Last Updated on 18 January 2022 by Herman Tan Manado
Tatung itu apa? Pasti ada di antara pembaca yang masih asing banget dengar kata “Tatung” ini. Padahal, fenomena eksistensi Tatung di kota Singkawang (yang terkenal dengan kota 1000 Kelenteng/Kuil) sendiri sudah merupakan hal yang umum di masyarakat; dan tak hanya terkenal di Indonesia saja, tapi Tatung ini juga terdengar sampai ke Negara2 tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Yuk, kita simak lebih lanjut seperti apa dan bagaimana “Tatung Singkawang” ini.
“Tatung” merupakan sebuah istilah yang terkenal di kota Singkawang dan sekitarnya. Istilah Tatung ini dipergunakan untuk merujuk kepada orang yang tubuhnya dijadikan media untuk dirasuki oleh Dewa-Dewi, atau roh-roh leluhur yang mereka percayai.
Baca juga : Serunya Melihat Prosesi Tatung Saat Cap Go Meh di Singkawang : Menyabet 3 Rekor MURI!
Diketahui bahwa pawai Tatung di Singkawang pada saat perayaan festival Cap Go Meh sendiri sudah dilakukan sejak ± 250 tahun yang lalu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan kota Singkawang, bmenyatakan bahwa eksistensi Tatung sendiri sudah ada sekitar tahun 1737 atau 1738.
Roh2 yang dipanggil ini diyakini sebagai roh2 baik, yang mampu menangkal roh2 jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Singkawang. Mereka yang telah dirasuki tersebut dipercaya akan memiliki kekuatan gaib, dan bertindak di bawah alam sadarnya.
Menurut F.X. Asali selaku ahli budayawan Kalimantan Barat, menjelaskan istilah Tatung itu sendiri berasal dari dialek Hakka yang terdiri dari kata ta dan tung. Ta secara harafiah berarti “tepuk atau pukul”, dan Tung secara harafiah berarti “Thungkie, atau orangnya”.
Tatung yang dilakukan di kota Singkawang ini, dalam bahasa Inggris dikenal juga sebagai “Spririt Medium”, yang berarti dirinya menjadi medium untuk mengalami keadaan “trance” atau kerasukan roh.
Sedangkan dalam bahasa mandarin, terdapat beberapa istilah untuk menyebut istilah Tatung ini, seperti 跳童 (Tiào tóng); 神打 (Shén dǎ), dikenal juga dengan sebutan2 lain, seperti 乩童 (Jī tóng) atau 童乩 (Tóng jī).
Diantara semua sebutan mandarin diatas, istilah Tatung yang ada di Singkawang ini lebih mengikuti dari arti harafiah bahasa mandarinnya 神打 (Shén dǎ), dimana 神 (Shén) artinya “Dewa” dan 打(Dǎ) artinya “pukul”.
Sedangkan untuk istilah Tatung, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin oleh sebagian orang sebagai 跳童 (Tiào tóng), dikarenakan para Tatung ketika mempertunjukkan kekuatan gaibnya dalam perayaan Cap Go Meh di kota Singkawang, mereka akan berada di atas pedang yang disusun menyerupai tandu, dan mereka pun melompat2 di atas pedang2 itu tanpa terluka sedikit pun.
Sementara karakter 跳 (Tiào) itu sendiri secara harafiah “berarti lompat”. Untuk kata 乩童 (Jī tóng) atau 童乩 (Tóng jī), masing2 mengandung arti 童 (Tóng) dan 乩 (Jī), 童 (Tóng) secara harafiah berarti “anak2, atau anak hamba” dan 乩(Jī) secara harafiah berarti “ilahi”.
Jadi secara keseluruhan, artinya merujuk kepada seseorang yang telah ditunjuk oleh Dewa sebagai media perantara Nya.
Perlu diketahui juga, bahwa diluar sana ada banyak sebutan yang dapat merujuk kepada sebutan “Tatung Singkawang”. Misalnya, masyarakat Dayak mengenal Tatung dengan istilah “Laoya” atau “Loya”, yang artiannya merujuk ke “Dukun” (shaman).
Di Singapura dan Taiwan, “Tatung” dikenal juga dengan sebutan “Tangki”, sementara di Thailand, “Tatung” dikenal dengan sebutan “Mah Song”.
