Last Updated on 24 January 2023 by Herman Tan Manado

Laksamana Cheng Ho, atau Zheng He, yang memiliki nama asli 马三宝 (Ma Sanbao), adalah seorang kasim, pelaut dan penjelajah yang sangat terkenal. Ia seorang laksanama dan diplomat yang datang ke Indonesia pada tahun 1405 hingga 1433. Cheng Ho adalah seorang keturunan Suku/Bangsa Hui yang beragama Islam, dan tinggal di Provinsi Yunnan, Tiongkok.

Menurut sejarah resmi Dinasti Ming (1368-1644), Cheng Ho dilahirkan dari keluarga miskin etnis Hui pada tahun 1371, di Distrik Kunyang, Provinsi Yunnan, wilayah yang sudah lama dihuni oleh pemeluk Islam.

Hui adalah komunitas muslim Tiongkok berdasarkan campuran Mongol-Turki. Ayah Cheng Ho bernama Ma Hazhi (Haji Ma), Ibunya hanya diketahui bermarga Wen.

Selain Indonesia, ia juga telah menjelajahi wilayah Vietnam, India, Persia, Arab, Laut Merah, hingga ke Afrika. Selama di Nusantara, Cheng Ho mengunjungi Malaka, Palembang, dan Pulau Jawa. Di setiap tempat persinggahannya, terdapat napak tilas berupa bangunan-bangunan yang dibangun untuk menghormati sang Laksamana.

PROFILE Laksamana Zhang He, Cheng Ho

Kebangsaan : Ming
Kaisar : Chengzhu
Keturunan : Semu ren (色目人), Hui
Kepercayaan : Islam, Buddha, Taoisme
Nama Asli : Ma He (disebut juga Ma Sanbao)

Nama Lain : Hajji Mahmud Shamsuddin (Bahasa Persia), Sonam Tashi (Bahasa Tibet)
Nama Yang Dikenal Umum : Kasim Sanbao
Nama Agama Buddha : Fu Jixiang
Lahir : 1371
Meninggal : 1433 (usia 63)
Makam : Nanjing

A. Cheng Ho dan Hubungan Diplomatik Nusantara – Tiongkok

Cheng Ho diketahui berperan juga seorang kasim atau pelayan kekaisaran, hingga Kaisar Yongle wafat di tahun 1424.

Kaisar Hongxi, penggantinya, memutuskan untuk mengurangi jumlah kasim istana, dan Cheng Ho mulai menemukan keberuntungannya. Ia mengajukan diri, dan berhasil mendapat kepercayaan untuk menjadi seorang penjelajah, yang membawa misi perdagangan dan persahabatan Tiongkok ke seluruh dunia.

Ekspedisi itu dimulai pada 11 Juli 1405. Perjalanan ini disebut sebagai salah satu ekspedisi dengan armada paling besar dan terhebat pada masa itu.

Bayangkan saja, ekspedisi ini melibatkan 300 kapal, dengan 30 ribu kru yang terdiri dari tentara, kartografer (pembuat/ahli peta), ahli astronomi / perbintangan, sampai para sarjana kenegaraan.

Laksamana Zhang He, a.k.a Cheng Ho

Baca juga : Kasim Dalam Kekaisaran Tiongkok
Baca juga : 9 Kasim Paling Berpengaruh dalam Sejarah Tiongkok

Armada ekspedisi ini diberi nama ‘Xiafan Guanjun‘. Perjalanan dimulai dari kota Nanking (Nanjing, Jiangsu), singgah sebentar di Liuhe (Taiwan), emudian ke laut lepas, menuju wilayah Asia Tenggara.

Dalam ekspedisinya, Cheng Ho didampingi oleh wakil dan dan sekretarisnya, di antaranya: Laksama­na Muda Heo Shien (Husain), Ma Huan (penulis buku Yingya Shenglan, tentang perjalanan Zheng He), dan Fei Shin (Faisal).

Selain Ma Hu­an yang mahir berbahasa Arab, Cheng Ho juga mengikut-sertakan Hassan, seorang imam dari bekas Ibukota Xi’An (Chang’An), yang bertindak sebagai juru bahasa Arab.

Dibalik prestasi dan citra positif Cheng Ho, ada dugaan “misi lain” dalam penjelajahan Cheng Ho. Menurut Guru Besar Universitas Nanking, Tiongkok, Profesor Chi Min Tan, Cheng Ho hidup pada jaman Dinasti Ming.

Saat itu kekaisaran sedang mencari salah satu pejabat bernama Ching Wen. Ada kemungkinan bahwa Cheng Ho juga ikut ditugaskan oleh Negara untuk mencari informasi keberadaannya.

