah pada zaman dulu. Pada zaman dinasti Song, kedudukan perempuan kian merosot. Perempuan kehilangan peranannya di masyarakat. Misalnya terkenal ucapan yang mengatakan kehidupan perempuan tergantung pada tiga kepatuhan :

Kalau ia masih bersama orangtua, ia harus patuh kepada ayahnya,
Kalau sudah menikah, ia harus patuh pada suaminya,
Dan kalau menjadi janda, ia harus patuh kepada anak laki-lakinya.

Sumber : Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)

Meski kebijakan satu anak per keluarga dijalankan dengan keras di wilayah perkotaan, namun penerapannya berbeda dari satu lokasi ke lokasi lain.

Di wilayah pedesaan, satu keluarga diperbolehkan memiliki anak kedua bila anak pertamanya (1.) berjenis kelamin perempuan, (2.) cacat fisik, atau pun cacat mental. Namun, ada pembatasan jarak umur antara pertama dan anak kedua yakni setelah 3 atau 4 tahun.

Bila jumlah anak lebih dari yang diperbolehkan, keluarga tersebut akan dikenakan denda. Namun, peraturan ini tidak diterapkan pada anak dari keluarga Tiongkok yang (1.) lahir di luar negeri tetapi tidak memiliki kewarganegaraan Tiongkok serta (2.) keluarga yang kembali ke Tiongkok setelah lama tinggal di luar negeri.

Adapun kelompok lain yang dikenai peraturan yang lebih longgar adalah warga negara Tiongkok yang berasal dari selain etnis selain Han (suku mayoritas). Selain itu, ada pula keluarga yang memilih untuk memiliki anak lebih dari satu dan membayar denda.

Akankah Aturan Ini Ditetapkan?

Struktur piramida penduduk Tiongkok, sudah mulai mengerucut dibawah dan ‘membuncit’ ditengah keatas

Bentuk piramida penduduk ini menggambarkan tingkat kelahiran yang lebih rendah dari tingkat kematian atau bersifat konstruktif. Penurunan tingkat kelahiran yang tajam menyebabkan pertumbuhan penduduk mengalami penurunan. Piramida penduduk ini memiliki umur median (pertengahan) sangat tinggi.

♦ Jumlah penduduk usia muda (< 20 tahun) dan usia tua (> 64 tahun) sangat kecil.
♦ Jumlah penduduk yang tinggi terkonsentrasi pada ke lompok usia dewasa (usia 30-50 tahun).
♦ Angka kelahiran sangat rendah.

♦ Pertumbuhan penduduk sangat rendah mendekati nol, bahkan pertumbuhan penduduk sebagian mencapai tingkat negatif.
♦ Pertumbuhan jumlah penduduk cenderung berkurang dari tahun ke tahun.

Tiongkok mulai menerapkan kebijakan satu anak yang kontroversial pada 1970-an untuk membatasi pertumbuhan penduduk. Tapi pemerintah sekarang khawatir bahwa tenaga kerja yang berkurang tak mampu mendukung populasi yang semakin menua.

Mindset pemerintah mereka saat ini telah berubah, mulai dari mengontrol kelahiran, menjadi kecemasan mengenai rendahnya tingkat angka kelahiran. Namun, banyak orangtua yang masih menolak untuk menambah anak, meski pemerintah sudah mendorong/mengizinkan mereka untuk melakukannya.

Dari data Pusat Badan Statistik Tiongkok menunjukkan, tingkat kelahiran di Negeri Tirai Bambu pada tahun 2016 lalu mencapai 17,86 juta, atau sebenarnya naik 1,3 juta bayi dari tahun 2015.

Jika kebijakan ini diberlakukan, targetnya adalah angka kelahiran bisa bertambah 17 juta bayi di 2020, sehingga angkatan kerja muda bertambah 30 juta orang di 2050. Peningkatan angkatan kerja diprediksi dapat mendongkrak potensi pertumbuhan ekonomi Nasional sebesar 0,5%.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?