Baca juga : Atraksi Thangsin(Lokthung) Pada Perayaan Cap Go Meh di Indonesia
Lalu di Manado, dikenal juga dengan istilah “ Tangsin”, “Tongsin”, atau “Lokthung” (落童; Luò tóng), dimana seseorang akan menjadi medium perantara (antara manusia dengan Dewa), yang setelah dibacakan mantra tertentu dipercaya telah dirasuki oleh roh Dewa-Dewi, untuk memberikan berkat bagi umat Nya.
Mereka biasanya akan melakukan beberapa aksi sayat lidah, memotong lengan, atau menusuk bagian badannya dengan sabetan pedang, golok, dan lain sebagainya. Bagi mereka yang menyakininya, hal ini diartikan sebagai bentuk pengorbanan / penebusan dari Dewa untuk meringankan dosa2 yang diperbuat manusia.
Perayaan Festival Cap Go Meh di Indonesia sendiri sangat bervariasi. Perayaan biasanya dilakukan oleh umat kelenteng, Lithang dan Wihara, dengan melakukan kirab atau turun ke jalan raya sambil menggotong ramai2 Kio/Usungan yang didalamnya diletakkan arca para Dewa/Sinbeng (神明; Shen Ming).
A. Asal-Usul Tatung di Kota Singkawang
Untuk menelusuri asal-usul Tatung dalam perayaan festival Cap Go Meh di kota Singkawang, erat kaitannya dengan datangnya para perantau Tiongkok di masa lalu yang berimigrasi ke Kalimantan Barat. Seperti yang telah kita ketahui, asal-usul para perantau Tiongkok di masa lalu ke Nusantara memiliki sejarah yang panjang dan menarik.
Dalam buku Orang Cina Khek dari Singkawang, dikatakan bahwa orang2 Tionghoa yang menetap di Indonesia 99% datang dari 2 propinsi Tiongkok, yaitu Fujian dan Guangdong.
Baca juga : Berapa Jumlah Populasi Etnis Tionghoa di Indonesia Tahun 2010?
Kelompok Tionghoa terbesar yang ada di Indonesia adalah Hokkian (Fujian), yang menurut sensus pertama tahun 1930 berjumlah 550.000 jiwa. Mereka terkonsentrasi di wilayah Sumatera (Medan), Jawa (Jakarta), Jawa Timur (Surabaya), Sulawesi Selatan (Makasar), dan sedikit di Kalimantan Barat.
Kelompok lainnya, yaitu Hakka (Guangdong), yang menurut sensus pertama 1930 berjumlah 200.000 jiwa. Kelompok ini merupakan kelompok yang terkonsentrasi di Riau (Pekan Baru) dan Kalimantan Barat (Pontianak).
Mereka menetap untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang emas dan intan di Monterado, Kalimantan Barat. Dalam Buletin Hayo : Jejak Sejarah Hakka Singkawang juga menyebutkan bahwa 90% penduduk Tionghoa di kota Singkawang adalah etnis Hakka yang berasal dari distrik Mei Xian (梅县) dan Thai Pu (大埔), propinsi Guandong (广东) Tiongkok.
Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa di kota Singkawang juga identik dengan tradisi, budaya, agama kepercayaan, dan bahasa Hakka (Khek).
Baca juga : Orang Tionghoa dalam Sejarah Pertambangan di Indonesia
Baca juga : Bangsa Han dan Perantauannya ke Indonesia. Inilah Sejarah Nenek Moyangmu!
Pada mulanya kota Singkawang merupakan sebuah desa, bagian dari wilayah kesultanan Sambas. Desa ini sering kali dijadikan sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari wilayah Monterado (saat ini Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat).
Para penambang dan pedagang yang mayoritas berasal dari daratan Tiongkok, sebelum mereka menuju Monterado, terlebih dahulu biasanya akan singgah beristirahat di Singkawang.
Sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama berdiam di penambangan sering kali juga akan beristirahat ke Singkawang untuk melepas kepenatannya.
Berhubung pada waktu itu, wilayah Singkawang merupakan tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas).
Baca juga : Tjhai Chui Mie : Walikota Wanita Tionghoa Pertama di Indonesia, Ahoknya Versi Wanita!
