Jika anda mencoba mengingat-ingat lagi pelajaran Sejarah ataupun Geografi, pasti akan ditemukan istilah atau konsep Jalur Sutra. Konsep yang dibuat oleh Tiongkok dari sejak era Dinasti Han ini (sekitar 202 SM hingga 220 SM), menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan wilayah Tiongkok dan Eropa.

Jalur ini menjadi rute perdagangan yang sangat terkenal di era Tiongkok Kuno. Kala itu, sutra menjadi barang dagangan utama Tiongkok, untuk ditukar dengan komoditas dari Negara2 di wilayah Benua Eropa. Total rute yang ditempuh dapat mencapai ribuan kilometer, melewati perbatasan beberapa wilayah/Negara.

Sekarang di era Tiongkok Modern, dengan nilai sejarah dan ekonomi yang dipandang sangat menguntungkan, Pemerintah Tiongkok merancang dan menerapkan sebuah paket kebijakan bernama One Belt One Road (OBOR).

Dapat dikatakan, paket kebijakan ini akan menciptakan proyek untuk membangun versi modern dan mutakhir dari Jalur Sutra. Proyek OBOR digadang2 dan dikampanyekan sebagai langkah ambisius dari Tiongkok untuk menuju Negara adidaya, terutama adidaya di bidang ekonomi.

Pembangunan jalur-jalur sutra baru, dengan cara memperbaharui sarana dan prasarana pendukung untuk perdagangan dan perekonomian di titik, wilayah, dan Negara yang dilalui, adalah penjelasan ringkas dari proyek ini. Setidaknya begitulah yang dikatakan Pemerintah Tiongkok.

Karena OBOR adalah langkah ekspansif Tiongkok, yang tak hanya menjalar ke Eropa, tetapi juga ke wilayah Asia, seperti di wilayah Asia Tenggara. Maka itu, Indonesia sedikit banyak akan memiliki dampak dari penerapan kebijakan OBOR ini. Kira-kira, dampak apa saja yang akan dirasakan oleh Indonesia akibat penerapan Jalur Sutra Modern ini?

Baca juga : 10 Fakta Dibalik Jalur Sutra Tiongkok

A. Dampak Positif

Proyek OBOR memiliki fokus pada pemanfaatan simpanan devisa Tiongkok yang dapat dikatakan melimpah. Simpanan devisa tersebut kemudian digunakan oleh Pemerintah Tiongkok untuk memberi pinjaman pada Negara2 berkembang yang dilewati oleh rute OBOR, untuk membangun infrastruktur.

Rencana peta rute OBOR (ilustrasi : topchinatravel.com)

Pembangunan infrastruktur tersebut melibatkan perusahaan-perusahaan asal Tiongkok.

OBOR menawarkan 2 tipe proposal kerja sama kepada Negara2 yang menjadi target, yaitu Silk Road Economic Belt (SREB), atau pembangunan sarana dan prasarana yang berhubungan dengan transportasi darat, dan Maritime Silk Road (MSR), yakni pembangunan infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi di laut.

Rencananya, OBOR dirancang untuk menghabiskan dana hingga US$ 4,4 triliun (Rp 62,7 ribu triliun).

Dilihat dari besarnya dana, pemerintah Indonesia sangat berpotensi mendapatkan dana investasi untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, terutama di rute yang dilewati oleh OBOR.

Seperti yang sudah banyak diberitakan, bahwa di pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) banyak digalakkan pembangunan infrastruktur yang ada kaitannya dengan transportasi, terutama transportasi darat dan laut.

Dana melimpah yang ditawarkan oleh proposal OBOR, terutama hubungan diplomatik yang baik antara Indonesia dan Tiongkok, dapat dimanfaatkan dengan optimal sesuai dengan visi Pemerintahan Jokowi, yakni mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Pembangunan yang dapat diwujudkan dalam mencapai visi tersebut, dapat dilakukan dengan membangun pelabuhan-pelabuhan baru dan tol laut.

Pembangunan pelabuhan baru yang ditawarkan dalam MSR (Maritime Silk Road) adalah rencana pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara, dan Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Pembangunan kedua pelabuhan tersebut bertujuan untuk menciptakan pemerataan ekonomi antar daerah, khususnya di luar Pulau Jawa.

Selain itu, tol laut juga dapat diwujudkan lewat MSR. Gagasan tol laut yang mencita-citakan terpangkasnya biaya logistik dan mengefisienkan rantai distribusi, terutama untuk daerah Indonesia tengah dan timur, dapat tercapai dalam beberapa tahun kedepan.

Tak hanya berkutat dengan pembangunan, efek kerja sama OBOR juga dapat dirasakan lewat efek proyek2 turunannya. Adanya pembangunan infrastruktur yang memadai, diharapkan dapat menarik wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, agar dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan daerah yang dibangun tersebut.