Ekspedisinya juga bisa saja karena alasan perdagangan, membangun / memperkuat persekutuan dengan Negara lain, membasmi perompak di lautan, serta penguatan unjuk gigi militer di laut.

Dari 7 kali ekspedisi Cheng Ho, ia tak pernah sekalipun tidak singgah di Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan laut, sehingga menjadi tujuan penting bagi pelayaran2 Cheng Ho.

Ini juga menjadikan bukti bahwa wilayah Nusantara kala itu merupakan sahabat Tiongkok (Dinasti Ming).

Armada Kapal Cheng Hoo
Armada kapal Cheng Ho (Ilustrasi : boombastis.com)

Menurut catatan sejarah, Cheng Ho dikenal sebagai seorang yang baik. Berbeda dengan penjelajah lain dari Eropa, yang selalu ingin menjarah dan membuat kekacauan di tempat mereka mendarat, Cheng Ho melakukan hubungan diplomatik dengan cerdas, dan membawakan hadiah2 bagi penguasa wilayah yang ia singgahi.

Selain memberikan hadiah, Cheng Ho juga membawa pulang ±30 utusan kerajaan Nusantara dan sekitarnya, untuk menghadap Kaisar dinasti Ming kala itu. Hal ini membuat Cheng Ho disukai oleh masyarakat dan penguasa lokal, dimana pun ia singgah.

Jauh sebelum itu, tepatnya tahun 131 M, kerajaan Majapahit yang terletak di Pulau Jawa, telah lebih dahulu mengirim utusannya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan kekaisaran Tiongkok kala itu. Majapahit dan Tiongkok memiliki hubungan baik sejak saat itu.

Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia, mengatakan bahwa kedatangan utusan Jawa itu disebutkan dalam catatan resmi kerajaan di Tiongkok, yaitu dalam Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116Penyusun/penulisnya adalah sejarawan istana masa Dinasti Han (206 SM-220 M).

Memang benar, pernah terjadi konflik antara kerajaan di Nusantara (Singosari) dengan Tiongkok. Namun, ini bukanlah konflik langsung laiknya Nusantara vs Tiongkok, lebih tepatnya, konflik ini terjadi antara kerajaan Singosari dengan Mongol (sewaktu itu menguasai daratan, dan mendirikan Dinasti Yuan).

Khubilai Khan, kaisar Dinasti Yuan (1279-1294) kala itu mengirim utusan ke Jawa pada tahun 1280, 1281, dan 1286. Dia menuntut Kertanagara, Raja Singosari, untuk mengakui kekuasaannya, dengan mengirimkan anggota keluarga Singosari (akan dikawini, sebagai tanda ikatan sekutu) ke istananya yang berpusat di Beijing.

Namun, Kertanagara justru menyiksa dan merusak wajah Meng Qi, utusan Mongol terakhir pada tahun 1289, lantas dikirim pulang sebagai wujud penolakan. Hal ini menyebabkan kemarahan Khubilai Khan. Ia mengirim 3 Jenderal besarnya, Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing untuk menyerang wilayah Jawa, yang kala itu dikuasai Singosari.

Adalah ANGGAPAN YANG SALAH, jika dikatakan bahwa Tiongkok pernah berupaya menyerang Jawa, karena kala itu, Mongollah yang memiliki pengaruh besar di daratan Tiongkok, lewat Dinasti Yuan-nya, yang didirikan oleh Kubilai Khan, yang kekuasaannya bahkan membentang hingga ke daratan Eropa!

Cheng Ho adalah orang yang berperan dalam mengembalikan hubungan baik antar kedua Negara melalui penjelajahannya. Berkat Cheng Ho, Tiongkok dan Nusantara dapat bekerjasama dan menjalin hubungan diplomatik yang baik kembali.

B. Pengaruh Cheng Ho di Indonesia

Pengaruh kuat Cheng Ho, terlihat pada bidang keagamaan, perdagangan, dan sosial. Daerah2 yang pernah disinggahi armada Cheng Ho juga mendapatkan kemajuan (transfer ilmu), dalam hal bercocok tanam, beternak, berdagang, seni ukir, dan lainnya.

Perangko Armada Cheng Ho
Perangko yang diterbitkan pemerintah Indonesia untuk mengenang 600 tahun penjelajahan Cheng Ho (Ilustrasi : kompas.com)

1. Pengaruh Keagamaan : Ikut Menyebarkan Ajaran Islam

Cheng Ho yang merupakan seorang muslim, ikut berperan dalam penyebaran ajaran agama Islam di Indonesia. Laksamana dari kekaisaran Tiongkok inilah yang pertama kali membawa dua mubalig penyebar agama Islam ke Jawa Barat, yakni Syekh Quro dan Syekh Nurjati.

Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Nina Herlina mengatakan bahwa adalah sebuah FAKTA SEJARAH, Islam dibawa masuk ke Jawa Barat oleh orang2 Tiongkok, jadi tidak tepat, kalau saat ini sebagian dari kita (mayoritas) justru memusuhi mereka (ANTI CINA).

Oleh karena itu, tidak heran jika banyak masjid yang dibangun dan dinamai dengan nama besar dari Laksamana ini. Masjid2 ber-arsitektur Tionghoa ini tersebar kebanyakan di Pulau Jawa, namun terus meluas ke pulau-pulau lain di Indonesia. Tercatat hingga saat ini, ada 15 masjid yang bernama Cheng Ho di seluruh Indonesia.

Masjid-masjid Cheng Ho ini dibangun dan dikelola oleh PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), sebuah organisasi yang menaungi warga Tionghoa yang beragama Islam.

Baca juga : 6 Hal Yang Perlu Kamu Ketahui Tentang Muslim Tionghoa di Indonesia

2. Pengaruh Perdagangan : Hubungan Dagang Tiongkok – Indonesia Pertama Kali

Penjelajah yang datang ke Nusantara kebanyakan membawa misi perdagangan, tak terkecuali Cheng Ho sendiri. Ada kisah antara Cheng Ho dengan terasi Cirebon. Cheng Ho suka melakukan barter antara barang2 yang dibawanya, dengan terasi yang menjadi khas Cirebon.

Opan Safari, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, mengatakan bahwa Cheng Ho sering melakukan barter komoditas yang ada di Cirebon dengan barang2 yang dibawanya. Awalnya memang seperti itu, lalu lama-kelamaan Cheng Ho selalu membawa terasi tersebut ke negerinya; Hingga terasi kemudian menjadi terkenal.

Jusuf Kalla, wakil presiden Republik Indonesia pun mengakui bahwa Tiongkok adalah NEGARA PERTAMA yang menjalin hubungan dagang dengan Indonesia, dan mengakui peran besar Laksamana Cheng Ho dalam hubungan dagang Indonesia-Tiongkok.

Hal ini disampaikan saat beliau bertemu dengan wakil presiden Tiongkok, Wang Qishan, saat menghadiri Business Forum yang digelar di Kempinski Hotel, Beijing, Tiongkok, pada April 2019 lalu.

3. Pengaruh Sosial : Mendirikan Komunitas Tionghoa Islam

Kedatangan Laksamana Cheng Ho di Indonesia juga membawa pengaruh sosial pada masyarakat. Menurut Daradjadi, dalam bukunya yang berjudul Geger Pecinan: Persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC (2013), orang-orang Jawa mengenali Cheng Ho sebagai Dompo Awang.

Ia sering disebut-sebut sebagai tokoh yang banyak membawa pengaruh positif dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat banyak mendapat wawasan baru berkat informasi dan ajaran yang diberikan Cheng Ho. Contohnya, Cheng Ho mengajarkan masyarakat lokal tentang teknologi pertanian dan bibit.

Benny Setiono dalam bukunya yang berjudul Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008) menulis, sebelum tiba di Jawa, tepatnya pada tahun 1405, Laksamana Cheng Ho terlebih dahulu singgah di kerajaan Samudra Pasai. Ia menemui Sultan Zainal Abidin Bahian Syah untuk membuka hubungan politik dan perdagangan.

Pada tahun 1407, Laksamana Cheng Ho mampir di Palembang dan menumpas perampok kapal yang menyerang masyarakat setempat. Lalu ia membentuk masyarakat Tionghoa Islam pertama di Nusantara.

3. Mengenang Sang Laksamana Cheng Ho

Cheng Ho meninggal pada tahun 1433. Makam Cheng Ho berada di Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok. Bentuk makamnya mirip dengan makam2 para sunan atau wali di Indonesia, makam Laksamana Cheng Ho berada di luar kota. Dari Kota Quanzhou kira2 membutuhkan 1 jam perjalanan.

Karena letaknya di dataran tinggi, untuk menuju ke lokasi makam harus melewati jalan menanjak, lalu kemudian harus meniti anak tangga lagi untuk mencapai puncak. Sesampai di atas, posisi makam berada di tengah2 kompleks tanah datar, yang  luasnya ±30m². Di lokasi tersebut, cuma terdapat makam Laksamana Cheng Ho saja.

