Last Updated on 20 February 2023 by Herman Tan Manado

Artikel ini terinspirasi dari kisah @evimsofian tentang cara berkabung di tengah pandemi. Ini adalah pengalamannya tentang bagaimana rasanya berduka akibat kehilangan sang Ayah karena Covid-19. Dirinya merasa tidak sendirian, di luar sana pasti banyak yang lebih parah. Dia menulis untuk memahami apa yang terjadi kala itu.

A. Berkabung di Tengah Pandemi, Semua Serba Instan

“Di mana rumah dukanya, Vi?”

Beberapa teman saya bertanya pada Rabu siang, 30 Juni 2021, beberapa jam setelah papa saya meninggal dunia di sebuah ruang isolasi IGD di Cibubur, kabupaten Bogor.

Tidak ada rumah duka bagi papa saya yang meninggal pada 29 Juni 2021 pukul 21:23 WIB, karena gagal napas yang dipicu oleh Covid-19. Karena ini masa pandemi, jenazah papa ditutup rapat2 dalam sebuah peti mati putih yang dibalut plastik.

Tidak ada pendeta yang mendoakan papa dan memandu keluarga sebelum petinya masuk oven kremasi di Cikadut, Bandung. Tidak ada lagu2 duka diputar. Bahkan tidak ada foto papa di dekat peti.

Kami, anak pertama, kedua, dan saya ketiga, berdiri dengan canggung dan bingung di depan peti, segera setelah kami tiba dari perjalanan bersama ambulance yang membawa jenazah papa selama 3 jam dari Cibubur.

Kami sebenarnya berusaha mencari tempat kremasi terdekat di Jabodetabek, tapi rupanya 3 tempat kremasi yang bisa untuk Covid-19 (Cibinong, Oasis, Lestari) sudah penuh semua, bahkan harus antre sampai 3 hari baru bisa dapat slot. Setelah telepon kiri kanan, akhirnya kami mendapat tempat kremasi di Bandung.

Meski kami berangkat ke Bandung, kami tidak bisa mampir ke rumah mama di Bandung, karena mama dan adik sedang isolasi mandiri. Kami tidak bisa berpelukan dan bersedih bersama. Saya bahkan tidak berpelukan dengan kedua kakak saya, karena situasinya sudah terlalu aneh, dan kami separo parno dengan virus sepanjang jalan, meski mungkin sudah telanjur juga.

Dengan terburu2 tanpa persiapan, kami melakukan group video call. Kakak saya nomor dua memimpin doa, memberikan sedikit kenangan tentang papa kami. Saya sendiri berbicara sedikit menyampaikan selamat jalan pada peti dingin berplastik itu.

Sementara mama dan adik saya paling kecil berbagi satu ponsel. Dari sayup2 saya bisa mendengar mama saya, di tengah kresek2 sinyal, mengucapkan selamat jalan pada suami yang sudah bersamanya selama 51 tahun.

Proses berlangsung sangat singkat ±15 menit sebelum akhirnya peti papa masuk oven.

Papa pergi saat pandemi di wilayah Jawa menggila. Papa ketularan Covid-19 di Bandung, kemungkinan dari mama, yang mungkin ketularan dari aktivitas jual beli di warung kami. Atau mungkin dari PRT kami yang datang kembali bekerja dari kampung, setelah usaha jualan baksonya bangkrut.

Papa (79) dan mama (74) sudah di vaksin (Sinovac) komplit pada April 2021. Mereka juga jarang sekali keluar rumah, dan sudah tak pernah lagi ke tempat ibadah. Interaksi dengan orang lain terjadi di warung kecil yang ditutupi plastik mika lebar di depannya. Papa bahkan sudah hampir2 tidak pernah keluar rumah.

