Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Sebelumnya kita telah membaca Kisah Teratai Emas (Chin Ping Mei) Bab satu. Diceritakan sebelumnya bahwa Hsimen mengangkat saudara dengan 9 orang bergajulan, dan Wu Sung bertemu istri kakak nya.
Hsimen melirik sekilas pada isi kotak, yang terdiri dari 8 paket dan langsung menyerahkan pada istrinya. Ia menyilahkan si kurir pulang dan ia pun pergi menemui istri ketiga.

Baru saja ia memzaringkan diri di sisi istri ketiga, Istri utama sudah memanggil, dihadapan nya berbaris 8 kotak kertas yang sudah terbuka.
“Lihatlah, sumbangan besar apa?” ia berkata sinis.

“Ying, temanmu masih lumayan, mengirimkan potongan perak dan dua buah uang logam. Tapi kotak2 yang lain hanya berisi beberapa potongan tembaga dan barang2 tidak keruan, yang hanya akan mengotori rumah kita. Apakah sebaiknya dikembalikan saja?”

“Sudahlah”, jawab Hsimen, “Tidak usah ribut, buang saja.”

Pada keesokan hari Hsimen menimbang 4 ons perak (1 ons = 28,35 gram), dan memerintahkan pelayan lelaki Lai Hsing’rl belanja ke pasar, untuk membeli 1 ekor sapi, 1 ekor kambing, beberapa ekor bebek, 6 guci arak anggur merk “Bunga emas”, dan kebutuhan2 lain untuk pesta seperti dupa wangi dan uang sembahyang.

Lai Hsing’rl bertiga dengan Laipo dan Tai A’rl mengantar barang2 tersebut ke kuil, dan menyerahkan kepada pendeta Wu.

“Besok tuan majikanku beserta teman2 akan bertemu disini dan ingin mengadakan upacara sumpah angkat saudara”, pesan Lai Hsing’rl kepada pendeta Wu.

Keesokan pagi, ke 9 tamu undangan beserta Hsimen hadir tepat pada waktunya di kuil. mereka memasuki kuil ditemani oleh pendeta Wu. Sambil berjalan pendeta Wu bercerita :

“Beberapa hari ini, di daerah kita kedatangan seekor binatang buas. Ia telah menyerang banyak orang, dan telah membunuh 10 orang pemburu.”

“Apa?”, kata Hsimen tersentak kaget.

“Ah, tuan2 belum tahu, aku juga baru saja mendapat kabar dari orang2ku yang kukirim meminta sumbangan pada tuan Tschai di Honghaikun. Dalam perjalanan pulang mereka meliwati hutan Kimyang dan melihat binatang buas tersebut. Karena tidak berani jalan sendiri, mereka bergabung dengan rombongan pedagang .

Baru2 ini kepala daerah kita telah menyiapkan hadiah uang dalam jumlah besar, untuk diberikan kepada yang berhasil membunuh harimau buas itu. Para penjaga hutan sudah dihukum pukul, karena tidak berhasil menangkap atau membunuh si binatang buas.

Ketika mendengar perkataan uang premi, langsung Pa Laikwang timbul semangat.

“Ai, Esok pagi aku akan berburu. Uang besar tak akan kuliwati begitu saja.”

“Dan hidupmu, apa tidak berharga?” tegur Hsimen.

“Hidup atau mati, yang penting uang!”

“Luar biasa!, aku mesti menceritakan sebuah lelucon”, sahut Ying sambil tertawa.

“Ada seorang kikir, dia lagi kelojotan dalam moncong seekor harimau. Putra si kikir sudah siap dengan pisau ditangan, ingin menusuk si harimau dengan pisau.

“Berhenti!’, teriak si kikir.’Kau tak akan merusak kulit bulu harimau yang mahal, bukan?'”

Mereka tertawa terbahak bahak.

Pendeta Wu mengusulkan agar upacara dimulai, makanan untuk suguhan sudah siap. Ia mengeluarkan selembar kertas.

“Ini adalah kata2 sumpah yang telah ku susun, bagaimana dengan urutan nama?”

