Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Suatu hari ditengah jalan Wu Sung mendengar seseorang memanggil : “Hei Wu Sung, lihatlah, aku disini!”. Ia berbalik, dan siapa yang ada di hadapan nya, Kakak nya Wu Ta yang sudah lama dicari.

Kegagalan panen dan kelaparan telah menyebabkan Wu Ta meninggalkan kampung halaman, dan mengungsi ke kota Tsinghosian, dimana ia menyewa tempat tinggal. Postur tubuh yang lemah, penampilan yang minder, wajah yang jelek membuat nya diantara tetangga mendapat nama ejekan antara lain “si Kontet” dan “si Bonsai”, dan semua itu harus ditelan nya mentah2.

Untuk menutupi biaya hidup, diperoleh nya dari berdagang bakpau (roti isi) hangat dengan pikulan menyusuri jalan. Tapi dagangan kurang laku; setelah setahun tinggal di Tsinghohsian uang bekal semakin menipis, sehingga ia harus keluar dari tempat tinggal dan menyewa dari tuan Tschang dengan murah, sebuah kamar di atas ruko yang menghadap ke jalan raya.

Sambil berjualan, dimana sempat ia selalu membantu sana sini dirumah keluarga Tschang, sehingga nyonya rumah berkenan membebaskan dari pembayaran sewa.

Tschang tua adalah seorang laki2 berumur enam puluh tahunan yang kaya raya, tapi tidak mempunyai anak. Lingkungan hidupnya ditemani hanya oleh seorang istri, seorang wanita tua yang galak; sama sekali tidak ada darah muda yang segar didalam rumah itu, sehingga ia merasa tertekan.

Seringkali ia memukul dada sambil mengeluh : “Aku lelaki malang, tua dan tidak punya anak, apalah guna semua uangku!”

Suatu kali istri nya menjawab : “Baik, aku akan menyuruh seorang perantara agar membeli dua orang budak perumpuan muda yang cantik untukmu. Biarlah mereka dari pagi sampai malam menemani mu dengan tarian dan bunyi2-an musik.”

Usul ini diterima oleh si tuan tua dengan senang hati, dan betul saja, beberapa hari kemudian datanglah si perantara membawa dua orang gadis muda yang cantik jelita. Sayang tak lama kemudian, Pai Yulian, seorang gadis muda berumur 16 tahun telah meninggal dunia.

Gadis lain bernama Pan Jinlian yang baru berumur 15 tahun adalah anak perumpuan ke enam seorang penjahit miskin bernama Pan dari pinggiran kota sebelah selatan. Nama Jinlian yang berarti “Teratai emas” di peroleh berkat perkembangan tubuh yang sudah lebih dewasa dan menantang penuh daya tarik serta kaki kecil yang cantik.

Setelah ayah nya meninggal, Jinlian yang ketika itu berumur 9 tahun, dijual oleh ibu nya ke rumah keluarga kaya milik tuan Wang. Disitu ia belajar menyanyi dan bermain alat musik, juga belajar membaca dan menulis. Ia adalah seorang gadis cerdik dan lincah.

Dengan umur 13 tahun ia sudah mengerti mempercantik alis dan mata serta merias wajah; ia pandai meniup seruling dan memetik kecapi. Ia sangat terlatih dalam pekerjaan tangan dan sulam menyulam, ia menguasai tulisan huruf2 yang sulit.

Rambut tertata rapi dengan sanggul yang indah. Diatas tubuh yang muda ia mengenakan pakaian ketat memperlihatkan lekuk2 tubuh. Begitulah ia tumbuh menjadi gadis kecil jelita yang menarik.

Ketika ia berumur 15 tahun, tuan Wang tua meninggal dunia. Ibu nya membeli kembali seharga 20 tael dan menjual lagi kepada rumah keluarga Tschang. Disitu ia menyempurnakan diri lebih lanjut dalam berjenis kesenian dan terutama penguasaan alat musik Pipa bertali tujuh.

Pada saat ia berumur 18 tahun, kecantikan sudah mekar sempurna. ‘Sebuah wajah seanggun bungah persik, sepasang alis melengkung halus bagaikan bulan sabit baru muncul.’

Sudah sejak lama tuan Tschang ingin menikmati milik nya, tetapi karena takut pada istri yang galak, ia berusaha menahan diri untuk tidak memetik bungah yang berharga. Suatu hari ketika si istri bertandang kerumah tetangga, ia menggunakan kesempatan itu sebaik baiknya, dan berhasillah ia memetik bungah.

Namun kenikmatan cinta rahasia yang sekejap itu harus dibayar mahal dengan 5 macam hukuman. Karena kemudian ia pertama menderita sakit pinggang, kedua menderita mata berair, ketiga menderita kuping berdenging, keempat menderita hidung tersumbat, dan kelima gangguan kantung kencing.