Saya sendiri terakhir berkunjung ke Bandung pada Desember 2019, karena saya khawatir menulari orang tua. Tapi pandemi rupanya menggila, sehingga tingkat aktivitas yang ada di rumah kami di Bandung (warung kami lumayan sepi sejak ada Alfamart dan Indomaret dekat rumah) rupanya tak menghindarkan orang rumah dari terjangkit Covid-19.

Sewaktu mama sakit, dia tidak merasa itu Covid-19, atau mungkin lebih tepatnya takut untuk mencari tahu. Kami anak2nya yang di Jakarta baru dikabari setelah dia hampir sembuh. Rupanya, belakangan baru saya tahu dari mama bahwa papa sering menemani mama waktu mama sakit.

Sekitar tanggal 23 Juni, kami bertiga yang di Jakarta dikabari adik paling bungsu bahwa dia demam, sakit seluruh badan. Papa juga. Kakak saya mengirim rapid test antigen, dan memandu satu orang rumah untuk menyodok hidung mengambil sampel.

Hasilnya, adik dan papa saya positif, namun mama saya negatif. Kami pikir, mungkin mama sudah sembuh. Belakangan ketika di tes ulang pakai PCR, mama rupanya masih positif.

Kami bertiga sejak hari itu mengirim segala rupa dari Jakarta melalui aplikasi2 online; suplemen, obat, juice, kaleng oksigen, tabung oksigen, termasuk memesankan dokter online.

Pada tanggal 25 Juni, papa mulai menunjukkan tanda2 kepayahan. Papa memang punya riwayat penyakit jantung dan diabetes. Kami yang di Jakarta sibuk mencari ruang rawat inap atau IGD di rs2 di Bandung, namun tidak ada karena rata2 sudah penuh.

Sampai akhirnya tanggal 28 Juni dapat juga 1 di Cibubur, di rumah sakit swasta yang lumayan mahal. Kami menyewa taksi premium yang memang khusus menjemput pasien Covid-19, sopirnya pun mengenakan APD lengkap.

Taksi ini lalu bergegas ke Cibubur. Namun tidak ada yang bisa menemani papa di taksi, karena serumah 5 orang semua sakit. Dari 3 yang sudah di PCR, positif semua. Saya dari rumah di Tangerang Selatan pun segera meluncur ke Cibubur untuk menyambut papa.

Saat menunggu beberapa jam tersebut, saya sempat menulis utas di Twitter, dalam keadaan marah pada pemerintah yang tidak peka bahwa sistem kesehatan di Bandung dan Jabodetabek, dan mungkin di seluruh Jawa sudah kolaps. Rupanya banyak juga yang mengalami kejadian seperti saya, dan ikut bercerita di Twitter.

Kami semua dalam keadaan sialan ini berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga yang sakit.

Tapi papa mungkin sudah siap pergi. Setibanya papa di IGD Cibubur, papa sudah hilang kesadaran, saturasi oksigen 50. Saya diminta menandatangani surat pernyataan, bahwa saya dalam keadaan sadar dan risiko tidak akan menuntut rumah sakit. Saya pun  menangis di depan dokter yang berjaga.

Setelah kurang lebih 24 jam di IGD, papa pergi … Kami tidak ada di dekatnya, kami tidak bisa melihat dia. Terakhir saya melihat tubuh kurus papa, adalah ketika perawat mengangkat tubuh papa dari taksi ke ranjang rumah sakit.

Ini bukan soal ikhlas tidaknya papa pergi. Saya ikhlas … Papa memang sudah banyak sakit. Selama 2 tahun terakhir, ada banyak hari2 di mana papa cuma berbaring di tempat favoritnya, yaitu sofa di depan TV, di ruang keluarga kami di Bandung.

Namun ini soal berduka dengan benar. Saya baru sadar setelah merasakan kehilangan di masa pandemi, bahwa cara masyarakat kita berduka, dengan seluruh ritual agama, kepercayaan, dan budayanya yang melekat di dalamnya, adalah cara berduka yang benar, yang mengizinkan tiap setiap orang yang berduka melepas rasa sedihnya, sehingga siap melangkah tanpa beban.

