Last Updated on 17 November 2021 by Herman Tan

“Just because you can’t see mental illness like you could see a broken bone, doesn’t mean it’s not as detrimental or devastating to a family or an individual.” – Demi Lovato (penyanyi internasional)

Masalah kesehatan mental saat ini menjadi isu yang sering dibahas masyarakat luas, terutama masyarakat di perkotaan. Tekanan pekerjaan, kemiskinan, atau bahkan kemacetan dapat menjadi pemicu dari masalah mental. Masalah-masalah yang menumpuk di pikiran dan semua tekanan yang dibebankan pada kita, menciptakan kondisi yang tidak membahagiakan setiap harinya.

Layaknya masalah fisik, masalah mental walaupun tidak terlihat tapi dampaknya namun dapat mempengaruhi kehidupan kita.

Banyak sekali dari kita menganggap remeh gangguan mental. Karena itu keadaan ini bisa sampai pada tahap yang tak terkendali. Kasus-kasus bunuh diri juga semakin jamak saat ini. Hal ini bisa  terjadi karena kurangnya kesadaran kita pada kondisi mental, atau banyak dari kita bahkan melakukan stigmatisasi pada pasien gangguan mental.

Seakan-akan bila mereka mengalami gangguan pada mentalnya, berarti sebuah hal yang memalukan.

Stigma pada penderita masalah mental akan memperburuk kondisi mereka. Hal ini bisa memicu rasa takut, marah dan putus asa yang ekstrim. Berikut adalah stigma-stigma yang sering dilekatkan pada penderita gangguan mental.

1. Anti Sosial

Orang yang memiliki kecenderungan introvert acapkali dianggap anti sosial. Padahal orang yang introvert lebih suka menyendiri, dikarenakan itu membantu mereka untuk mendapatkan energi kembali. Dalam pergaulan orang sering dipaksa untuk menjadi bagian dalam kelompok dan berperan aktif di sana.

Padahal orang yang cenderung introvert sedikit lebih sulit untuk bersosialisasi dalam grup besar, karena itu akan menyedot banyak energi mereka.

Orang yang introvert bukan berarti anti pada lingkungan sosial. Mereka hanya lebih senang membangun relasi dengan kelompok yang anggotanya lebih sedikit.

Bagi orang yang mengalami gangguan mental sekaligus introvert, akan lebih sulit bagi mereka untuk berbagi perasaan pada pertemanan yang terlalu luas. Mereka lebih senang berbagi perasaan pada orang-orang terdekat. Maka bila kita memiliki sahabat atau saudara yang mengalami hal seperti itu, rangkul teruslah mereka, bukannya malah dijauhi.

2. Bipolar = Gila

Bipolar sendiri sesungguhnya adalah gangguan mood yang ekstrim. Di mana pada satu keadaan mereka bisa bahagia, namun di lain waktu bisa sampai titik depresif dalam waktu yang sangat cepat.

Keadaan mood yang terus menerus berubah secara drastis sering disalah artikan sebagai kegilaan. Padahal orang yang memiliki gangguan bipolar bisa ditangani dengan mudah, asal melalui penanganan yang bagus dan tepat. Mereka bisa hidup lebih tenang bila kita tidak terus melebeli penderita bipolar sebagai orang gila.

3. Kurang Iman

Stigma lainnya dari gangguan mental adalah sering dianggap kurang iman. Padahal orang yang mengalami depresi tidak ada hubungannya dengan kurang atau tidak kuatnya relasi mereka dengan Tuhan. Banyak orang yang beragama dengan baik tetap mengalami serangan panik ataupun kesulitan tidur.

Depresi bukan tentang seberapa sering kita berdoa, tapi seberapa besar kemampuan kita menghadapi masalah; dan setiap manusia punya kemampuan yang berbeda-beda.

Jangan sekali-sekali mengatakan kata-kata ini pada orang dengan masalah mental, karena bukannya membuat mereka merasa tenang, malah akan membuat makin tertekan dan tidak nyaman.

4. Tidak Memiliki Masa Depan Yang Cerah

Orang-orang dengan gangguan mental bukan berarti tidak bisa menjalankan kehidupan sehari-hari. Kebanyakan dari mereka sebenarnya orang yang cerdas dan punya kemauan. Hanya semua potensi itu bisa keluar bila kita memberikan mereka dukungan terbaik, bantu mereka untuk bertemu tenaga profesional agar tahu caranya mengontrol pikiran yang buruk.

5. Berbicara Dengan Diri Sendiri Adalah Wajar

Berbicara dengan diri sendiri bukanlah bentuk dari kegilaan. Berbicara dengan diri sendiri sesungguhnya malah membantu untuk keadaan mental menjadi lebih sehat. Dengan berbicara pada diri sendiri akan mensugesti otak untuk berpikir dengan jernih.

6. Autis!

Seringkah kita mendengar orang menggunakan istilah “autis” untuk mencemooh orang yang sedang sibuk dengan diri sendiri?

Penggunaan istilah ini bisa dikatakan adalah bentuk pelecehan bagi penderita autis itu sendiri. Padahal orang yang sedang sibuk sendiri mungkin sedang menjalani kegiatan yang sangat penting. Tidak selalu manusia harus bersosialisasi dengan sesamanya. Adakalanya menyendiri dapat menyembuhkan kesedihan yang menahun karena tekanan sosial.

Stigma-stigma di atas adalah yang tanpa sadar kita lakukan pada orang lain sepanjang hidup. Alih-alih dapat membantu teman atau keluarga kita yang mengalami masalah mental malah, sebaliknya kita malah berkontribusi pada ketidak-bahagiaan orang lain.

Ada banyak sebenarnya  cara untuk membantu orang yang kita kenal untuk bisa keluar dari keadaan mental yang buruk. Salah satunya mungkin untuk bisa segera bertemu profesional, karena hanya dengan bertemu terapis akan bisa ditemukan jalan keluarnya.

Harga per sesi konsultasi sebagai bagian dari rawat jalan memang mahal, namun sekarang asuransi milik pemerintah (BPJS) juga menerima untuk konsultasi dan penanganan kesehatan mental secara gratis.

Asuransi BPJS juga bisa digunakan untuk poli jiwa di puskesmas-puskesmas beberapa daerah, seperti di puskesmas daerah Mampang dan Senen. Walaupun tidak menggunakan BPJS, biaya di puskesmas pun masih terjangkau. Jadi kapan lagi? Segerakan untuk konsultasikan masalah mental Anda, karena mental yang sehat adalah kunci hidup yang menyenangkan.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?