Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan

Kwee Tek Hoay (hanzi : 郭德懷; pinyin : Guo Dehuai) merupakan sastrawan melayu Tionghoa dan tokoh ajaran Tridharma di Indonesia (Sam Kauw; 三教). Kwee Tek Hoay dikenal banyak menulis karya sastra seperti drama, novel, kehidupan sosial, dan agama masyarakat Tionghoa Peranakan.

Biografi Kwee Tek Hoay

Nama Lengkap : Kwee Tek Hoay (郭德懷; Guo Dehuai)
Tempat, Tanggal Lahir : Buitenzorg, Jawa Barat, 31 Juli 1886
Meninggal : Sukabumi, 4 Juli 1951 (usia 64)

Istri : Oei Hiang Nio
Anak : Kwee Yat Nio (putri sulung), Kwee Tjun Gin dan Kwee Tjun Kouw
Profesi : Jurnalis, Sastrawan (penulis buku dan drama)

Aliran Sastra : Drama, Novel
Dikenal sebagai : Bapak Tridharma Indonesia

A. Kehidupan Awal Kwee Tek Hoay

Kwee Tek Hoay telah banyak menghasilkan karya sastra, seperti Boenga Raos dari Tjikembang, Drama dari Krakatau, Drama di Boven Digoel, Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia, dsb.

Kwee Tek Hoay merupakan anak bungsu yang lahir dari pasangan Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio. Ayahnya berasal dari Tiongkok, desa Lam An, Propinsi Fujian. Kwee Tjiam Hong merantau untuk mengadu nasib di Pulau Jawa dengan menggunakan kapal layar bersama dengan teman2 nya.

Kwee Tjiam Hong saat itu menetap di wilayah Bogor, Jawa Barat. Pekerjaannya sehari2 adalah sebagai pedagang obat2an yang dibawa dari Tiongkok. Bersama dengan teman2nya, beliau membuka toko dan memberi perawatan dan pengobatan secara tradisional.

Selain menjual obat, Kwee Tjiam Hong juga membuka usaha lainnya, yakni usaha ekspedisi dan toko kain, dimana Ia memasarkan kain dengan cara berkeliling kota.

Setelah dirasa memiliki modal yang cukup, Kwee Tjiam Hong akhirnya menikah dengan Tan Ay Nio.

Kwee Tek Hoay

Pada usia Kwee Tek Hoay yang ke 8 tahun, Ia masuk sekolah Tionghoa, dengan menggunakan pengantar bahasa Hokkian. Semasa sekolah, Kwee sering membolos karena tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan. Sampai suatu hari Kwee Tek Hoay akhirnya melanjutkan sekolahnya dengan bimbingan seorang guru privat Belanda.

Pada masa itu, keturunan Tionghoa tidak diperkenankan masuk sekolah pemerintah kolonial Belanda, jika mereka bukan berasal dari anak seorang bangsawan atau berpangkat tinggi.

Kwee Tek Hoay sangat menggemari sastra. Ia belajar tata buku dan ilmu akuntansi. Kwee Tek Hoay juga giat mempelajari beberapa bahasa asing, seperti bahasa Melayu, bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Karena itu, tak jarang membuat Kwee Tek Hoay menjadi gemar membaca buku dalam berbagai bahasa asing yang Ia kuasai.

Pada tahun 1906, tepatnya di usia 20 tahun, Kwee Tek Hoay menikah dengan seorang gadis yang juga keturunan Tionghoa yang bernama Oei Hiang Nio. Dalam keseharian, istrinya turut membantu mengelola toko Kwee, yang merupakan warisan dari orang tuanya.

Ia mengajari istrinya dalam mengurus keuangan toko, dan setelah istrinya mahir, Kwee membiarkan istrinya mengatur sendiri tokonya.

Menurut Kwee Tek Hoay, seorang wanita tidak harus selalu berada di dapur, namun juga harus bisa mandiri. Berbeda dengan masa saat itu, dimana orang2 umumnya meninggalkan istrinya sendirian di rumah ketika ada acara, Kwee justru sering mengajak istrinya ke pertemuan atau undangan jamuan makanan bersama teman2 nya.

Istrinya, Oei Hiang Nio, juga selalu mendukung bakat suaminya dalam hal menulis. Ia selalu menyempatkan diri untuk membaca tulisan suaminya sebelum dimuat di surat kabar Tionghoa.

Kehidupan pasangan Kwee Tek Hoay dan Oei Hiang Nio sangat harmonis dan patut diteladani pasangan2 lain untuk saling mendukung satu sama lain.