Nama Singkawang juga diperkirakan muncul melalui penafsiran dari para perantau Tiongkok di masa lalu. Dalam bahasa Hakka disebut “San Keuw Jong”, atau dalam kosakata bahasa Mandarin 山口洋 (Shān = gunung, Kǒu = mulut, Yáng = lautan).
Maksudnya adalah untuk menyatakan suatu tempat yang terletak di kaki gunung dan menghadap ke laut. Penamaan ini muncul karena mereka berasumsi dari sisi geografis, bahwa Singkawang berbatasan langsung dengan laut Natuna, serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai, sampai bermuara ke laut.
B. Keberadaan Tatung Pada Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang
Adanya pawai (kirab) Tatung dalam perayaan festival Cap Go Meh di Singkawang seperti dewasa ini, tidak terbentuk secara serta merta, akan tetapi juga melalui proses akulturasi budaya antara orang2 Tionghoa dengan masyarakat setempat (terutama suku Dayak), yang bermula dari penambang emas di Monterado ratusan tahun yang lalu (diperkirakan sejak 250 tahun silam).
Konon ceritanya, budaya Tatung ini berawal dari kedatangan orang2 Tionghoa yang menetap, dan kemudian diperkerjakan oleh Sultan Sambas sebagai penambang emas di Monterado. Pada saat itu, lahan yang mereka tempati masih berupa alam hutan belantara, dimana suatu ketika muncul suatu wabah penyakit yang membuat semua orang resah.
Pada saat itu, disana belum mengenal adanya ilmu medis, sehingga munculnya suatu wabah penyakit belum ada dokter dan obat untuk mengatasinya. Segala kemalangan atau petaka yang menimpa umat manusia, sering kali akan dikaitkan akibat ulah roh2 jahat oleh kaum perantau Tiongkok saat itu.
Untuk mengatasinya, maka cara yang ditempuh pun adalah secara paranormal, atau mengikuti ajaran dari tanah leluhur, yakni ajaran dari Taoisme, yaitu dengan melakukan ritual Tatung atau Lok thung (落童; Luò tóng) dan memohon pertolongan Dewa-Dewi atau roh2 leluhur untuk mengusir kemalangan atau petaka tersebut.
Karena berdasarkan kepercayaan orang Tionghoa, setiap hutan konon memiliki roh penjaga yang melindungi kawasan itu (Dewa Bumi; Tu Di Gong).
Hal yang dilakukan para perantau Cina Tiongkok ini sama halnya yang dilakukan masyarakat lokal, yang meminta bantuan kepada para “Laoya” atau “Loya”, yang diyakini sebagai para dukunnya suku Dayak, yakni memanggil roh untuk melakukan penyembuhan terhadap wabah penyakit tersebut.
Maka pada hari ke-15 setelah Imlek, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh, para Tatung ini baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Dayak, mereka bersama2 turun ke jalanan.
Ditandu oleh masyarakat, mereka keluar masuk perkampungan dengan iringan genderang untuk melakukan ritual tolak bala (dalam bahasa Khek disebut juga sebagai Ta Ciau), yang mereka yakini sebagai ritual membersihkan perkampungan dari pengaruh roh2 jahat, mengamankan perkampungan supaya alam kembali tenang dan aman.
Di Singkawang, banyak penduduk lokal (orang Dayak) yang dalam perkembangan selanjutnya, juga turut serta menjadi Tatung dalam perayaan Cap Go Meh di kota Singkawang. Mereka terdorong untuk berpartisipasi dalam ritual Tatung atau lok thung (落童) ini, karena dianggap mirip dengan upacara adat Dayak mereka.
Sejak pertama kali datang ke Singkawang, masyarakat Tionghoa telah menjalin persahabatan erat dengan penduduk pribumi, khususnya suku Dayak. Karena itu, tidak ada kecanggungan di antara kedua etnis ini untuk berkolaborasi bersama.
Baca juga ; Indeks Kota Toleran di Indonesia : Singkawang Tertinggi, Tanjung Balai Terendah, Jakarta Nomor 3 Terbawah
Ritual tolak bala yang mereka lakukan pun akhirnya berhasil mengusir roh2 jahat dan menghilangkan wabah penyakit tersebut, dan perkampungan pun kembali tentram. Oleh masyarakat setempat, ritual tersebut dianggap berhasil dan bermanfaat.