Tentu saja sebab musabab penyakit itu tak dapat menutupi mata si istri galak, dan jadilah pertengkaran suami istri, dan Teratai emas pun mendapat makian dan pukulan.

Tuan Tschang merasa sangat tertekan, dan memutuskan untuk menikahkan Teratai emas dengan lelaki lain. Pakaian pengantin wanita ia yang akan menanggung. Seorang pelayan mengusulkan Wu Ta sebagai pasangan yang cocok.

Tuan Tschang menerima usul tersebut dengan senang, karena ia berpikir, bahwa ia masih ada kemungkinan untuk mengunjungi Teratai emas secara rahasia.

Si beruntung Wu Ta tak perlu membayar sepeser pun, ia memperoleh istri dengan gratis. Dan setelah pernikahan, tuan Tschang tak mengenal lelah mengurus kedua pasangan muda itu, dan membantu Wu Ta bila sewaktu waktu kekurangan uang.

Dan bila Wu Ta sedang keluar rumah, berjualan kue bakpau di jalan, maka secara rahasia si “tuan penolong” akan menyelinap, memasuki kamar dan bercinta dengan Teratai emas.

Meskipun sesekali Wu Ta memergoki, tetapi ia diam saja, karena ia merasa hanya sebuah barang ditangan si tua Tschang. Kejadian itu terus berlangsung, hingga suatu hari tuan Tschang meninggal kena penyakit gangguan kantung kencing yang parah.

Istri tuan Tschang yang belakangan mengetahui sebab kematian suami nya, menjadi berang dan mengusir kedua suami istri tersebut.

Setelah diusir oleh nyonya Tschang, Wuta harus mencari tempat tinggal baru. Untunglah ia mendapat tempat sewaan baru di rumah keluarga Wang disebelah barat jalan raya. Seperti biasa ia menyusuri jalan2 di kota dengan pikulan mencari sesuap nasi.

Wuta tahu bahwa sebagai suami melarat, ia dianggap sangat rendah oleh istrinya. Istrinya sering mengajak bertengkar atau melepaskan kemarahan dengan menyumpahi si tua Tschang.

“Mengapah si tua Tschang, dari sekian banyak pemuda gagah di dunia, justru menikahkan ku dengan seorang setan cebol tak berguna, yang relah menerima pukulan tampa dapat membalas dan langsung mabuk berat hanya dengan sedikit arak, tidak bisa sadar kembali walau disiram ber ember2 air!

Kesalahan apa yang pernah kulakukan dalam kehidupan yang terdahulu sehingga aku di hukum dalam perkawinan ini!”

Atau malah bila ia sedang sendiri, ia melantunkan lagu sedih “anak domba tersesat di dalam jurang”. Sudah barang tentu, seorang wanita cantik membutuhkan seorang teman kencan gagah untuk pelampiasan hasrat.

Wuta, meskipun sangat direndahkan oleh istri nya, tetap berusaha menjadi suami yang baik. Di pagi hari Teratai emas tidak sabar menunggu suami nya pergi menjajahkan dagangan dan setelah itu ia menikmati kesendirian sehari penuh. Ia menyenderkan diri ke jendela dan mempertontonkan kecantikan.

Adalah kesenangan tersendiri, membuat diri diperhatikan oleh para lelaki yang berlalu lalang di jalan. Tidak berapa lama tercapailah apa yang di ingini, setiap hari di bawah jendelah kamar dipenuhi lelaki pengagum, bahkan ada meneriakan kata2 ungkapan cinta.

Begitulah, dan masih banyak lagi kata2 yang hampir mirip mengalir liwat bibir2 pemuda pengagum. sudah tentu hal tersebut sampai ke kuping Wuta. Ia memutuskan untuk tidak tinggal lebih lama di rumah itu. Suatu hari ia membicarakan perihal pindah rumah pada istrinya.

“Engkau mau cari tempat tinggal yang lebih murah lagi, apakah kau tidak takut ditertawakan orang banyak? Bila kau mau pindah rumah, carilah uang agar kita bisa mendapat rumah kecil yang lumayan!”

“Dari mana uang sebanyak itu bisa ku peroleh?”

“Dasar lelaki tak berguna! Kalau tak ada uang, gadaikan saja perhiasan ku! Suatu hari nanti kan bisa ditebus lagi!”

Wuta meminjam uang sebanyak 10 tael (1 tael = 37,78 g perak) dan menyewa tempat tinggal dengan empat ruangan, dua ruangan di lantai dasar, dua ruangan di lantai atas, dan juga sebuah kebun kecil. Sebuah tempat tinggal yang bagus dan tenang.

Urusan pindah rumah selesai sudah, dan seperti biasa Wuta menyusuri jalan2 di kota menjual bakpau (roti isi) untuk menafkahi rumah tangga. Dan secara kebetulan di jalan ia berjumpa dengan adik nya Wusung. Dengan sangat gembira ia mengajak si adik ke rumah tinggal yang baru.

