Etnis Tionghoa di Indonesia identik dengan masyarakat yang beragama Budha, Konghucu, ataupun Nasrani. Namun ternyata, ada juga warga keturunan yang beragama Islam. Di Tiongkok sekali pun, banyak pula yang menganut agama Islam, terutama di bagian Tiongkok barat (Xinjiang, Qinghai).

Menurut estimasi media Republika tahun 2019, warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang beragama Islam berjumlah sekitar 2%, atau sekitar 6 juta jiwa (dari total ±260 juta penduduk Indonesia).

Menurut survei tahun 2008, sebanyak 53,82% warga keturunan menganut agama Buddha; 35,09% beragama Nasrani (Kristen & Katolik); 5,41% beragama Islam; 1,77% beragama Hindu; sementara sisanya beragama Konghucu dan lainnya (kepercayaan lain, agnostik, dsb).

Mayoritas dari golongan Tionghoa muslim ini adalah mereka yang baru masuk Islam, atau disebut mualaf.

Baca juga : Inilah 6 Hal Muslim Tiongkok Yang Perlu Anda Ketahui; Yang Nomor 5 nya Mencengangkan!

A. Organisasi Muslim Tionghoa : PITI

Tampak Masjid Lautze, tempat muslim Tionghoa berkumpul untuk menjalankan kegiatan ibadah,. Masjid ber-arsitektur khas Tionghoa ini terletak di Jl. Tamblong No. 27 Bandung.

Meskipun banyak dilema yang dialami warga Tionghoa yang memeluk agama Islam, ternyata jumlahnya juga cukup signifikan.

Untuk mewadahi warga Tionghoa muslim, ada sebuah organisasi, yakni PITI – Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. PITI didirikan pada tanggal 14 April 1961 di Jakarta. Pendirinya ada 3, yakni Abdul Karim Oei Tjeng HienAbdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin.

PITI merupakan gabungan dari Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dipimpin oleh Alm. Abdusomad Yap A Siong, dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) yang dipimpin oleh Kho Goan Tjin.

Pada tahun 1960-1970-an, terutama setelah Gerakan 30 September (G30S/Gestok) dimana kala itu Indonesia sedang menggalakkan gerakan pembinaan persatuan & kesatuan bangsa, Nation and Character Building, sehingga simbol2/identitas yang bersifat disosiatif (menghambat pembauran), seperti istilah, bahasa dan budaya asing (khususnya Tionghoa) DILARANG atau DIBATASI oleh Pemerintah.

PITI juga ikut terkena dampaknya; dimana kata “Tionghoa” dari kepanjangan PITI, dilarang.

Berdasarkan pertimbangan bahwa gerakan dakwah kepada masyarakat keturunan Tionghoa tidak boleh berhenti, maka pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI sempat mengubah kepanjangan PITI, menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Namun akhirnya, pada era gusdur orde reformasi, tepatnya pada Mei 2000, dalam rapat pimpinan organisasi memberikan keputusan bahwa kepanjangan PITI dikembalikan ke nama lamanya, menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.

B. Masjid ala Tionghoa di Indonesia

Masjid Cheng Ho Palembang
Masjid Cheng Ho di Palembang (Foto : travelingyuk.com)

Baca juga : Laksamana Zheng He (Cheng Ho)

Warga muslim Tionghoa juga memberikan pengaruh pada dunia arsitektur tanah air. Banyak masjid di Indonesia yang memiliki arsitektur berciri khas Tionghoa, yang kepengurusannya pun dilakukan oleh warga keturunan. Contohnya di masjid2 yang menggunakan embel2 nama “Cheng Ho”, yang merupakan tokoh Tionghoa muslim legendaris di Indonesia.

Masjid-masjid ini juga berfungsi sebagai kantor organisasi muslim Tionghoa.

Selain menggunakan nama Cheng Ho, masjid2 Tionghoa juga menggunakan nama islami, atau tokoh2 penting mereka, laiknya penamaan masjid pada umumnya. Contohnya Masjid Tan Kok Liong di Bogor, masjid KHM Bedjo Darmoleksono di Malang, Masjid Al-Mahdi di Magelang, masjid Al-Imtizaj di Bandung, dan masjid Siti Djirzanah di Jogjakarta.

Ciri khas arsitektur Tionghoa, seperti warna merah yang dominan, ornamen bambu pada jendela, pintu/jendela yang berbentuk lingkaran, serta atap khas Tionghoa yang berujung lancip, menghiasi masjid-masjid ini. Selain di Pulau Jawa, masjid-masjid dengan ciri arsitektur Tionghoa juga mulai meluas ke pulau lainnya, seperti Masjid Cheng Hoo di Sulawesi.

Uniknya, kebanyakan masjid-masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah/dakwah. Namun, banyak orang yang suka memanfaatkan arsitektur masjid yang unik ini sebagai destinasi wisata. Jika Anda mengunjungi masjid-masjid etnis Tionghoa ini, akan terlihat banyak orang beribadah dan berwisata sambil mengambil foto masjid yang unik.