“Sudah tentu Hsimen menjadi Kakak tertua kita”, seru mereka berbareng.

“Menurut umur, Ying berada di urutan sebelum aku”. protes Hsimen.

“Ah, apaan, jaman sekarang urutan mengikut uang, bukan mengikut umur”, kata Ying lagi. “Selain itu, diantara kita, hanya kau Hsimen yang paling berpengaruh. Engkau pantas memduduki tempat pertama.

“Wah, jadi tidak enak hati nih”, sambung Hsimen, tetapi menerima kedudukan “Toako” (Kakak tertua).

Untuk kedudukan kedua, mereka sepakat pada Ying, dan ketiga pada Hsia, keempat diberikan pada Hua Tsehsu juga berdasarkan uang, kemudian yang lain juga mendapat urutan masing2.

Kesepuluh nama2 itu ditulis oleh Pendeta Wu keatas kertas sesuai urutan tadi. Lalu ia menyulut dupa, dan kepuluh orang yang akan mengangkat saudara berbaris rapi menghadap patung Kaisar Langit, dan pendeta membacakan kata sumpah pengangkatan saudara yang diikuti oleh kesepuluh orang itu dengan khidmat.

Setelah pembacaan pengangkatan saudara selesai, mereka memberi hormat satu sama lain sambil membungkukan tubuh. Setelah pembakaran uang sembahyang, maka selesailah upacara pengangkatan saudara.

Sementara itu, dua buah meja perjamuan sudah disiapkan, Pendeta Wu mendapat meja khusus yang terpisah disebelah kedua meja lain. Ditengah pesta makan minum yang meria, tiba2 datang seorang utusan dari “Nyonya Bulan” untuk memanggil pulang Hsimen dengan alasan Istri ketiga sakit parah.

Hsimen memohon diri untuk pulang, diikuti oleh tetangga Hua. Kepergian kedua orang itu tidak menggangu acara makan minum, yang terus berlanjut hingga tengah malam.

Beberapa hari kemudian, ketika Hsimen pada suatu pagi menerima kedatangan Ying.

“Bagaimana kabar Ipar ketiga?”

“Belum sembuh, aku baru saja memanggil Shinshe (Dokter) lagi. Ceritakanlah, berapa lama kalian tempo hari minum2?”

“Kita bubaran sekitar kentongan kedua. Si Tua Wu memaksa kita untuk terus minum2, untung saja kau sudah ngabur duluan. Maksud kedatanganku ini, aku ingin mengabarkanmu satu sensasi baru.”

“Ceritakanlah”

“Masih ingat kan, mengenai seekor harimau buas di hutan Kimyang yang baru2 ini diceritakan oleh pendeta Wu?. Kemarin telah dibunuh oleh seseorang dengan tangan kosong.”

“Ah ngaco, siapa yang percaya!”

“Masa sih kau tidak percaya padaku? Dengar baik2 akan kuceritakan…” Dengan bergairah, sambil mengerak gerakan kepalan dan melompat dari satu kaki ke kaki lain, ia mulai bercerita…

Laki2 itu bernama Wu Sung, berasal dari Yangkuhsian; Ia adalah saudara yang lebih muda dari dua bersaudara, dalam pengembaraan mencari saudara tua nya, ia meliwati hutan Kimyang, dan bertemu dengan harimau, ia memukul harimau dengan kedua belah tangannya, sehingga matilah si Harimau.

Semua itu diceritakan sambil menggunakan gerak tangan, sehingga seolah olah ia berada di tempat kejadian dan dengan kedua tangan sendiri membunuh harimau.

“Saat ini, dengan iring iringan meriah, ia dan hasil buruan dibawa menghadap pejabat setempat”, kata Ying menutup cerita.

“Oh, kita harus kesitu, tapi sekarang sarapan pagi dulu”

“Untuk sarapan mana keburu, nanti terlambat. Lebih baik kita mencari tempat yang bagus di lantai atas sebuah Kedai arak di tepi jalan, yang akan diliwati iring iringan.”

Hsimen setuju, ia membatalkan pesanan dan langsung berpakaian. Kemudian sambil menarik tangan Ying ia berangkat. Ditengah jalan mereka bertemu Hsia.