Kwee Tek Hoay dan Oei Hiang Nio dikaruniai 3 orang anak, yakni seorang perempuan yang bernama Kwee Yat Nio, dan 2 anak laki2 yang masing2 bernama Kwee Tjun Gin dan Kwee Tjun Kouw.

Putri sulung Kwee juga sangat menyukai sastra, dimana ia menekuni bidang jurnalistik, sedangkan kedua adiknya lebih tertarik pada dunia usaha.

B. Pencetus Budha Tridharma dan TITD di Indonesia

Kwee Tek Hoay menganut ajaran Budha Tridharma yang taat. Pada tahun 1932, beliau menerbitkan majalah berbahasa Indonesia yang berisikan ajaran Agama Buddha dengan nama Moestika Dharma.

Dari majalah yang ditulis beliau, diketahui bahwa pada waktu itu di Indonesia telah berdiri satu organisasi Buddhis yang bernama Java Buddhist Association,

Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma (saat ini Myanmar) dan mengacu pada aliran Buddha Theravada, di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst.

Dengan melajunya perkembangan jaman yang mempengaruhi peranakan Tionghoa, membuat  mereka mengalami krisis identitas kebudayaan dan agama.

Kwee Tek Hoay berusaha mengembalikan kebudayaan leluhurnya dengan dengan karyanya tentang “Agama Tionghoa” yang kemudian karyanya dimuat dalam sebuah majalah Sam Kauw Gwat Po.

Sam Kauw Gwat Po, 1936

Agama Tionghoa inilah yang kelak menginspirasi sebagian kecil etnis Tionghoa di Indonesia untuk mendirikan “agama baru” di Indonesia, AGAMA TRIDHARMA.

Pendirian Agama ini juga ditentang oleh berbagai pemuka agama di Indonesia, seperti dari Konghucu, Buddha dan Tao sendiri, karena Tridharma sebenarnya merupakan bentuk sinkretisme agama, atau pengkerdilan akan ajaran agama masing2.

Ajaran triharma yang umumnya berkembang di kelenteng2 Indonesia, yang membentuk satu organisasi yang bernama TITD (tempat Ibadah Tri Dharma).

Tridharma dalam perkembangannya di Indonesia, sejatinya telah menolong banyak kelenteng dari ancaman pemusnahan atau perambil-alihan oleh pemerintahan Orde Baru, dimana waktu itu harus bergabung ke dalam organisasi WALUBI Buddha.

Ong Kie Tjay, yang juga tokoh Tionghoa pada waktu itu membentuk TITD – Tempat Ibadat Tri Dharma.

Karena dikala itu, klenteng2 di propinsi Jawa Timur (serta di Jawa dan di seluruh Nusantara pada umumnya) terancam punah, sebagai akibat dari persepsi yang kurang lengkap dari pemerintah daerah terhadap kelenteng, yang dianggap sebagai Lembaga Kecinaan Non Agama pasca G30S/PKI tahun 1965.

Namun seiring keterbukaan pemerintah di era Orde Reformasi (1998), telah menjadikan Konghucu sebagai sebuah agama yang resmi diakui di Indonesia¹; dan tidak menutup kemungkinan kelak agama Tao juga akan mengikuti hal serupa.

Hal ini jelas akan mengurangi peran organisasi Tridharma (TITD), yang kegiatannya terbatas pada lingkup ajang kumpul dan sembahyang bersama di kelenteng2; sementara pengajaran dan unsur ritual diserahkan ke tempat ibadah agama masing2.

Baca jugaTridharma Masa Kini : Layakkah Dijadikan Sebuah Agama?

C. Berkarir Dalam Bidang Jurnalistik

Dalam perjalanan karir Kwee Tek Hoay, Ia pernah menjadi seorang wartawan, dan tulisannya juga banyak dimuat di surat kabar, salah satunya telah dimuat di koran mingguan Li Po, surat kabar Bintang Betawi, dan surat kabar Ho Po.

Salah satu tulisannya yang terkenal adalah Pemandangan Perang Dunia I  yang dimuat di koran Sin Po, selang tahun tahun 1914 s/d 1918.

Baca jugaSIN PO, Surat Kabar Tionghoa Pertama di Indonesia

Di tahun 1925 Kwee Tek Hoay diangkat menjadi kepala redaksi harian Sin Bin di Bandung. Pada tahun 1926, Kwee Tek Hoay juga menjabat sebagai pemimpin redaksi mingguan majalah Panorama, yang pada tahun 1932 yang berganti nama menjadi majalah Moestika Romans.

Pada tahun 1932  Kwee Tek Hoay mendirikan sebuah koran mingguan Moestika Dharma, dan majalah bulanan bernama Sam Kauw Gwat Po yang khusus membahas tentang ajaran2 agama tionghoa (Buddha, Konghucu, Tao).