Mereka berharap, agar dikemudian hari tidak terulang kemalangan atau petaka seperti wabah penyakit tersebut lagi. Maka dari itu, hal ini pun terus diulang setiap perayaan Cap Go Meh, sehingga perayaan festival Cap Go Meh yang ada di Singkawang selalu identik dengan adanya pawai ratusan Tatung, seperti yang dikenal sekarang ini.
Hal unik lainnya yang membuat perayaan festival Cap Go Meh yang di Singkawang dinilai berbeda dengan perayaan Cap Go Meh yang ada di negara leluhurnya (Tiongkok), adalah pada saat perayaan Cap Go Meh di jaman Tiongkok dulu (sistem dinasti), yang ditandu untuk berkeliling adalah para pejabat Negara, dalam rangka untuk mengevaluasi kegiatan2 yang dilaksanakan pemerintah saat itu.
Sedangkan untuk di Singkawang, pada saat perayaan Cap Go Meh yang ditandu justru adalah para Tatung.
Hal inilah yang menyebabkan bahwa untuk menonton pertunjukan pawai atau atraksi Tatung terbanyak hanya ada di Indonesia, terutama di kota Singkawang, dan perayaan seperti ini tidak bisa lagi ditemui di Negara Tiongkok itu sendiri (karena Revolusi Budaya era Mao).
C. Lantas Bagaimana Caranya Untuk Menjadi Seorang Tatung?
Nah, pembaca sudah tahu kan apa itu Tatung? Lantas apakah semua orang bisa menjadi Tatung? TIDAK. Tidak semua penduduk kota Singkawang bisa menjadi Tatung, karena ada 2 faktor yang menentukan seseorang bisa menjadi Tatung, yaitu :
1. Adanya faktor kepercayaan bahwa kemampuan tersebut diwariskan dari leluhur mereka.
Faktor ini terutama berlaku untuk para Tatung yang merupakan keturunan Tionghoa. Mereka mempercayai bahwa mereka mewarisi kemampuan untuk menjadi Tatung, karena leluhurnya sendiri merupakan seorang Tatung. Mereka menganggap hal ini merupakan suatu takdir, yang harus diwarisi pada garis keturunannya.
Mereka yang merupakan bagian dari keluarga yang mempunyai anggota Tatung, mempercayai bahwa sudah seharusnya garis dari keturunan mereka mengemban tugas untuk melanjutkan ritual tolak bala pada perayaan festival Cap Go Meh di kota Singkawang, seperti yang sudah dilakukan oleh generasi2 sebelumnya.
Orang yang ditakdirkan menjadi Tatung mempercayai bahwa ketika sudah tiba saatnya untuk melakukan tugas dari leluhur keluarganya, maka ia akan berinteraksi dalam mimpi dengan roh Dewa-Dewi yang akan merasukinya.
Selanjutnya, apabila sudah tiba saatnya untuk menjadi Tatung, tetapi orang tersebut belum siap untuk menerima takdirnya, maka ia dapat meminta bantuan kepada Tatung yang tatarannya lebih tinggi, untuk meminta roh Dewa-Dewi yang mengikuti garis sejarah leluhurnya, agar bisa dipindahkan sementara (tugasnya) kepada orang lain yang ditakdirkan dapat belajar menjadi Tatung, tanpa (latar belakang) diwariskan dari leluhurnya sendiri.
2. Sengaja belajar untuk menjadikan diri sebagai media untuk dirasuki.
Ada beberapa orang yang juga memiliki takdir untuk bisa menjadi Tatung, meskipun dari garis sejarah leluhurnya tidak ada anggota keluarga sebelumnya yang pernah menjadi Tatung.
Menurut keyakinan mereka, cara untuk menjadi Tatung apabila bersedia menjadikan tubuhnya sebagai media untuk dirasuki.
Mereka akan membuat semacam “kontrak perjanjian” dengan roh Dewa-Dewi yang akan merasukinya, dan melalui bantuan pendeta Taoisme atau Tatung yang ilmunya lebih tinggi, untuk memperoleh kemampuan tersebut melalui semacam jimat.
Para Tatung, baik Tatung yang menjadi Tatung karena menerima takdirnya dari garis sejarah leluhur keluarganya, maupun mereka sengaja (sukarela) untuk belajar menjadi Tatung, mereka semua wajib melaksanakan beberapa pantangan, yang juga merupakan bagian dari prosedur untuk menjalani Tatung menjelang perayaan Cap Go Meh.