“Ah, kalian pasti ingin melihat harimau, bukan?”

“Betul, hayo ikut!”

“Tentu saja, tapi jalanan sudah dipenuhi manusia, kita sulit menembus kerumunan.”

Tidak lama kemudian, ketiga orang itu sudah duduk dengan enak di sebuah kedai arak besar di jalan raya. Tidak perlu menunggu lama, terdengar suara gong dan tambur mendekat, dan orang2 di jalan raya memanjangkan leher.

Berpasangan, liwatlah barisan para pemburu dengan rapih. Semua bersenjata tombak panjang dengan ujung dihias ronceh2 dari benang merah yang melambai lambai diterpa angin.

Di belakang barisan, tampak bangkai seekor harimau besar yang digotong oleh empat lelaki. Paling terakhir muncul si pembunuh harimau, seorang pria gagah bertubuh besar! Mata bersinar dengan pandangan tajam.Tangan menggengam gada besi. Di kepala ia mengenakan turban bersulam Swastika dengan dua buah bungah perak. Tubuh dipenuhi tetesan darah.

“Untuk dapat menundukan orang ini, dibutuhkan tenaga sekuat kerbau 500 kg!” bisik Hsimen pada kedua temannya sambil menggigit kuku. Sambil menenggak arak mereka menyatakan kekagumannya. Jadi itulah Pahlawan hari ini, yang tersohor Wu Sung dari Yangkuhsian!

Kemudian iring2-an itu tiba. Wu Sung turun dari kuda dan langsung menuju ruang kantor, dimana kepala daerah dan para pejabat lain menunggu.

Ketika melihat penampilan tubuh berotot dan bangkai harimau besar, berkatalah sang Mandarin (Pejabat tinggi) : “Siapakah kecuali orang ini yang sanggup mengerjakan?”

Kemudian ia menyalami Wu Sung, dan mendengarkan cerita kejadian dari kepala sampai ke ekor. Dan para pejabat di samping kiri dan kanan mendengarkan dengan jeri dan tegang.

Kemudian sang Mandarin menghadiakan 3 mangkok arak dan uang premi 50 tael (1 tael atau liang = 37,78 g perak). Wu Sung menjura, dan dengan rendah hati berkata : ” Bila mungkin, saya ingin agar uang yang 50 tael perak dibagikan kepada para pemburu gagah yang telah dihukum gara2 harimau.”

“Aku setuju”, jawab sang Mandarin.

Wu Sung langsung membagikan uang premi yang 50 tael perak kepada para pemburu. Melihat sifat dan karakter Wu Sung yang baik, sang Mandarin memutuskan untuk menerima Wu Sung di dinas pemerintahan.

“Engkau datang dari Yangkuhsian yang bersebelahan dengan Tsinghosian kita”, Mandarin berkata. Aku hendak menjadikan mu seorang Kepala pasukan. Tugas utama mu antara lain adalah membersihkan bagian barat dan timur sungai Tsing dari segala begal dan rampok. Bagaimana pendapatmu?.”

Wu Sung menekuk lutut dan memberi hormat dengan penuh terima kasih.

“Aku akan bekerja dengan baik untuk kepercayaan ini.”

Mandarin memanggil pejabat Sekretariat daerah untuk penyelesaian formalitas, dan selesai sudah pengangkatan Wu Sung sebagai Kepala pasukan.

Dari seluruh keresidenan berdatangan untuk memberi selamat kepada Wu Sung, dan berlanjut beberapa hari, ia harus memenuhi undangan makan dari satu pesta ke pesta lain. Kesohoran nama nya mulai tersebar dari mulut ke mulut di kedua residen propinsi Tungpingfu.

Bersambung ke Bab 3
Karya : Lanling Xiaoxiao Sheng
Diterjemahkan Oleh: Aldi Surjana

Catatatan :  1 Tael atau liang = 37,78 g perak

By Aldi The

Penerjemah novel, salah satunya adalah Jinpingmei (金瓶梅; Jin Ping Mei; The Golden Lotus). Tinggal di Berlin, Jerman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?