Makam / Tugu Peringatan Zheng He di Nanjing, Jiangsu, Tiongkok

Baca juga : Laksamana Zheng He (Cheng Ho)

Tugu Peringatan Zheng He di Nanjing

Semasa hidupnya, Zheng He (Cheng Ho) telah berlayar ke lebih dari 30 Negara, mencakup Negara2 di Asia Tenggara, India, Negara2 teluk Arab, hingga ke pantai Afrika timur. Total jarak yang mereka tempuh cukup untuk mengelilingi dunia. Setelah 28 tahun, petualangannya berakhir disini, Nanjing, tempat peristirahatannya yang terakhir.

Terdapat 28 anak tangga yang berjejer di tugu peringatan Zheng He, yang konon dibuat untuk merepresentasikan karir angkatan laut Zheng He selama 28 tahun, dari tahun 1405 hingga 1433. Tangga disini dibagi menjadi 4 bagian, masing2 berjumlah 7 anak tangga yang melambangkan 7 rute pelayaran yang beliau pimpin.

Dan yang ada dipuncak adalah makamnya, tempat peristirahatan tertinggi untuk pelayan terpercaya dari Dinasti Ming. Terlepas dari 1 hal, Zheng He sebenarnya tidak dimakamkan disini; Dia tidak pernah kembali dari pelayaran ketujuhnya …

Pada tahun 1433, saat berusia 63 tahun, beliau sedang dalam keadaan tidak sehat. Saat ia berlayar pulang ke wilayah tenggara dari India, di suatu tempat di samudra Hindia yang luas, beliau meninggal diatas kapal 🙁

Pada tugu makam peringatannya, tertulis syair yang luar biasa, yang memperingati masa hidupnya :

Kami telah melintasi 100.000 li,
Menyaksikan ombak yang kencang di lautan, seperti gunung yang mencapai langit,
Dan kami sudah melihat wilayah barbar yang jauh, melintasi gelombang tajam itu,
Seolah sedang melintasi jalan raya.

“Bagi masyarakat Tionghoa, Cheng Ho juga dipuja sebagai seorang Dewa”

Karena para pelaut Tiongkok kala itu kebanyakan percaya pada Taoisme, kepercayaan terhadap Dewa/i, mereka sangat percaya pada dewi laut Mazu (Mak Co). Zheng He diketahui juga sering menyumbang di kuil2 Mazu dan mendirikan kuil.

Meskipun ia dimakamkan di Tiongkok, jasa-jasanya dikenang di seluruh Indonesia lewat berbagai simbol, seperti bangunan masjid, bangunan kelenteng, termasuk patung Cheng Ho. Patung2 peringatan ini tidak hanya ada di masjid, tetapi juga ada di kelenteng2.

Jika Anda mengunjungi Semarang, Anda akan banyak menemukan patung sang Laksamana. Terdapat beberapa lokasi patung, yakni di kelenteng Sam Poo Kong dan kelenteng Tay Kak Sie.

Bahkan yang mengejutkan, Anda dapat menemukan patung Laksamana Cheng Ho yang berukuran cukup besar didalam Mukti Cafe, sebuah kafe di tengah kawasan Pecinan, Semarang.

Setiap tahun, di kelenteng Tay Kak Sie dan kelenteng Sam Poo Kong, Semarang, diadakan Festival Cheng Ho untuk mengenang jasa2 sang Laksamana dan penjelajahannya.

Festival dilakukan dengan meriah, ribuan orang ikut bergabung dan menambah semarak festival tahunan ini. Dari keterangan panitia, festival ini juga mendatangkan kenaikan pendapatan kota Semarang dari segi pariwisata.

Dari paparan juru bicara kelenteng Sam Poo Kong, ±10 ribu tiket yang dijual selama 2 hari selalu habis. Jalan2 dipadati peserta dan penonton. Pedagang kaki lima pun kebanjiran order. Pasar Karetan yang ikutan pindah juga ikut kebagian rezeki. Itu belum termasuk hotel2 sekitar yang dijadikan tempat menginap bagi para tamu yang datang.

Selain mempererat hubungan warga Tionghoa dan masyarakat lokal, festival ini juga membuktikan bahwa pengaruh besar Cheng Ho masih terasa. Bahkan, singgahnya sang Laksamana di Semarang, masih membawa keberuntungan bagi kota tersebut.

Inilah yang membuat nama Cheng Ho tetap melekat di hati masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota yang pernah didatanginya, ratusan tahun yang lalu.

By Nabilla Khudori

Saya seorang Head of Business Development di sebuah startup. Dengan menulis, saya dapat belajar dan berbagi pengalaman dengan khalayak. Memahami budaya Tionghoa menarik bagi saya yang lahir dan besar di lingkungan yang plural. Hal ini juga menjadikan saya memiliki banyak referensi mengenai budaya dan adat Tionghoa. Meskipun begitu, saya merasa masih harus belajar lebih untuk memahami budaya Tionghoa itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?