Menurut kepercayaan dari para Tatung itu sendiri, bahwa beberapa pantangan ini wajib dilaksanakan agar tubuh dari Tatung menjadi bersih sebelum roh Dewa-Dewi tersebut merasuki tubuh tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa roh Dewa-dewi adalah sesuatu yang dianggap suci, sehingga tubuh raga dari Tatung juga harus bersih untuk menerimanya.
Hal ini juga dipercaya untuk dilakukan, agar menghindari hal2 yang tidak diinginkan, seperti terluka ketika sedang memainkan atraksi kekebalan tubuh selama acara festival Cap Go Meh!
Berdasarkan informasi yang telah didapat, ada beberapa pantangan yang wajib dilaksanakan oleh para Tatung. Pantangan tersebut bisa berbeda2 untuk setiap Tatung, karena mereka menuruti sebagaimana yang telah ditentukan oleh roh Dewa-Dewi mereka melalui mimpi.
Berikut beberapa pantangan yang sering dijalani oleh para Tatung :
1. Tatung sebelum perayaaan Festival Cap Go Meh tidak diperbolehkan meminum minuman beralkohol sedikit pun, apalagi sampai mabuk berat.
2. Tatung sebelum perayaaan Festival Cap Go Meh tidak diperbolehkan bermain judi dalam bentuk apa pun.
3. Tatung sebelum perayaaan Festival Cap Go Meh tidak diperbolehkan melakukan hubungan badan/intim sampai selesainya ritual pada hari perayaan Cap Go Meh.
4. Tatung sebelum perayaaan Festival Cap Go Meh diharuskan melakukan puasa daging, atau ciacay, mulai dari 3 hari sebelum festival Cap Go Meh (bahkan ada yang sampai 30 hari sebelum festival Cap Go Meh). Bentuk puasa yang dimaksudkan adalah hanya boleh makan nasi dan sayuran (vegeratian), serta minum air saja.
Setiap Tatung memiliki perbedaan dalam melakukan ritual puasa, hal ini dikarenakan puasa tersebut diminta oleh roh Dewa-Dewi dan disesuaikan dengan kesanggupan dari Tatung.
Apabila Tatung tidak melakukan sesuai dengan pantangan, maka dipercaya akan terluka dan mengalami pendarahan hebat ketika sedang melakukan atraksi, atau akan merasa cepat lelah tubuhnya karena tidak tahan lama menerima badannya dirasuki (trans) oleh roh Dewa-dewi.
Bagi yang melanggar, mereka dipercaya akan mengalami sakit2an, tidur terganggu, bahkan pingsan selama berhari2 (mati suri).
Meski begitu, ada pula Tatung yang hanya pantang makan daging tertentu, seperti pantang makan daging ular, daging kambing, daging sapi, daging anjing, daging monyet, daging kucing; daging kura2, dsb.
Jumlah partisipan Tatung Singkawang sendiri meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data yang dikumpulkan penulis, pada tahun 2011 jumlah peserta Tatung Singkawang yang ikut dalam acara perayaan Cap Go Meh hanya berjumlah ± 300 orang.
Lalu pada tahun 2012 jumlah peserta meningkat menjadi ± 500 orang. Lalu pada tahun 2013 jumlah peserta meningkat lagi mencapai ± 700 orang. Lalu pada tahun 2014, jumlah Tatung mencapai ± 800 orang.
Untuk turun di festival pawai Cap Go Meh, Para Tatung di Singkawang juga harus mengantongi izin sertifikat dari Kementerian Agama di kota Singkawang.
Baca juga : Amoy Singkawang : 8 Hal Yang Harus Kamu Ketahui Tentang Amoy Singkawang, Anciang!
Tidak semua Tatung harus menjalani penderitaan pantangan tersebut hanya ketika menjelang perayaan Cap Go Meh. Ada pula diantara mereka yang dengan sukarela menjalani pantangan tersebut, selama dirinya masih berstatus sebagai seorang Tatung.
Ditulis oleh : Tiffany, Mahasiswi S1 Sastra China Universitas Kristen Maranatha, dalam skripsinya yang berjudul : Fenomena Eksistensi “Tatung” Dalam Perayaan Festival Cap Go Meh Kota Singkawang, Kalimantan Barat (2015).
Disunting oleh : Herman Tan