Sekarang saya baru paham, mengapa di dunia ini ada peratap bayaran. Mereka ada sebagai penanda bahwa saya boleh menangis dan melepaskan perasaan sedih yang terjebak tak bisa keluar.

Saya melakukannya bersama orang2 yang mengenal papa saya dalam sebuah ruangan berbagi duka, entah di rumah duka atau di pemakaman, dan itu adalah cara terbaik yang bisa didapatkan seseorang untuk melepas kepergian seseorang.

Selesai kami selesai berdoa, petugas krematorium mendorong masuk peti mati papa ke arah oven. Kami telah menunjuk kakak sulung untuk menekan tombol menyalakan api di oven kremasi. Petugas memberi aba2, dan api pun mulai menyala. Papa, sampai ketemu lagi.

B. Apa Itu Pemakaman Berat (重丧; Zhong Sang)?

Dari kisah diatas, jelaslah bahwa pandemi Covid 19 ini bagaikan game changer, mengubah pola hidup manusia di dunia. Dulu ketika seorang meninggal, rangkaian prosesi pemakaman yang begitu panjang dan melelahkan dilakukan keluarganya. Sekarang tidak lagi.

Semua dituntut serba instan dan online. Semua ritual agama dan kebudayaan yang biasa mengiringi pun tidak lagi menjadi suatu keharusan. Bahkan handai taulan yang biasa datang untuk pay respect pun kini hanya bisa menyaksikan lewat ponsel.

奠 (Diàn), yang berarti ‘berbaring, terbaring’ atau ‘Lay down‘ adalah karakter yang dipakai dalam acara duka/perkabungan Tionghoa.

Baca juga : Kompleksnya Upacara Pemakaman Tionghoa di Indonesia (BAGIAN I)
Baca juga : Prosesi Sangjit Ditengah Pandemi Covid-19, Masihkah Sebuah Keharusan?

Belum cukup? Keluarga yang ditinggalkan pun “dipaksa” untuk mengurus jasad mendiang sendirian.

Bahkan keluarga besar dari pihak ayah ibu pun belum tentu mau membantu, apabila tahu ybs meninggal karena Covid. Mereka biasanya akan berpura2 tidak enak badan, sibuk, atau lagi diluar kota. Ada yang bahkan memakai alasan “sudah tua”, jadi sudah tidak bisa keluar rumah lagi. Padahal beberapa hari, minggu, atau bulan kemudian Anda menjumpainya ada di tempat umum.

Mulai dari peti mati, sampai apa2 saja barang yang perlu diisi disitu, semuanya dikerjakan sendirian, sepengetahuannya kala itu. Tidak ada tekong atau songshu (sebutan bagi orang2 yang mengurus pemakaman orang Tionghoa) yang biasanya membantu menjalankan prosesi.

Bahkan biksu atau pendeta Tao pun belum tentu berkenan hadir untuk memimpin ritual upacara dan menawarkan doa2/keng. Alasannya simpel, karena takut terjangkit Covid-19. Semua serba parno, sekalipun orang2 religius yang pekerjaannya berhubungan dengan kematian.

So, berbahagialah bagi mereka2 yang dulunya tertarik dengan hal2 spiritualitas, dan sedikit banyak mengetahui cara2 nya. Pengetahuanmu akan terpakai disaat2 kritis, dimana seandainya situasi diatas terjadi pada Anda, dan tidak ada yang datang membantu.

Nah, bagi masyarakat Tionghoa, biasanya akan mencarikan satu hari (ancang) untuk pemakaman dalam Tongshu. Namun yang menjadi kendala adalah :

1. Apabila mendiang positif Covid, tentu akan langsung dikubur sesuai prosedur oleh pemerintah. Ini tidak bisa menunggu lagi sampai 2-3 hari. Hal ini bisa diperburuk jika ada keluarga inti yang sudah tertular, namun tidak di karantina, sehingga tidak dalam kondisi yang prima (sudah sakit, badan lemas dan loyo, beruntung hanya karena masih muda saja sehingga masih bisa tahan).