Ia membawa nya ke ruangan atas dan dengan bangga mengenalkan pada istrinya.

“Ini yang tersohor, pembunuh harimau dari hutan kimyang dan yang sekarang menjabat menjadi kepala pasukan, ipar mu Wusung!”

Penuh kekaguman, sambil melipat tangan, Teratai emas memandang kepada ipar nya.

“Sepuluh ribu kali selamat” bisik nya, dan kedua orang itu menjura satu sama lain memberi hormat. Dengan agak malu Wusung memperhatikan kecantikan kakak ipar yang sempurna.

Karena ingin menjamu makan adik nya dan melihat persediaan dapur yang tak mencukupi, Wuta meninggalkan adik dan istri nya diruang atas, dan pergi ke pasar untuk belanja.

Teratai emas memandangi bentuk tubuh lelaki dihadapan nya, dengan kekaguman yang ditahan, ia membayangkan betapa besar kekuatan yang dimiliki untuk membunuh seekor harimau.

‘Bagaimana mungkin, bahwa kedua orang ini bisa berasal dari ibu yang sama’ pikir nya dalam hati. ‘Yang satu mirip pohon bonsai ke injak, tiga bagian manusia dan tujuh bagian setan jelek! Yang satu lagi laki2 perkasa tinggi besar dengan tubuh berotot! Oh, ia harus pindah, tinggal bersama kita!’

Rencana pun selesai dibuat.

“Kau tinggal dimana? tanya nya dengan wajah penuh senyum. “Dan siapa yang menggurusi mu?”

“Dinas ku tak mengijinkan untuk tinggal terlalu jauh dari pasukan. jadi aku tinggal di Rumah penginapan di Yamen. Dua orang anak buah ku menggurus kebutuhanku”

“Ipar ku yang baik, mau kah engkau pindah kerumah kita? Tentara kotor untuk memasak dan melayani, brr sangat menggangu nafsu makan!”

“Aku sangat berterimakasih padamu” kelit Wusung ragu2.

“Engkau pasti ada teman serumah bukan? tanya nya hati2, “Engkau bisa tinggal disini bersama dia”

“Aku belum menikah”

“Berapakah umurmu?”

“28 tahun”

“Jadi kau 5 tahun lebih tua dariku. Dimanakah engkau tinggal sebelum ini?

“Aku pernah tinggal satu tahun di Tsangtschoufu. Aku tidak tahu kalau kakak ku sudah pindah kesini”

“Sejak pernikahan ku dengan kakak mu, walau ia tentu saja punya hal yang baik, tapi aku menderita dibawah hinaan dan tertawaan orang sekitar. Seandai kau tinggal disini, pasti tak akan ada yang berani mengucapkan kata2 hinaan sepatah pun”

“Hm…Adik ku adalah seorang yang baik, …tidak seperti aku”

“Ah masa sih” kata Teratai emas sambil tertawa.

Kedua orang asyik ber bincang2 di kamar atas. Akhir nya datanglah Wuta.

“Istriku, tolong turun kebawah untuk mengurus makanan”

“Ah, kenapa harus repot, panggil saja nenek Wang, biar dia yang urus dapur”

Si Suami penurut itu kemudian pergi menjemput nenek Wang dari rumah sebelah.

Dan akhirnya meja makan dipenuhi ber macam2 makanan lezat, ada ikan, daging, sayuran, arak dan kue.

“Silahkan arak nya diminum!” kata Teratai emas pada tamu nya. Tanpa lelah ia menawarkan ini dan itu dengan senyum dikulum. Wusung adalah seorang kasar, ia menerima semua keramahan tampa mengetahui bahwa Teratai emas besar di dunia pelayanan dan hiburan, sehingga tidak menyadari ada nya rencana terselubung dibalik semua itu.

Sekali kali ia merasakan mata Teratai emas membelai tubuh nya dan ia hanya bisa menundukan kepala kemalu-maluan. Selesai makan, ia cepat2 pamit pulang, segala bujuk rayu nyonya rumah di tolak nya.

“Lain kali saja!”

“Tapi kau pindah kerumah kita bukan? kau tahu kan, bagaimana kita menderita dibawah hinaan orang. Keberadaan mu disini sangat berharga” bisik nya di pintu keluar.

“Baiklah, karena kau sangat menginginkan, nanti malam akan ku kirim barang2 ku kesini”

“Budak mu menunggu!”

Bersambung ke Bab 4

Karya : Lanling Xiaoxiao Sheng
Diterjemahkan Oleh: Aldi Surjana

By Aldi The

Penerjemah novel, salah satunya adalah Jinpingmei (金瓶梅; Jin Ping Mei; The Golden Lotus). Tinggal di Berlin, Jerman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?