Tampak ktivitas bongkar muat pelabuhan dari penerapan tol laut (Foto : katadata.co.id)

Konektivitas, atau sederhananya, suatu daerah dapat terjangkau dari daerah lain dengan mudah adalah efek berikutnya dari pembangunan yang dilakukan. Adanya pelabuhan dan sarana transportasi laut yang memadai, artinya dapat meningkatkan aktivitas masyarakat serta menghidupkan kembali slogan masa lalu, “Nenek moyangku seorang pelaut” yang dirasa relevan jika cita-cita Poros Maritim terwujud.

B. Dampak Negatif

Pinjaman dalam bentuk apapun, tentu memiliki risiko, entah kecil maupun besar. Seperti jika pembaca meminjam sejumlah uang kepada teman, tentu ada syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi. Misalnya, ada bunga dengan persenan tertentu, atau hal yang harus dilakukan jika belum dapat melunasi utang yang sudah jatuh tempo.

Begitu juga dalam konteks hubungan antar Negara.

Dalam hal ini, tawaran bantuan pembangunan oleh proposal OBOR dapat dipandang sebagai sarana Negara Tiongkok untuk memberi pinjaman utang kepada negara lain, yang tentunya memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi.

Sudah menjadi rahasia umum, dalam konteks hubungan internasional, saat sebuah Negara donatur atau organisasi internasional yang berinisiatif mengucurkan atau meminjamkan dana segar ke sebuah Negara berkembang, akan ada banyak pihak yang menganalisis bahwa dana yang dikucurkan tersebut sebenarnya sebagai langkah untuk mengatur atau untuk mendikte arah berjalan dan berkembangnya Negara penerima dana.

Ruang tunggu Bandara Internasional Mattala Rajapaksa yang sepi pengunjung (Foto : liputan6.com)

Salah satu contoh dalam kaitannya dengan OBOR, adalah pembangunan Bandara Internasional Mattala Rajapaksa di Sri Lanka yang memakai pinjaman sebesar S$ 190 juta (Rp 2,7 triliun) dengan bunga sebesar 6,3 persen. Bandara yang disebut sebagai salah satu bandara tersepi di dunia tersebut akhirnya kembali disewakan kepada Tiongkok dengan jangka waktu selama 99 tahun.

Langkah Sri Lanka dalam memberikan hak sewa tersebut, memang akibat dari kegagalan Sri Lanka yang tak pandai dalam merencanakan suatu proyek besar, meski banyak pihak menilai proyek tersebut tak lebih dari ambisi besar dari Tiongkok untuk mengekspansi ekonominya ke seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintahan Jokowi sejak awal berkuasa memang dikenal dengan ‘pembangunan dimana-mana’. Banyak dari proyek pembangunan tersebut yang sudah dapat digunakan (dirasakan manfaatnya) oleh masyarakat. Mulai dari jaringan tol Trans Jawa, Light Rail Transit (LRT) Palembang, Bandara Kertajati Bandung, hingga Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta.

Salah satu proyek pembangunan yang ada kaitannya dengan OBOR, adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang katanya mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 miliar (Rp 14 triliun).

Dari proyek LRT hingga kereta cepat, banyak pihak yang menilai bahwa proyek2 tersebut tidak terlalu tepat guna untuk masyarakat, dan tidak terlalu memiliki efek pada perekonomian dan kesejahteraan di daerah sekitarnya.

Penilaian yang sama saat pembangunan infrastruktur tol laut di sebagian daerah di Indonesia tengah dan timur, tak terlalu berefek pada daerah-daerah yang dibangun proyek tersebut.

Tentu muncul kekhawatiran Indonesia akan jatuh pada debt trap, atau perangkap utang yang tidak sanggup terbayar, seperti pada kasus bandara Sri Lanka diatas. Sudah membangun proyek mahal-mahal, malah berujung dikuasai oleh perusahaan asing (disewakan selama 1 abad, utang ditanggung cucu-cicit).

Proses pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung (Foto : kompas.com)

Baca juga : 10 Fakta Dibalik Jalur Sutra Tiongkok

Belum ditambah adanya sentimen dan narasi ANTI CINA yang masih ada di sebagian masyarakat (khususnya arus bawah) kita. Sentimen dan narasi tersebut memiliki efek turunan yang tidak main-main, seperti misalnya pemboikotan dan demonstrasi yang berkepanjangan.

Jika itu masih belum cukup, pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia masih lekat dengan praktik-praktik korupsi. Pembangunan yang harusnya mensejahterakan masyarakat, malah menjadi ‘bagi-bagi lahan’; apalagi dana yang diterima biasanya dalam bentuk mata uang asing.

Hal-hal tersebut sekiranya menambah perkiraan dampak negatif dari OBOR yang sebenarnya punya dampak negatif sendiri dari proposal kerja sama OBOR-nya.

Setiap hal tentu memiliki 2 sisi, sisi positif dan negatif. Bak pisau bermata 2.

Kedua sisi tersebut tentunya ada di ambisi ekspansi Tiongkok, yang kemudian memiliki dampak pada Negara kita ini. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk merancang dan memiliki langkah yang baik dalam menyikapi dan berdiplomasi dengan Negara adidaya baru tersebut.

Tentunya dengan mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri.

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?