2. Di tengah pandemi seperti ini (terutama saat kasus aktif melonjak), masyarakat dihimbau untuk tidak berkerumun, termasuk di rumah duka. Sudah tentu keluarga inti yang ditinggalkan pun tidak mau berlama2 dalam prosesi penguburannya, karena potensi untuk tertular dari tamu dan atau dari keluarga besar yang datang sangat tinggi.

Nah, jika ada pembaca yang mengalami keadaan diatas, perlu sesegera mungkin untuk menguburkan jasad mendiang.

Namun dalam proses pemakaman normal, tidak peduli seberapa mendesak pemakamannya, Anda harus menghindari hari pemakaman yang berat (heavy mourning). Ini adalah tahayul feodal dalam Yin Fengshui.

Pemakaman berat berarti akan ada 1, 2, atau 3 anggota keluarga yang mati berturut2, satu demi satu. Setelah kematian orang pertama, dalam tempo 100 hari s/d setahun (bahkan ada juga yang kurang dari 100 hari), akan ada kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan perkabungan (kematian) dalam keluarga.

Artinya, jika seseorang meninggal, maka akan ada perkabungan lain di garis keluarga tersebut. Hal ini bisa terjadi karena tanggal penguburan ciong atau tidak cocok dengan mendiang. Dalam hitungannya, yang “kena” biasanya adalah yang shionya ciong dengan shio ybs menurut Tongshu.

Kalau sudah seperti ini, biasanya sudah tidak bisa di cisuak lagi (penangkal), selain banyak2 berbuat kungtek. Hal ini pun berlaku sama bagi yang akan membongkar/pindah makam.

Dalam keadaan khusus, misalnya tidak dapat memilih hari yang baik, dan terpaksa harus bergegas untuk mengubur, gunakan metode “pemakaman berat” dalam upacara pemakaman.

Tapi ini juga objektif. Jika Anda benar2 menghadapinya, seperti dalam keadaan khusus (seperti di masa pandemi Covid-19 ini) dimana tidak dapat memilih hari baik, sehingga terpaksa harus bergegas untuk mengubur, gunakan metode/cara Fengshui Zhong Sang Fak (重丧法) untuk mengatasinya.

Tian Xing adalah Dewa yang baik, gunakan Dia untuk menekan hawa jahat.

Masyarakat Tiongkok kuno menggunakan cara fengshui untuk hal2 darurat seperti ini. Caranya adalah tulis 4 karakter fengshui diatas kertas kuning dengan tinta merah (硃砂; zhusha). Dimana setiap bulan (Yin Li) memiliki penulisan 4 karakter yang berbeda. Lalu masukkan ke dalam amplop putih dan tempel di peti mati. Metode spesifiknya tergantung pada kebiasaan dan pemikiran fengshui.

Jadi jangan terlalu kuatir.

Referensi : 3rxing.org, 360doc.com, zhidao.baidu.com (link kredensial dirahasiakan).

C. Asal Usul Pemakaman Berat (Heavy Mourning)

Di masa lalu, orang2 masih banyak menyebarkan kebiasaan menghindari kerugian. Di Zhejiang, dikatakan bahwa pemakaman berat mengacu pada tanggal lahir dan waktu ketika mendiang meninggal. Umumnya dikenal sebagai bulan tidak jelas. Dalam situasi seperti itu, upacara pemakaman (丧葬; Sang Zang) khusus harus diadakan, biasanya pada shift ketiga atau kelima.