Umat disana juga welcome, yang penting tetap menjaga ketenangan disaat mereka sedang melaksanakan sholat.

PITI sendiri ikut andil dalam pembangunan masjid2 Tionghoa, terutama jika masjid tersebut masuk dalam daftar masjid milik yayasan Cheng Ho Indonesia. PITI memberikan aturan ketat, bahwa tanah yang akan dibangun masjid, haruslah tanah wakaf (harta yang diberikan masyarakat untuk digunakan bersama), tanah yang bebas dari sengketa.

Pemilik tanah juga harus sukarela menyerahkan kepengurusan tanah dan masjid kepada PITI.

C. Dilema Muslim Tionghoa : Tantangan Internal & Eksternal

Tak dapat dipungkiri bahwa warga Tionghoa yang menjadi mualaf memiliki banyak tantangan, baik eksternal maupun internal. Tantangan eksternal, berupa stigma masyarakat yang menganggap aneh, atau kurang percaya, bahwa ada orang Tionghoa yang beragama Islam, dan mungkin meragukan keimanannya.

Contoh kasus terbaru, dimana pesulap, aktor, bintang iklan, host, youtuber Deddy Corbuzier yang pindah keyakinan dengan menjadi mualaf, diragukan sebagian masyarakat (dianggap untuk meningkatkan citra dan followers sosial media, juga untuk menikahi seorang gadis muslim).

Contoh lainnya, seperti mantan atlet wushu Lindswell Kwok kebanggaan warga Tionghoa Medan, yang rela menjadi muslim, karena menikahi pria idamannya yang juga atlet wushu, Achmad Hulaefi.

Plakat Masjid Cheng Ho Surabaya
Plakat di masjid Cheng Ho : Persahabatan dengan Negara tetangga (Foto : doc. pribadi penulis)

Baca juga : Inilah 5 Masjid Yang Berarsitektur Paling Menakjubkan di Tiongkok

Sementara Tantangan internal berasal dari keluarga, karena tidak semua keluarga Tionghoa memberikan restu kepada keturunannya untuk menganut agama lain. Tidak hanya agama Islam, agama Nasrani pun, dalam beberapa kasus, masih mendapat pertentangan keluarga, mengingat bahwa agama asli dari masyarakat Tionghoa rata-rata adalah Budha, Konghucu, atau Taoisme.

Namun, seiring dengan perkembangan jaman, kebebasan memilih agama mulai dapat diterima mereka. Ini menjadikan warga Tionghoa lebih kaya akan keragamannya.

Jumlah muslim Tionghoa juga bertambah, seiring masuknya mualaf-mualaf baru seperti Deddy Corbuzier diatas. Agar mendapat bimbingan, arahan, dan perlindungan, mualaf Tionghoa dapat ikut bergabung dalam komunitas organisasi seperti PITI, yang dapat memahami dilema mereka, serta dapat berkumpul dengan orang2 yang memiliki pandangan yang sama.

D. Adat & Tradisi Tionghoa, Masih Melekat Bagi Mereka Yang Muslim

Meskipun tak lagi menganut kepercayaan nenek moyang, masih banyak warga muslim Tionghoa yang tetap melaksanakan adat istiadat leluhur. Perbedaan keyakinan tak lantas membuat semua budaya warisan leluhur DITINGGALKAN dari kehidupan warga Tionghoa muslim.

Hanya hal-hal yang bersifat agama saja yang ditinggalkan, karena kurang sesuai dengan ajaran baru yang dipercayainya, seperti sembahyang Toapekong seminggu sebelum Imlek.

Makna Imlek Bagi Warga Muslim Tionghoa

Imlek Muslim Tionghoa
Muslim Tionghoa merayakan Imlek (Foto : kaskus.co.id)

Baca juga : Inilah Makna Hari Imlek Bagi Tionghoa Muslim di Indonesia

Imlek masih memiliki arti penting bagi warga muslim Tionghoa. Meskipun tak lagi melaksanakan hal2 yang berkaitan dengan sembahyang, sebagian dari mereka MASIH BERKUMPUL bersama keluarga besar yang non muslim, dan ikut membagikan Angpau. Bagi mereka, Imlek adalah momen tepat untuk mempererat persaudaraan, meskipun dalam perbedaan.

Hj. Lie Sioe Fen, dalam sambutan acara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), yang dikutip dari KR Jogja, menyebutkan bahwa Imlek bukanlah ritual perayaan agama tertentu, melainkan merupakan tradisi etnis Tionghoa dalam pergantian tahun, berdasarkan penanggalan Imlek. Karena itu, Imlek TIDAK BERTENTANGAN dengan ajaran Islam.