Selain sastra, Kwee Tek Hoay juga banyak menulis karya drama. Sebuah drama 6 babak berjudul Allah Jang Palsoe ditulis oleh Kwee di tahun 1919. Drama keduanya terbit pada tahun 1924 dengan judul Djadi orbannja Perempoean Hina.

Dalam sebuah pengantar untuk dramanya yang berjudul Korbannya Kong Eng, Kwee mengakui bahwa dalam penulisan drama Ia belajar dari seorang dramawan asal Norwegia abad ke-19, henrik Ibsen. Dengan kepiawaiannya dalam penulisan, jelas bahwa Kwee Tek Hoay telah meletakkan dasar2 realisme kehidupan dalam perjalanan karirnya.

Berikut Adalah Daftar Karya Kwee Tek Hoay.

Kwee Tek Hoay, Bapak Tridharma Indonesia

DRAMA

1. Allah yang Palsoe (Tahun 1919)
2. Korbannja Kong Ek (Tahun 1926)
3. Plesiran hari Minggoe (Tahun 1927)
4. Korbannya Yi Yung Toan (Tahun 1928)
5. The ordeal of general Chiang Kai Shek (Tahun 1929)

6. Mait Hidoep (Tahun 1931)
7. Pentjoeri (Tahun 1935)
8. Bingkisan Taoen Baroe (Tahun 1935)
9. Barang perhiasan jang paling berharga (Tahun 1936)
10. Bidji Lada (Tahun 1936)

NOVEL

1. Boenga Roos dari Tjikembang (Tahun 1927)
2. Drama dari Krakatau (Tahun 1928)
3. Drama di Boven Digoel (Tahun 1938)

4. Nonton Capgome (Tahun 1930)
5. Penghidoepannja satoe sri panggung (Tahun 1931)
6. Drama dan Merapi (Tahun 1931)

7. Soemangatnja boenga tjempaka (Tahun 1932)
8. Pendekar dari Chapel (Tahun 1932)
9. Bajangan dari Kehidoepan jang laloe (Tahun 1932)

10. Pengalamannja satoe boenga anjelir (Tahun 1938)
11. Aspenja Hio dan kajoe garoe (Tahun 1940)
12. Lelakonnja boekoe (Tahun 1940)
13. Itoe nona jang bertopeng biroe (tahun 1942)

KEAGAMAAN

1. Buddha Gautama (Tahun 1931-1933)
2. Sembahjang dan meditatie (Tahun 1932)
3. Omong-omong tentang agama Buddha (Tahun 1935)

SOSIAL POLITIK

Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa Modern di Indonesia (Tahun 1936 – 1937),  yang diterjemahkan oleh Lea Williams ke dalam bahasa Inggris “The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia” (Southeast Asia Program, Cornell University, 1969).

D. Akhir Hayat dan Penghargaan Kwee Tek Hoay

Pada tanggal 4 Juli 1952, Kwee Tek Hoay menghembuskan nafas terakhirnya di Cicurug, Sukabumi, karena mengidap penyakit diabetes melitus (gula). Lain sumber mengatakan beliau meninggal akibat dianiaya sekelompok perampok yang menyatroni rumahnya. Jasad beliau dikremasi pada 6 Juli 1952, dan abunya di larung ke laut keesokan harinya.

Hari kelahirannya setiap tanggal 31 Juli masih terus diperingati sampai dengan saat ini.

Jasa Kwee sangat besar dalam bidang sosial, sastra dan agama. Nama Kwee Tek Hoay diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Fauzi Bowo. menjadi salah satu nama kawasan di Jakarta yaitu kawasan Pecinan Glodok pada tanggal 16 September 2012. Nama kawasan telah tersebut saat ini berubah menjadi kawasan China Town Kwee Tek Hoay.

Sebelumnya pada tanggal 5 Agustus 2012, Kwee Tek Hoay mendapatkan piagam penghargaan dari Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Buddha (BIMAS Buddha), sebagai Pelopor Pengembang Agama Buddha di Indonesia, dan diangkat sebagai Bapak Tridharma Indonesia.

Catatan¹ :

Diakui artinya pemerintah mengakui adanya aktivitas suatu agama, dan pemerintah sendiri menjamin serta melindungi kebebasan pemeluknya untuk menjalankan tata cara ibadah menurut agama tersebut.

Sementara Resmi artinya suatu agama resmi menjadi sebuah “agama negara”; artinya bisa dimasukkan dalam pencatatan/pencantuman dalam KTP dan CAPIL (catatan sipil), masuk dalam kurikulum pembelajaran sekolah, serta bergabung dalam 6 agama yang telah resmi sebelumnya.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?