Baca juga : Adat Pemakaman Tionghoa (Bagian I)

Keluarga pemakaman tidak memakai rami dan tidak boleh menangis. Butuh 7 hari untuk memanggil kerabat dan teman, dan kemudian membuat pemakaman. Namun di Taiwan, berkabung berat mengacu pada hari pemakaman tertentu. Dikatakan bahwa jika Anda dimakamkan pada hari tertentu, Anda akan melakukan pemakaman yang berat. Artinya, keluarga akan (ada yang) mati lagi.

Jika Anda harus dimakamkan pada pemakaman yang berat karena keadaan khusus, beberapa upacara harus diadopsi, seperti menulis beberapa karakter jimat. Namun, aturan gaya penulisan ini tidak terlalu ketat, dan juga ada fenomena saling menulis. Tetapi secara umum, itu hanya analogi dengan kata2.

Etnis2 minoritas memiliki kesamaan dengan etnis Han dalam hal keyakinan mereka dalam memilih hari untuk pemakaman dan penguburan. Orang Korea, Hezhe, dan Manchu di wilayah timur laut semuanya memilih pemakaman 1 hari daripada pemakaman 2 hari. Dikatakan bahwa pemakaman 2 hari, berarti 2 orang akan mati.

Orang Lemo tidak boleh mati di waktu fajar dan subuh, juga tidak boleh mati pada hari naas orang yang meninggal, jika tidak maka akan sial. Orang Jingpo di Yunnan percaya bahwa hewan yang memasuki gua di antara 12 tanda zodiak adalah yang paling menguntungkan untuk memilih tanggal pemakaman, tidak sebaik 3 hari naga, ular, dan tikus.

Orang Dong di Guizhou paling takut pergi ke pemakaman. Suku Miao di Wujiao, Kabupaten Taijiang, adalah yang paling tabu untuk melakukan pemakaman 2 hari. Beberapa etnis di daerah Guangxi, adalah tabu untuk pergi ke pemakaman pada tanggal pemakaman yang berulang (tanggal genap).

Jika orang Bai melakukan pemakaman, mereka harus menggantung sutra merah di bagian tengah rumah, atau menggantung ayam terbalik di peti mati untuk menangkalnya. Mereka menggunakan rebung untuk membuat peti mati kecil, dan peti mati kecil tersebut berisi ayam mati, digali dari ambang pintu, kirim ke lubang kecil, lalu kubur di jalan untuk memecahkannya.

Untuk kelompok etnis Ba di Kabupaten Milin, Tibet, tanggal pemakaman ditentukan oleh ritual penyihir menyembelih ayam dan melihat heksagram. Pola pada hati ayam akan menunjukkan nasib baik atau buruk.

Selain itu, beberapa daerah etnis yang dekat dengan Han, tanggalnya ditentukan oleh upacara ramalan Yin dan Yang. Beberapa suku dan daerah tidak hanya memilih hari, tetapi juga memilih waktu (jam).

Beberapa orang di klan Yi yang meninggal umumnya jenazah disemayamkan di rumah sangat singkat. Kebanyakan dari mereka meninggal di pagi hari akan dimakamkan pada sore hari. Sementara mereka yang meninggal di sore hari dimakamkan di pagi hari. Tetapi pergi ke pemakaman pada siang hari adalah hal yang tabu.

Secara umum, orang2 di jaman dulu meyakini bahwa pergi ke pemakaman pada siang hari akan menyebabkan malapetaka, dan dipercaya akan membawa sial. Orang Miao di Yunnan biasanya keluar pada pagi hari. Bibit bunga dan bibit putih pergi untuk pemakaman di sore/senja hari. Orang Miao di Guizhou melakukan pemakaman kerabat mereka tepat setelah fajar.

Sebagian besar orang Heizhe di Heilongjiang di timur laut pergi ke pemakaman pada siang hari. Waktu pemakaman orang Yao di Guangdong dan tempat2 lain kebanyakan pada siang atau sore hari, berpikir bahwa waktu2 seperti ini adalah yang paling menguntungkan.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?