“Perayaan Imlek PITI, sebagai ungkapan syukur warga Tionghoa Muslim dengan berdoa di Masjid. MUI sudah menyebutkan hukumnya mubaah (boleh) seorang Tionghoa Muslim merayakan Imlek di masjid,”  – Hj. Lie Sioe Fen

Hal inipun dikuatkan oleh artikel Tionghoa.INFO yang berjudul : Tahun Baru Imlek, Hari Raya Agama atau Budaya?

Selain terkait sembahyang, perbedaan lainnya adalah pilihan makanan hidangan Imlek. Tentu saja penggunaan DAGING BABI yang dianggap HARAM bagi muslim ditiadakan.

Berita bagusnya, memasuki era reformasi, kebebasan merayakan Imlek juga telah dijamin oleh negara.Perayaan Imlek secara terbuka ini merupakan hasil kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid yang mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina; dimana semua itu dilarang ketika era Soeharto cs.

Keputusan pencabutan ini disahkan melalui Keppres No 6 Tahun 2000. Kebijakan pencabutan ini secara tidak langsung MENGAKUI adat istiadat Cina Tionghoa sebagai bagian dari ragam kebudayaan masyarakat Indonesia.

Baca juga : Inilah 3 Makanan Halal di Tiongkok Yang Perlu Anda Coba!

E. Pernikahan Muslim Tionghoa : Yipai Tiandi, Erpai Gaotang, Fuqi Xiangtui …

Pernikahan Muslim Tionghoa
Tampak pernikahan antar muslim di Tiongkok (Foto : republika.co.id)

Tidak hanya di Indonesia, muslim Tionghoa yang berada di Tiongkok juga menggunakan cara-cara islami saat mengadakan perkawinan. Di Tiongkok sendiri, masih banyak adat tradisional yang tetap dilaksanakan, meskipun ijab kabul atau janji pernikahan dilakukan secara Islam.

Bedanya dengan upacara pernikahan ala Tionghoa, adalah tidak menggunakan musik/lagu tradisional sebagai simbol perayaan, tidak menggunakan petasan atau gong, tidak sembahyang di kelenteng/vihara, tidak memakai dupa, dsb.

F. Muslim Tionghoa Masa Sekarang

Mahfud MD, mantan ketua MK, juga mengucapkan Gongxi Facai pada Imlek 2018 lalu.

Baca juga : Mahfud MD mengucapkan “Selamat tahun baru Imlek 2569, Gong Xi Fat Cai”

Isu dan dilema yang dirasakan muslim Tionghoa di generasi sekarang ini sudah mulai berkurang. Menurut Hew Wai Weng, peneliti di Institut Kajian Malaysia dan Antarbangsa, untuk pemeluk Muslim Tionghoa yang lebih muda, isu asimilasi tidak menjadi perhatian mereka. Karena sebenarnya kebanyakan yang jadi Muslim, kebetulan di lingkungannya sudah berbaur.

Persoalan integrasi atau pembauran sudah tidak banyak dibicarakan. Ini menandakan berkurangnya tekanan yang dialami oleh warga muslim Tionghoa.

Tokoh besar Tionghoa muslim juga berperan banyak dalam mengurangi beban ini. Contoh paling utama adalah Gus Dur yang memang telah mengakui bahwa ia keturunan Tionghoa. Posisi Gus Dur yang juga telah diterima sebagai pemuka agama Islam yang disegani, menunjukkan bahwa dalam agama, RAS tidak seharusnya dipermasalahkan, karena agama terkait dengan keimanan, bukan keturunan.

Baca juga : Gusdur, Tokoh Muslim Tionghoa Yang DIHORMATI Etnis Tionghoa di Indonesia

Masyarakat juga jarang mempermasalahkan, bahkan menjadikan arsitektur masjid bergaya Tionghoa sebagai lokasi favorit untuk dikunjungi, juga bukti bahwa muslim Tionghoa dapat diterima. Karena pada dasarnya, sebuah tempat ibadah tetaplah tempat ibadah, terlepas dari apapun bentuk arsitekturnya.

Keunikan bentuk bangunannya, justru memperkaya keragaman budaya dan wujud2 akulturasi positif yang layak mendapat apresiasi.

Mencari-cari perbedaan tidak akan ada habisnya, karena setiap manusia memang memiliki ciri dan keunikan sendiri. Tidak ada salahnya sedikit berpikiran lebih terbuka demi kerukunan dan kebersamaan, agar tercipta kedamaian dan ketenteraman.

 

By Nabilla Khudori

Saya seorang Head of Business Development di sebuah startup. Dengan menulis, saya dapat belajar dan berbagi pengalaman dengan khalayak. Memahami budaya Tionghoa menarik bagi saya yang lahir dan besar di lingkungan yang plural. Hal ini juga menjadikan saya memiliki banyak referensi mengenai budaya dan adat Tionghoa. Meskipun begitu, saya merasa masih harus belajar lebih untuk memahami budaya Tionghoa itu sendiri.

One thought on “6 Hal Yang Perlu Kamu Ketahui Tentang Muslim Tionghoa di Indonesia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?